Tuesday, February 19, 2019

Always Look at The Bright Side!

Ketika kecil dulu, adakah di antara ibu-ibu yang mengkhayalkan pesta pernikahan? Maksud saya, berangan mau menikah pakai baju apa? Lalu mahkotanya seperti apa.... *tunjukjari*
Angan-angan ini makin luar biasa ketika saya berkesempatan kerja di majalah gaya hidup, yang menerbitkan edisi khusus pernikahan. Setiap tahun, mempersiapkan edisi khusus ini sangat menyenangkan sekaligus bikin deg-degan. Trend kartu undangan terbaru, dekorasi terbaru, potongan gaun pengantin, karangan bunga, souvenir ucapan terima kasih... lengkap dibahas dan diulas. Karena majalahnya cukup beken, banyak desainer khusus membuatkan untuk difoto di edisi ini. Duuuuhhh seruuuu.... 
Seringkali yang keluar adalah ide personal, alias ambisi pribadi.... Itulah yang bikin deg-degan, karena serasa saya yang mau kawin hahahaha.... 
"Saya mau undangan yang kayak gini, mas.... Dikemas di kotak, terus selain undangan, kotaknya diisi bungkusan-bungkusan kecil permen, kacang, potpourri, dan printilan-printilan gitu ya...."
"Mbak, boleh nggak dekorasinya ada kandang burung? Dalamnya ya bunga saja."
"Hantaran bikin yang beda dong... misalnya satu set peralatan lukis... atau satu set alat-alat menyulam."
"Boleh ya, live music saja, atau acapella...."
Semua redaksi biasanya khayal babu... . hahahaha.... 
Dan... seringkali semua diwujudkan lho, oleh para desainer itu. Dan kami foto. Diulas lengkap. Tampil di majalah. Lalu jadi trend. Seru kan. 
Saat itulah khayalan saya soal pernikahan makin membabi buta sekaligus makin spesifik. Mau pakai baju Obin. Mau di poolside. Mau bunga Amarylis.  Iringannya lagu keroncong. Intinya chic simple manis. 
Ternyata oh ternyata ... ketika pernikahan itu betul jadi nyata, impian saya terpaksa saya pinggirkan. Alasan utama karena nggak mau ribut dengan (calon) ibu mertua yang semangat sekali mengurus pernikahan putra satu-satunya. 
"Baju Obin? Aduh mbak... nanti pengantinnya kalah mewah lho, dibanding para tetamu...," adalah kalimat yang membuat saya memutuskan tutup mulut dan nrimo saja.... Enak juga, sih, nggak pusing. Semua sudah diatur dan disiapkan dengan seksama. Saya nggak ikut hiruk pikuk sama sekali. Dan kemudian memang yang terjadi adalah pesta-kayak-gitu-deh ala Jawa yang megah gebyar berwarna keemasan dengan rombongan pemain gamelan dan sinden ternama yang didatangkan khusus dari Yogyakarta. Semoga menyenangkan orangtua berpahala... saya ucapkan selamat tinggal pada gaya chic simple idaman! 
Namun jalan kehidupan membawa banyak hal. Khayalan polos saya di masa lalu soal pernikahan hanyalah sekadar bungkus. Saya tidak mengkhayalkan cara menjalaninya, tidak memikirkan cara menjaganya, juga tidak memperhitungkan segala kerikil sandungan dan hantaman ombak yang mungkin datang. Jadi, ketika akhirnya terhantam badai, runtuhlah semuanya. Pernikahan itu terpaksa diakhiri. 
Sedih? Tentu. Saat itu. Dan beberapa saat setelahnya juga sih.... 
Tapi, hidup jalan terus. Kini, setelah hampir 12 tahun bercerai, sedih sudah hilang. I am moving on. Termasuk punya pacar lalu putus, pacaran lagi lalu putus lagi. Hahahaha.... Ya nasib, ya nasib. 
Tapi... sekarang ini lucunya, khayalan saya soal pernikahan idaman kok muncul lagi! Hahahaha.... Tentunya menjadi lebih dewasa, dalam arti nggak cuma sekadar mikirin bungkus. Pengalaman mengajarkan untuk mempertimbangkan segala aral melintang yang mungkin hadir dalam pernikahan. Apakah memang saya siap, juga anak saya. Dengan kondisi sudah memiliki anak dan aset, mulai cari info soal prenuptial agreement untuk melindungi hak anak saya. Kenyamanan hidup sendiri (mau pulang selarut apa atau bangun sesiang apa nggak ada yang urus), tentu harus dikompromikan jika menikah lagi. Apakah saya siap? Lalu, karena sudah pernah punya pengalaman dengan infidelity, sekarang jadi lebih kritis sama pacar.... 
Tapi... selain itu, tetap lho saya pengen menikah pakai baju Obin, tetep pengen karangan bunga Amarylis, tetep berkhayal soal lokasi di poolside, dengan iringan lagu keroncong.... Ah... Tuhan Maha Baik. Pernikahan pertama saya tidak langgeng,  karena Dia akan beri saya kesempatan untuk menikah lagi. Marilah lihat sisi baiknya: saya tentu bisa menikah lagi dengan gaya chic simple idaman. Alhamdulillah.... 
Hhhmmm... Tuhan, calon suami saya dong segera didatangkan.... Aamiiin.

*Ditulis untuk komunitas Single Mom Indonesia pada 2016

  

Tuesday, February 12, 2019

What Matters The Most


...
Lebih baik kita usai di sini
Sebelum cerita indah tergantikan pahitnya sakit hati
Bukannya aku mudah menyerah, tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti


Ku kan menunggu, tapi tak selamanya


...



Saturday, February 09, 2019

Will You?

Somehow I miss to have somebody holding my hand the whole night, when I am sleeping. So I know I am loved. That much.

Friday, February 08, 2019

What If....

So... my son is facing a crucial phase on his life at the moment. Or so I thought.... And when it comes to my son... not in a good circumstances... I cannot help but to blame myself. How can I let that happen?

Kemarin2 ini pikiran rasanya penuh banget. Selain pekerjaan yg memang sedang lucu2nya (plus laptop ngadat. Lalu file yg hilang di komputer backup....), ada sesuatu yg menghantui. Gue nggak tahu apa... dan sambil menjalani hari, berusaha mencari jawaban atas sosok hantu itu.

Semalam lagi seru2nya di kantor, tiba2 ingat kalau sudah janji mau jemput Aria di tempat les. Les selesai 20.30, gue sadar jam 19.25. Gue baru berangkat dr parkiran kantor jam 19.45 Ok... unless I am the flash... there is no way I can drive through Jakarta traffic... straight to BSD... in less than 1 hour. So, it will be impossible to pick him up on time. Pikiran sehat mengutus Wahid the gardener untuk jemput anak gue. Apa boleh buat.... Akhirnya si pangeran negosiasi bhw ibu gapapa batal jemput asal pulangnya bawain mentaiko salmon dr Aeon. Oh... okay... as you wish, my love.

Setelah selesai beli titipan, on the way home... spt biasa di dalam si kentang suka cari inspirasi. Mikir2... gimana cara benerin ini itu... sampai tiba pada pikiran soal masalah anak gue. Hmm... tiba2 gue sadar kesalahan terbesar gue adalah membiarkan Aria bertumbuh dgn sendirinya. Okay, gue ada di sebelahnya. Secara fisik atau secara apa pun deh... kapan saja dia perlu, gue akan ada. Bbrp kali gue sengaja cuti, untuk dia. Tapiiii... apakah itu cukup? Bahwa gue nggak berhasil menahan ayahnya untuk tdk pergi dr rumah, itu sdh salah. Lalu... gue ternyata jg tidak cukup intens mendampingi, jadi dia terpaksa membereskan masalah2nya sendiri. Gue... terlalu asyik dgn diri gue sendiri. Di kantor berlama2... pacaran nggak pulang2.... hiks....

I cannot help but to blame myself. I feel like an egoistic mom.  Rasanya belum lama gue merasa I raised him right... ketika dia berhasil melewati tes masuk SMA. Ternyata oh ternyata... bukan cuma itu ukuran raising a son.... I (almost) failed.

"Growing up is uninteresting."
"Yes, sometimes. But most of the time it is wonderful. For me, having you... since the day you were born, and now, with  you here, is the best part of being a grown up."

Well... I hope I can mend this up. I really do hope it can be fixed. Somehow. Please help me God. Aamiin.




Friday, February 01, 2019

Where Are We?

I never have the feeling of "we" in a man-woman relationship.

Maksud gue... ga pernah merasakan menjadi "kita" atau "kami"... bahkan ketika menikah dulu. Kayaknya pernikahannya terlalu cepet usai, belum sempat bener2 dipikirin dan dijalani. Baru nikah bbrp bulan... ikut pindah ke Cilegon... sibuk beresin rumah di sana. Belum juga beres... rencana berubah jadi dipercepat berangkat ke US. Sampai di US, masing2 kisruh dgn sekolahnya sendiri2. Sekolahnya di tempat yg sama tp subjek-nya ga ada hubungan blas.... Sekolah selesai... langsung pulang. Di Jkt... baru sebentar banget... baru mikir2 mau tinggal di mana... eh... ada yg punya pikiran buat main rumah2an sendiri. Ya udah. Bhay.

Jadi, dalam pernikahan yg singkat itu, belum pernah sekali pun ada keputusan yang sepakat tentang "kita" atau "kami" kecuali satu: waktu mau bercerai. Oalah... melas yo. Hahaha.... Dan bisa ditebak bahwa setelah perceraian, semakin nggak pernah mikir jadi "kita" atau "kami". Lah ga ada teammates.... Ngapain mikirin?

Jadi... rasanya menarik juga kalau ada yang berani menawarkan konsep menjadi "kita" atau "kami" itu ke gue. Kok kayaknya lucu.... Mungkin seru juga ya mikirin sesuatu berdua? Meskipun lalu mikir2 juga, apa gue bisa? Setelah selama ini begitu keras kepala menjalani kehidupan sbg diri sendiri. Nggak perlu kompromi, nggak perlu tanya ini itu, nggak perlu diskusi....

Nah nah nah... jadi gimana?

Entah kenapa bbrp hari ini kok ya baca2 tulisan ttg #therealmarriagelife di medsos. Lalu bbrp waktu lalu baca buku juga yg isinya ttg kompromi dalam hidup pernikahan. Hmm... apa bisa ya gue begitu?

Ahahaha... ini kenapa jadi bahas topik ini? Kayak punya pacar aja....