Wednesday, September 09, 2020

The Story of Dingklik Tua

Tadi pagi terjadi huru hara... yg sebenernya lucu juga sih kalau sekarang dipikir. Waktu kejadian sih sempat bikin tensi naik.... Apa coba? Yaaaakkkk... adegan dgn ibu suri a.k.a eyang. 

Jadi, sejak pindah ke BSD... gue berusaha banget utk tidak menimbun barang. Apa pun itu, hanya punya 2 kemungkinan: dipakai atau dibuang (dikasihkan ke orang). Alasannya krn nggak mau nimbun, kedua jg krn maunya rumah ini isinya barang2 yg gue suka. Ya kaaannn.... 

Nah... dgn sharing rumah sm eyang... seringkali ada hal yg ga sejalan. Sepele sih, misalnya kebiasaan eyang pakai taplak, yg gue nggak suka. Solusi, eyang bebas pasang taplak di meja mana pun di rumah no 16. Silakaaann.... Yg penting rumah gue (no 17) no taplak. Trus, gue suka ngumpulin botol beling segala ukuran untuk diisi tanaman. Sementara menurut eyang, kalau mau pajang botol, ukuran harus sama dan motifnya jg hrs spesial. Hmm... tp akhirnya eyang menyerah krn botol2 itu gue pajang di rumah gue. 

Tp yaaa... namanya sharing live, tentu nggak semua sesimpel urusan taplak dan botol pajangan ini. Kyk misalnya microwave, adalah nggak praktis kalau sampai hrs punya 2, kan? Jadi satu aja, ditaruh di tempat gue. Juga dapur, meskipun ada 2, tp yg cukup besar utk bisa leluasa memasak ya hanya satu, di rumah gue. Hmm... yg gemes adalah krn tempat yg menurut gue pas untuk naruh microwave oven di dapur menurut eyang jadi bikin tempat masak jadi sempit. Du du du du.... Trus gue merasa perlu punya oven listrik untuk iseng berhadiah cookies, cake, atau macaroni dan brulee. Juga perlu deep fryer dan breadmaker. 

"Ini mau disimpen di mana?" adalah pertanyaan eyang waktu semua perangkat dapur itu tiba, kira2 ratusan purnama silam. 

"Ya nggak disimpen, kan dipakai." 

"Memang mau dipakai tiap hari?"

"Ya enggak, tapi krn dipakai, ngapain dimasukin dus lagi? Ya sudah biar saja di dapur."

"Tapi dapur jadi sempit."

Endebraaa... endebraaaaiii... endebraaaa.....

"Maaf ya, Ma. Ini kan dapur di rumahku. Boleh ya di rumahkku ada oven dan deep fryer-nya." 

Kalau sdh gitu, biasanya eyang baru ingat lagi kalau gue sdh cukup umur untuk boleh ngapain aja di rumah gue sendiri. Ngambek? Ya udahlah.... 

Akhirnya sih skrg ada rak yg khusus isinya perangkat dapur itu semua. Kenapa jadi ada rak ini? Krn waktu pakai meja pendek, sisi bawah meja itu diisi macem2 yg nggak jelas. Tas belanja, botol plastik (utk jamu), dll yg menurut eyang pas disimpen di situ, tp menurut gue enggak sama sekali krn jadi uwel2an. Ada dua meja utk dua oven, dan dua2nya semakin penuh. Makin lama kok masuk rumah kyk masuk gudang umpel2.... Dan solusi dari eyang utk menutup uwel2an itu adalah... pakai taplak! Oh no! Gue beresin semua. Beliin rak yg pas utk semua perangkat, nggak ada ruang utk sumpelan2. Beres. 

Kadang mmg eyang "nggak adil" juga sih. Barang2 yg dia nggak suka, tp masih mau dia simpen (entah utk apa ya menyimpan barang yg nggak disuka), disumputin di rumah no 17. Karpet, peti beras, lemari pendek, koper, dan macam2 lain... termasuk satu dingklik warna coklat yg menurut gue sih bentuknya nggak jelas. 

Jadi dingklik ini dibawa dari Depok. Dulu, ada rumah kerabat ipar gue yg mau dijual, dan hrs dikosongkan. Pdh isinya masih lumayan banyak. Mulai dari kipas angin, panci2, meja tv segala hal... termasuk dingklik atau kursi kecil ini. Iya, ini kursi lama, kursi kuno, dari kayu jati dgn rangka besi. Bagus? Biasa aja sih, tp mmg berkualitas. Tapi krn cuma satu, jadi kagok, sementara mau jadi kursi biasa ukurannya kekecilan. Akhirnya dibawa ke BSD... tp difungsikan sbg "meja antah berantah" yg kadang di atasnya ditaruh pot. Kadang buat naruh kotak pompa rusak (sblm dibawa sm tukang pompa). Nyebelin banget rasanya di mata gue. Gatel. 

Sejak WFH, gue tuh sering bongkar lemari. Beresin baju-sepatu-tas. Kalau ada yg sdh lama nggak dipakai, dikasih ke siapa saja yg mau. Nah, kemarin ini kamar sdh beres dan kinclong. Merembetlah beres2 ini ke kamar Aria, lalu ruang cuci di atas, lalu sampai ke ruang tengah. Semua yg menurut gue nggak penting... silakan dadaaaahhh... hahaha.... Banyak banget printilan2 nggak jelas... yg entahlah kenapa nggak segera dibuang padahal sdh bertahun nggak kepakai juga, temasuk dus2 bekas sepatu (yg disimpan dgn semangat "siapa tahu kapan2 perlu kotak"). OMG. Dan gue beres2 dgn semangat banget. Sampai beli rak baru. Beli kasur dan meja kursi baru utk Aria. Karena rasanya, banyak di rumah selama pandemi, kalau rapi dan cantik kan yo ayem tentrem.... 

Koper, kalau kira2 masih bagus, masuk lemari. Karpet masih bisa masuk ke gudang, beberapa diangkut sm para backstage crew. Peti beras akhirnya jadi tempat kantong dan segala hal printilan. Dus sepatu tentu tanpa ampun dihibahkan ke pemulung. 

Tadi pagi, sampailah gue ke kursi coklat yang setelah gue lihat kok ya bentuknya miring dan sudah dicat jadi tekstur kayu jatinya hilang. 

"Ma, aku nggak pakai kursi ini."

"Oh, mama masih mau pakai."

"Untuk apa?"

"Kalau motong2 sayur... enak di situ, pendek." 

"Kependekan ini. Motong sayur ya di dapur aja, Ma."

"Ya... buat kalau di kebun deh. Pas ganti2 pot."

"Nah, kalau itu, pakai dingklik aja. Ini ketinggian."

"Nggak kok, ini pas."

"Coba, deh."

"Hmm... iya ya. Ini kok agak tinggi."

"Ya sudah, aku kasih orang ya."

"Lho jangan! Itu jati lho. Bagus itu."

"Ya memang. Tapi berguna nggak? Kita pakai apa nggak? Aku nggak pakai...."

"Mama pakai!"

"Untuk?"

"Ya... untuk apa gitu... pokoknya kepakai."

"Tp aku nggak mau ini ada di sini."

"Ya sudah, taruh di atas saja, di kamar Aria."

"Untuk apa?"

"Untuk Mama."

"Memang Mama suka ke kamar Aria?"

"Pokoknya jangan dibuang!"

"Ya sudah. Tapi jangan ditaruh di sini. Dan jangan di kamar Aria. Kasihan kalau kamarnya jadi sumpek."

"Taruh saja di kamar Mama."

"Ok."

"Eh tapi nanti kamar Mama jadi sempit...."

"Ya sudah, untuk orang aja ya."

"Ini tuh bagus. Siapa tahu kapan2 kita butuh kursi...."

Ini mulai melelahkan... krn FYI... di rumah kami itu ada sekitar 25 kursi dan sofa dan tempat duduk... sementara sehari2 kami hanya bertiga.... 

"Jangan suka buang2 barang. Nanti kalau kita butuh, gimana?"

"Iya. Kan aku tanya, kita perlu kursi ini nggak? Kyknya sih nggak perlu, kita nggak butuh...." 

"Ya sudah. Buang aja. Buang semua yg kamu nggak suka. Ya sudah, sana buang.... "

Laaah... nadanya jadi tinggi, hmm... yo wis gue diem. Pengennya sih bales njerit, tp takut durhaka.... Tapi sungguh... gue capek lihat ada kursi nggak jelas. Secara fungsi nggak genah, secara bentuk juga nyebelin. Dan siapa tahu ada orang yg bisa memanfaatkan, kan lebih berguna. 

Kepala udah cenut2 banget... tensi pasti naik deh nih.... 

Ya sudah, daripada nggak kelar2, dan rasanya gue udah mumet banget... takut mood rusak seharian, akhirnya gue tinggal ke kantor. Lumayan. Seneng sih bisa ada di kantor, tempat buat nggak ketemu eyang bbrp jam, dan nggak perlu lihat kursi coklat biang perkara. 

Barusan eyang wa, "Kursi coklat sdh aku kasih Wahid. Dia mau."

Alhamdulillah.... 

The end. 


 


No comments: