Monday, April 25, 2016

With You

Sometimes I remember reasons I let you go
Inside them I see your face and all I really know
I was scared to share the love I have inside of me
Through all the heartache I know that I was meant to be

With you
I have everything I've ever wanted
Simple and true
With you
Crying eyes so beautiful
It's you who always thought our love would see us through

If I could follow my heart again it would be yours
with every breath I would find a way to love you more
I can't imagine life without your silent bravery
And I'm grateful for every moment that I get to be...

With you, I have everything I've ever wanted
Simple and true
With you, loving eyes so beautiful
It's you who always finds a way

And if the stars should disappear
In the dark I'll still be here
Forever in your arms... where I belong

With you, I have everything I've ever wanted
Simple and true
With you, loving eyes so beautiful
It's you who always knew our love would see us through

With you 
 
(Josh Groban)

Friday, April 08, 2016

Dia

Lalu? Kamu pikir aku ini apa?
Aku ini istrinya. Istrinya!
Ya! Aku belum mati....

Apa? Dia pernah bilang bahwa aku sekarat?
Apa? Setelah aku mati, kau akan dia kawini?

Tahukah kamu kalau selama ini kamu hanya dia tipu.

Dia bilang dia cinta kau? Cih! Dan kamu percaya?
Hahaha... dia itu penipu....

Dia itu penipu ulung, yg siap menerkam semua perempuan yg mengaguminya
Ya... ya... dia memang berotak cemerlang
Senjata ampuh untuk menjerat perempuan kesepian

Kamu bilang, kamu tidak termasuk?

Coba pikir lagi. Ingat-ingatlah... jangan pura-pura lupa begitu.
Sejak kapan kamu mengenal dia?
Dengan cara apa dia mendekatimu?
Puisi yang dia kirim setiap pagi?
Kata-kata manis di kartu yang dikirimnya dalam jangka waktu tertentu?
Ya...ya... dia masih bersahabat dengan kartu pos dan perangko
Di masa kini, itu pun bisa jadi amunisi untuk melumpuhkan perempuan melankolis.

Apa katamu? Dia cinta kau?
Ah, cinta lagi yang kau sebut-sebut.
Ini tidak ada urusannya dengan cinta. Dia itu penipu, sadar tidak kau? 

Dulu juga dia bilang dia cinta aku.
Hanya aku, katanya waktu itu.
Cuma aku, selamanya....

Buktinya?

Sudahlah... sebelum kau, sudah ada yang lain.
Banyak.
Hingga aku lupa.

Apa? Dia berjanji menikahimu?
Hahaha... dan kamu mau?
Setelah aku mati... ya?

Percayalah, dia itu penipu!

Ya... ya... aku ini istrinya. Istrinya!
Aku belum mati.


Thursday, April 07, 2016

Karena Rindu



Tergesa tapi tertata. Waspada. Dan waspada. Ambil buku. Pura-pura baca.

Bagaimana mungkin Yati akan lupa. Solemah selalu mengulangi kata-kata itu. Waspada, katanya. Harus hati-hati, tidak boleh gegabah. Kecerobohan Yati bisa mencelakakan seluruh anggota. 

"Kamu tidak mau, kan, kita semua dipenjara?" tanya Solemah ketus. "Heh! Jawab!"

Yati hanya mengangguk. Pelan. Ragu. Nada bicara Solemah selalu tinggi. Dan ia mudah sekali memaki. Yati seringkali takut. Tapi dia tak punya pilihan selain bertahan. Termasuk bertahan dalam diam ketika Solemah memakinya. Sudah untung ia tak pernah ditampar. Tidak seperti Sofi.   

"Bloon kamu! Bloon! Kalau dibilangin, nurut! Disuruh cepat ya cepat. Belok ya belok. Jangan maumu sendiri. Bloon!"

Sejak sebulan lalu, Yati tinggal bersama Solemah. Di sebuah kontrakan kecil di daerah padat Tangerang Selatan. Pemukiman itu bersebelahan dengan kompleks baru yang dibangun pengembang raksasa. Rumah-rumah bagus dalam kompleks yang rapi menutupi kampung-kampung kumuh milik warga asli.

"Kalau kerja, jangan kebanyakan melamun! Kamu harus waspada. Waspada!"

Solemah masih berteriak-teriak.

Mata Yati nanar menatap tembok. Tembok besar itu membatasi akses warga ke jalan utama. Kabarnya, dulu tembok itu rapat. Tapi setelah warga berkali-kali mengajukan protes, hingga mengundang wartawan, masuk koran juga televisi, akhirnya dibuka dua buah pintu kecil di sisi utara dan sisi selatan. Pintu kecil itu menjadi jalan bagi warga untuk keluar masuk perkampungan. Kecil saja. Hanya pas untuk sepeda motor.

Kontrakan Solemah adalah salah satu dari rumah petak yang ada di situ. Terletak persis di samping tembok pembatas kompleks besar. Rumah kontrakan yang kecil, tapi disesaki penghuninya. Sebelum Yati datang, sudah ada Maryam dan Sofi. Karena itu Yati harus puas mendapat tempat di depan televisi, menggelar tikar di lantai, untuk sekadar tidur di malam hari.

"Awas kamu! Lain kali kamu begitu lagi, aku tinggal!"

Solemah masih belum menuntaskan amarah. Yati pasrah.

***

Yati menghela napas. Dia ingat-ingat lagi, apa yang membawanya ke sini? Ke pinggiran Jakarta yang tidak seindah gambar di televisi? Jawabannya berbentuk wajah Rafi, anak semata wayangnya. Wajah yang tampan dan menggemaskan. Yang membuat Yati menghela napas semakin dalam, saat teringat ayah Rafi yang tak berkabar lagi semenjak berangkat ke Taiwan setahun silam.

Ya, Rafi adalah alasan utamanya pergi ke Jakarta. Mencari nafkah. Tepatnya, Rafi menjadi alasannya untuk terus hidup.  Yati menghela napas lagi.

"Ayo Ti. Ayo... cepat!" Terdengar teriakan Solemah. Pemilik suara itu tiba-tiba muncul dari balik warung rokok yang menempel di balik pagar pertokoan mewah.

Yati bergegas mengikuti Solemah, sebisa mungkin merapikan rambutnya. Solemah mengajarinya untuk berdandan rapi. Dengan bedak tipis dan pemulas bibir. Meskipun harganya murah, dan kalau dipakai lama-lama terasa gatal, lumayan juga wajah Yati dengan tata rias itu. Jadi rapi. Cantik. Mereka semua yang tinggal bersama Solemah, selalu cantik ketika keluar rumah. Baju mereka bagus, meski dibeli di pasar gaplok. Meski tidak secantik ibu-ibu yang turun dari mobil-mobil bagus itu, Yati sudah merasa puas, ia jauh lebih cantik jika dibandingkan saat dulu masih berkutat dengan pohon cabai di desa.

"Ayo, cepat Yati! Jangan banyak ngelamun!"

Yati mempercepat langkah mendekati Solemah. Bersama Sofi dan Maryam, mereka masuk pertokoan. Hawa dingin dari mesin pendingin ruangan menusuk tubuh Yati. Tapi tak ada waktu untuk berdiam sejenak, Solemah mengajaknya bergegas. Dua teman lain pun mengikuti tanpa bersuara.

Di depan sebuah toko buku, mereka berhenti. Sofi dan Maryam bercanda berdua, tertawa-tawa. Solemah mengangkat-angkat ponselnya, sambil memunggungi kaca pajang toko buku. "Ini supaya yang di dalam tidak lihat aku! Sudah kamu nggak usah ikut lihat aku, kamu pura-pura ngapain, gitu," katanya ketus, ketika mendapati Yati menatapnya heran.

"Yati, kamu ingat. Nanti begitu di dalam, kamu ambil satu buku. Pura-pura baca. Sudah begitu saja. Selanjutnya ikuti Sofi. Ya?"

Yati mengangguk. 

"Awas kamu!" Nada suara Solemah penuh ancaman. 

Langkah Yati sempat tersendat, tapi Sofi sudah menarik tangannya. Maryam menepuk pelan pipinya, sambil memberi tanda agar tersenyum. Bertiga mereka masuk toko buku.  Menyusuri rak-rak. Tapi matanya tak bisa membaca satu pun judul buku yang terpampang. Bahkan warna-warna buku itu pun rasanya membaur tidak jelas. Yati bergegas menunduk. Dadanya berdetak kencang sekali. Maryam dan Sofi mengambil satu buku dan melihat-lihatnya. Apa yang mereka baca? Yati ingat pesan Solemah, ambil buku, pura-pura baca. Segera ia mengambil apa saja yang ada di dekatnya. 

"Yati... Yati... yang itu... yang itu...," Sofi berbisik. Matanya menuju ke arah seorang ibu yang sedang membantu anaknya mengambil buku besar. Si anak melompat-lompat tidak sabaran. 

Oh ya... yang itu... Yati segera menuju ke arah ibu dan anak itu. Tadi Solemah menyuruhnya ada di dekat ibu ini. Ibu yang turun dari mobil warna merah. Anaknya lucu. Kira-kira umurnya sama dengan Rafi. Rambutnya lebat, juga seperti Rafi. Wajahnya tampan, badannya sehat sekali. Wah, Rafi pasti juga akan tampan kalau bajunya bagus seperti itu. Hm... Rafi sekarang sedang apa ya? 

"Mbak, permisi. Mbak, maaf saya mau ambil buku itu," suara si ibu menghentikan lamunan Yati. Ibu itu menatap heran. Karena Yati berdiri tegak di depannya, diam saja, menghalangi dan mengganggu sekali. 

"Oh ya bu. Ya. Maaf," tergopoh-gopoh Yati minggir. Apa pesan Solemah tadi? Ambil buku? Pura-pura baca? 

Tangan Yati secara asal bergoyang. Akibatnya, tumpukan buku di sebelahnya rebah. Aduh!
Ibu itu masih menatap heran. Tapi dengan sigap lalu memanggil pelayan toko. "Mas... mas... tolong mas. Bukunya berantakan ini."

Seorang pelayan toko segera menghampiri. Lalu menata buku-buku yang tadi dijatuhkan Yati.
Jantung Yati berdegup keras sekali. Ia sesaat ragu. Tapi ia masih ingat kata-kata Solemah. Ambil buku. Pura-pura baca. Ambil buku. Pura-pura baca. 

Ibu itu melaluinya. Menuju anaknya yang tampak tekun mengamati buku besar bergambar binatang. Mereka lalu tertawa bersama. Yati menatap iri. Kangen Rafi. Oh. Ambil buku. Pura-pura baca. Ia segera mengalihkan mata ke buku di tangannya. Gambar apa ini? Oh, bukunya ternyata terbalik. Pantas tidak jelas.   
Ia lihat Sofi dan Maryam sudah berada di dekat ibu itu juga. Solemah ada di dekat rak buku yang satunya. Matanya menatap Yati tajam. Yati beringsut mendekat. Ambil buku. Pura-pura baca. Ambil buku. Pura-pura baca. 

Anak itu melihat ke ibunya, lalu tertawa lagi, berseru-seru sambil melihat ke buku, "Wah, monyetnya bisa menari!"

Rafi pasti juga akan senang kalau punya buku bagus seperti itu. 

Ibu itu tiba-tiba menatap Yati. Heran melihat Yati mengamati anaknya begitu lekat. Yati menunduk. Ambil buku. Pura-pura baca.   

Tiba-tiba Yati melihat ibu itu bergerak cepat, balik badan, setengah berteriak, "Eh... eh... kok tas saya terbuka? Eh... ada apa ini?" Ibu itu tampak panik sesaat. Tapi masih waspada, ia sekali lagi memanggil pelayan toko, "Mas... mas... tolong mas... ini ada yang nggak bener nih.... Mas!"

Yati melihat Sofi dan Maryam sigap melesat. Bagai terbang mereka keluar toko. Solemah pun tampak beringsut mendekati pintu. Yati bingung sesaat. Ambil buku. Pura-pura baca. Eh... tapi mereka keluar.  Segera ia kembalikan buku di tangannya, ingin menyusul Sofi dan Maryam. Juga ingin segera mendekati Solemah. Lho? Mana Solemah?

Yati celingukan ketika petugas toko menangkap tangannya. "Ayo kamu ikut saya!"

Jantung Yati seakan jatuh ke lantai. Ia didudukkan di lantai dekat meja kasir.    

"Iya, saya lihat tas saya tiba-tiba terbuka... mbak ini tadi melihat-lihat terus... aneh sekali... tas saya terbuka. Tidak... tidak ada yang hilang.... Tapi coba lihat di CCTV. Sepertinya teman-teman mbak ini tadi mencurigakan sekali. Mereka pasti komplotan...."

"Bloon kamu! Bloon! Kita semua bisa masuk penjara."

"Coba mas, periksa rekaman CCTV. Lihat, ada empat perempuan yang masuk toko ini setelah saya. Nah, iya... itu mereka...."

"Ambil buku. Pura-pura baca. Jangan suka bengong seperti itu. Mereka bisa curiga."

Samar-samar Yati masih mendengar suara-suara itu. Samar. Perasaannya berkecamuk. Ia kangen Rafi. Ia ingin pulang ke Kebumen. Ke anaknya.

"Nah, betul kan mas. Betul kan... yang baju kuning yang membuka tas saya! Astaga. Mereka ini penjahat! Saya sudah curiga karena saya lihat mbak ini baca buku kok terbalik. Mereka komplotan ya. Aduh. Saya akan lapor polisi."

Tidak ada lagi mereka. Hanya tinggal Yati. Hanya ia yang akan dipenjara. Dia. Yati. Anggota baru komplotan copet. Yati jatuh pingsan. Ia hanya kangen anaknya.

(Dimuat di salah satu Majalah Femina yang terbit bulan Maret 2016)

Wednesday, April 06, 2016

Tentang Kita. Atau Aku? (Yang Lain)

Dan pagi pun datang.

Biasanya, aku akan melihatmu begitu aku tersadar dari tidur. Beberapa kali terjadi momen jenaka, saat kita membuka mata bersama-sama. Ah... begitu besarnya cinta kita, hingga mengakhiri mimpi pun bisa berdua. Lalu kau akan berjingkat membuka jendela, membiarkan hawa sejuk dari halaman mengalir masuk.

"Aku tidak akan bisa tinggal di bangunan yang penuh sekat," katamu suatu hari.

Ya, aku tahu. Kau harus bisa menyapa pohon besar begitu kau bangun di pagi hari. Kecintaanmu pada alam, kesukaanmu pada tanaman, adalah hal yang akan membuatmu resah jika kita tinggal di apartemen di tengah kota. Karena itulah kau membawaku tinggal di tempat ini. Jauh dari kota, jauh dari hiruk pikuk gaya hidup yang terselip di sela-sela bangunan pencakar langit. Kita seperti menyingkir dari kehidupan yang bergerak cepat.

Kita jauh dari mana-mana, kecuali dari hutan dan tanaman. Sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah kita, ada air terjun alami. Kau sering mengajakku ke sana. Lalu kita akan berlama-lama berada di bawah tirai airnya. Menikmati suara gemuruh, merasakan percikan air mengenai wajah, sambil duduk di atas lumut yang basah.

Berdampingan dengan alam membuatmu ceria.

Aku? Mengikutimu adalah nama tengah yang kupilih sendiri. Aku dilahirkan di tengah kegaduhan metropolitan, dibesarkan di antara bangunan beton, dan selalu memilih kepraktisan yang disuguhkan kehidupan modern. Sebetulnya, aku suka tanaman, mencintai hewan, dan selalu mencari angin segar dari jendela yang terbuka. Tapi, kehidupan sejak kecil mengajarkan aku untuk menerima yang tersedia di depan mata.

Karena tinggal di apartemen, aku terpaksa menghirup udara kalengan air conditioner, kecuali di pagi buta ketika polusi kendaraan hanya tinggal sedikit, aku baru bisa bebas membuka jendela. Tanaman air yg dipelihara di gelas kaca sudah cukup memuaskan aku. Binatang peliharaan? Ah, aku memilih pergi ke taman, memberi makan ikan di danau atau menebarkan biji untuk burung-burung liar saja. Kehidupan yang serba cepat adalah yang aku kenal sejak dulu, kuakrabi sepenuh hati, dan kunikmati hingga tuntas.

Lalu, aku mengenalmu. Kau yang memuja alam sepenuh hati dan selalu ingin berada di dekatnya. Kau perkenalkan aku pada kehidupan yang jauh dari ingar bingar kota besar yang seperti tak pernah tidur. Kau bawa aku mendaki gunung, bermain di laut, bahkan menyusuri goa-goa gelap penuh misteri. Hal yang tak pernah kusentuh. Bahkan berpikir untuk mengenalnya pun, dulu aku sudah merasa lelah. Dulu. Berbeda dengan aku yang setelah mengenalmu. Sedikit demi sedikit, kau tularkan padaku kecintaanmu pada pohon, kucing, anjing, bahkan ular. Dan aku mengikutimu. Meski merasa mau mati saat mendaki gunung, toh aku bisa menggapai puncaknya. Terengah menyusuri goa batu, perjalanan tetap bisa kuselesaikan hingga ujungnya. Aku yang dulu sering cemas diserang hiu saat di laut lepas, kini berani menyelam di antara manta raksasa yang sedang mencari plankton. Semua kujalani karena aku tahu, kau menggenggam tanganku erat-erat. Hingga aku tak akan tersesat.

Banyak yang mencibir bahwa aku hanya ikut-ikutan kamu. Cintaku padamu membutakan, hingga aku mau-mau saja kau bawa keluar masuk hutan atau menaklukkan ombak di pantai-pantai yang jauh. Mereka mencemooh kulitku yang menggelap.

Apa salahnya? Kulitku memang tidak seputih dulu, tapi menurutku, yang sekarang ini lebih alami. Coklat mengilap. Sehat. Alam yang kau kenalkan padaku selalu indah. Jadi, kalau aku jatuh cinta padanya, tentu bukan semata karena perasaanku padamu. Bagiku, kau hanya membukakan pintu-pintu yang selama ini kukira tertutup.


***

Tapi pagi ini berbeda.

Pagi ini, aku tak melihat senyummu. Sisi tempat tidur yang biasa kau huni, sepi dan dingin. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hampa mungkin belum cukup dalam menggambarkannya.

Ketika aku berjingkat membuka jendela, hawa yang masuk tak juga menyegarkanku. Rasa dingin justru membuatku meneteskan air mata. Aku rindu kamu. Dan alam akan selalu mengingatkanku bahwa kamu kini tak ada lagi.

Kamu pergi.
 
Dengan mengherankan, kau tak hanya meninggalkan aku, tapi juga meninggalkan semua yang, kupikir, kau cintai sepenuh hati. Kau tinggalkan semua pohon, semua tanaman, semua ayam, dan semua kelinci. Yang selama ini kau rawat tanpa jeda. Kau tinggalkan rumah kayu yang dulu sangat kau banggakan.

Seakan terserang amnesia akut, kau seperti lupa bahwa dulu kita memulai semuanya dari titik yang paling bawah. Ingatkah kau saat kutinggalkan hidupku yang gemerlap? Pindah ke rumah kayu ini. Menyongsong kegembiraan hati yang kau janjikan. Betul. Aku gembira. Bersamamu, aku bahagia. Meski ternyata tidak selamanya. Lupakah kau bahwa dulu kita harus memilih antara membeli kasur atau membeli meja. Harus ada yang didahulukan, tidak bisa dua-duanya sekaligus... karena dana kita yang terbatas.

Aku ingat matamu yang berbinar ketika aku berhasil memasak menu makan siang dengan kompor yang kita beli setelah menabung beberapa lama. Lupakah kau?

Aku juga tak lupa pada ekspresi gembiramu melihat aku berhasil menyemaikan sepetak taman di bawah jendela kamar kita.  Lupakah kau?

Kini, tanpamu, aku gamang.

Kau tinggalkan aku, yang dulu kau akui sebagai matahari hidupmu.


Kamu memilih bersama dia. Apakah dia juga suka hutan? Apakah dia pecinta tanaman? Apakah dia pandai menaklukkan binatang? Aku tak paham di mana kau mengenalnya. Bagaimana? Kapan?

Yang kutahu, kau pergi. Meninggalkan aku.

Aku tidak ingat manakah celah hatimu yang tidak kuisi, sehingga ada tempat bagi perempuan itu.
  

Tuesday, April 05, 2016

Tentang Kamu. Atau Aku?

Kita tidak pernah punya waktu untuk bercakap dgn betul. Membahas semua tentang kita dgn seksama. Apa rencanamu? Apa rencanaku?

Ada di mana aku dalam pikiranmu? Seringkali aku merasa seperti berusaha keras memasuki celah2 yang tersisa di kepalamu. Di antara pekerjaanmu yg padat dan hobi yang kau tekuni sepenuh hati.

Untukmu, semua terjadwal dgn tertib. Pertemuan jam sekian. Makan siang. Janji temu dgn investor. Olahraga. Lalu jadwal pertandingan dan kompetisi yang kau ikuti karena hobi. Semua tertata dari hari ke hari dengan teratur. Semua, kecuali janji jumpa kita.

Beberapa kali aku merelakan rencanaku berantakan. Karena kau tiba2 datang. Kejutan yg manis, tentu saja, mengingat jarak yg kau tempuh begitu jauh. Tapi... rencanaku yang berantakan itu, tidakkah pernah kau pikirkan? Rasanya tidak. karena hal itu tidak terjadi hanya sekali saja. Dan aku tidak pernah menunjukkan keberatan. Karena aku menghargai usahamu untuk menemuiku.

Sebetulnya, aku pun menikmatinya. Menikmati perjumpaan kita yg kadang berhari2, tapi lebih sering hanya dalam hitungan jam saja. Setidaknya, aku berusaha menikmati setiap perjumpaan lalu menghiasinya dengan berbagai keriangan. Menghiburmu yg telah bersusah payah menempuh penerbangan panjang. Juga menghibur diriku sendiri yang telah merindukanmu sekian lama. Kehadiranmu menuntaskan semua rindu. Terima kasih telah melakukannya, ya. 

Banyak yang ingin kutanyakan. Yang terutama, ada di manakah aku? Apakah ada tempat khusus untukku di bilik hatimu dan di dalam benakmu? Pertanyaan itu selalu sudah ada di ujung lidah. Tapi lalu berhenti di sana. Aku tidak pernah menanyakan. Aku tidak berani. Karena aku tahu, kau akan pergi begitu aku selesai bertanya. Bukan jawaban yang akan aku dapatkan. Tapi kehilanganmu. Aku sungguh tak mau itu. Aku, dan cintaku yang besar, selalu ingin kamu.

Namun setelah tahun2 berlalu, akhirnya aku merasa bahwa salah satu di antara kita harus lebih tegar. Harus ada di antara kita yang sadar untuk mencari tujuan yg benar. Sebenar2nya.

Akhirnya aku bertanya: aku ada di mana?

Dan persis seperti yg kuduga, bukan jawaban yang aku peroleh. Pertanyaan itu seperti garam yg kusebar di lautan maha luas. Dgn mudah ia larut. Hilang.

Hilang membawamu.

Aku tidak berharap kamu akan kembali lalu menjawab pertanyaanku. Bahkan meski aku telah bersiap menghadapi jawaban yg paling menyakitkan hati. Tidak. Aku tidak berharap apa2.Seperti aku tidak pernah berharap kamu akan hadir di hari2 penting dalam hidupku. Sekali lagi, aku tidak mengharapkan apa pun. Aku bisa apa?  

Rasanya memang aku tidak perlu ada di mana2. Termasuk di dalam pikiranmu. Apalagi di hatimu.

Dan cintaku padamu yg begitu besar akan mengaburkan semua perasaanku yg tidak nyaman.



Monday, April 04, 2016

For Sure

...wherever you go I still know in my heart you will be with me.... 

(For Always, Josh Groban)