Sunday, September 27, 2020

On Remarriage part 2

Mendiskusikan tulisan saya tentang Aminah, teman saya berkomentar tentang dua jenis manusia di dunia. 

 

“Jadi ya, ada yang gampang menikah, ada juga yang susah menikah.”

“Iyaaaa… sama seperti ada yang gampang saja beli sepatu, dan ada yang perlu mikir-mikir dulu…,” sambung saya. 

“Nah, kalau analoginya beli sepatu… berarti ada satu jenis lagi. Yaitu yang sebetulnya gampang saja beli… tapi nggak ada ukurannya,” sambutnya. 

 

Hmm…. Maksudnya yang nggak dapat-dapat jodoh nih? Lho… kok ngegas…. 

 

“Kita kan sedang membicarakan orang yang menikah lagi…,” dia mencoba menjelaskan. Menurutnya, pengalaman bercerai memberi efek yang berbeda-beda pada tiap orang. “Ada yang karena pernah bercerai, lalu hidup melajang lagi dan kemudian menikmatinya sehingga tidak merasa perlu menikah lagi. Ada yang setelah bercerai merasa harus segera menemukan pendamping baru karena pernah merasakan kenyamanan punya pasangan,” jawabnya. 

 

Baiklah. Jadi ada yang melihat dari sisi bahagia pernikahan. Ada juga yang menilai dari kehidupan setelah (atau mungkin proses menyakitkan dari) perceraian. 

 

Salah satu kenalan saya, perempuan, menikah untuk ketiga kalinya baru-baru ini. Pernikahan pertama berjalan selama kira-kira 5 tahun, dengan dua anak. Pernikahan kedua kandas setelah tujuh tahun. Kini, dia memutuskan menikah lagi dengan duda beranak dua, setahun setelah ia resmi menjadi orang tua tunggal. 

 

Menariknya, duda itu baru ia kenal kurang dari tiga bulan. Ketika banyak yang mempertanyakan keputusannya, dia menjawab, “Ya aku tahu lah bedanya antara cinta atau bukan… kan aku sudah pernah menikah….” 

 

Iya sih… tapi kok…. Hmm…. 

 

Saya bukan “perusak pesta.”  Apa hak saya? Tapi saya belum lupa kehebohan dua perceraian dia yang terdahulu…. 

 

Perceraian pertamanya cukup alot, karena terjadi perebutan hak asuh dua anak. Saya ingat kenalan saya itu seperti tak punya waktu mengurus diri karena semua daya dan tenaga terkuras untuk upaya memenangkan hak asuh. Dari penampilan saja sudah menyedihkan, tak terbayang isi hatinya yang pasti berantakan. Ketika akhirnya sidang berakhir dan dia berhasil mendapatkan hak asuh anak, dia pun perlu cuti lama dari kegiatannya untuk menata hidupnya kembali. 

 

Lalu baru saja mapan, dia menikah lagi. Semua teman gembira belaka, tentu saja. Bahkan cenderung terkejut ketika akhirnya dia melayangkan gugatan cerai. “Suami KDRT,” alasannya. Setelah tujuh tahun, dia tak tahan. Bercerai. 

 

Saya memang hanya penonton. Dan memang suami KDRT harus dijauhi. Tapi membayangkan naik turun emosional yang dia alami, rasanya kok lelah sekali. Saya tahu rasanya, karena saya juga pernah mengurus perceraian dan menjalani sidang yang menyakitkan hati. Rasanya saya tidak akan sanggup jika –amit-amit- harus menjalani proses semacam itu lagi.  

 

Dan sekarang si teman menikah lagi dengan seseorang yang bisa dibilang belum dia kenal seutuhnya. Atau bisa ya mengenali seseorang hanya dalam waktu singkat? 

 

“Itu kan kamu,” kata sahabat saya. Ah… lagi-lagi keluar kata-kata itu. 

“Rasanya kok capek sekali hidup nggak pernah tenang….”

“Iya, kamu mikirnya begitu. Siapa tahu dia selama pernikahan senang-senang? Dan semua huru-hara itu terjadi di ujungnya saja? Buktinya, dia dengan gagah berani mengambil keputusan menikah lagi. Kalau kata orang tua… dia belum kapok.”

 

Bisa jadi. Lalu kalau nanti –amit-amit- ternyata ada ketidakcocokan lagi, tinggal gugat cerai lagi. Begitu? Teman saya hanya mengangkat bahu. 

 

“Ya mestinya, apa pun yang dia putuskan, sudah dia pikir masak-masak. Bisa saja ketika menemukan masalah, dia ingat lagi bahwa ternyata dia bisa bangkit lagi setelah bercerai. Jadi ya… cerai lagi pun tidak apa-apa.”

 

Tanpa memikirkan keluarga yang sedikit banyak ikut terlibat dalam arus kerusuhan? Tanpa memikirkan perasaan anak-anak yang pasti cemas melihat ibunya dalam satu masa terlihat sedih berkepanjangan? Tanpa memikirkan waktu yang terbuang untuk mengurus sesuatu yang memberatkan kepala? Tak hendak menyalahkan keputusannya menikah lagi, pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak saya. 

 

“Dia perempuan kuat. Tahan banting,” kesimpulan sahabat saya. 

“Untuk urusan pernikahan, mungkin iya. Duh… aku kok cemas…. Iya iya… itu kan akuuuu….”




Tulisan ini ditayangkan di blog Single Mom Indonesia

 

No comments: