Dan pagi pun datang.
Biasanya, aku akan melihatmu begitu aku tersadar dari tidur. Beberapa kali terjadi momen jenaka, saat kita membuka mata bersama-sama. Ah... begitu besarnya cinta kita, hingga mengakhiri mimpi pun bisa berdua. Lalu kau akan berjingkat membuka jendela, membiarkan hawa sejuk dari halaman mengalir masuk.
"Aku tidak akan bisa tinggal di bangunan yang penuh sekat," katamu suatu hari.
Ya, aku tahu. Kau harus bisa menyapa pohon besar begitu kau bangun di pagi hari. Kecintaanmu pada alam, kesukaanmu pada tanaman, adalah hal yang akan membuatmu resah jika kita tinggal di apartemen di tengah kota. Karena itulah kau membawaku tinggal di tempat ini. Jauh dari kota, jauh dari hiruk pikuk gaya hidup yang terselip di sela-sela bangunan pencakar langit. Kita seperti menyingkir dari kehidupan yang bergerak cepat.
Kita jauh dari mana-mana, kecuali dari hutan dan tanaman. Sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah kita, ada air terjun alami. Kau sering mengajakku ke sana. Lalu kita akan berlama-lama berada di bawah tirai airnya. Menikmati suara gemuruh, merasakan percikan air mengenai wajah, sambil duduk di atas lumut yang basah.
Berdampingan dengan alam membuatmu ceria.
Aku? Mengikutimu adalah nama tengah yang kupilih sendiri. Aku dilahirkan di tengah kegaduhan metropolitan, dibesarkan di antara bangunan beton, dan selalu memilih kepraktisan yang disuguhkan kehidupan modern. Sebetulnya, aku suka tanaman, mencintai hewan, dan selalu mencari angin segar dari jendela yang terbuka. Tapi, kehidupan sejak kecil mengajarkan aku untuk menerima yang tersedia di depan mata.
Karena tinggal di apartemen, aku terpaksa menghirup udara kalengan air conditioner, kecuali di pagi buta ketika polusi kendaraan hanya tinggal sedikit, aku baru bisa bebas membuka jendela. Tanaman air yg dipelihara di gelas kaca sudah cukup memuaskan aku. Binatang peliharaan? Ah, aku memilih pergi ke taman, memberi makan ikan di danau atau menebarkan biji untuk burung-burung liar saja. Kehidupan yang serba cepat adalah yang aku kenal sejak dulu, kuakrabi sepenuh hati, dan kunikmati hingga tuntas.
Lalu, aku mengenalmu. Kau yang memuja alam sepenuh hati dan selalu ingin berada di dekatnya. Kau perkenalkan aku pada kehidupan yang jauh dari ingar bingar kota besar yang seperti tak pernah tidur. Kau bawa aku mendaki gunung, bermain di laut, bahkan menyusuri goa-goa gelap penuh misteri. Hal yang tak pernah kusentuh. Bahkan berpikir untuk mengenalnya pun, dulu aku sudah merasa lelah. Dulu. Berbeda dengan aku yang setelah mengenalmu. Sedikit demi sedikit, kau tularkan padaku kecintaanmu pada pohon, kucing, anjing, bahkan ular. Dan aku mengikutimu. Meski merasa mau mati saat mendaki gunung, toh aku bisa menggapai puncaknya. Terengah menyusuri goa batu, perjalanan tetap bisa kuselesaikan hingga ujungnya. Aku yang dulu sering cemas diserang hiu saat di laut lepas, kini berani menyelam di antara manta raksasa yang sedang mencari plankton. Semua kujalani karena aku tahu, kau menggenggam tanganku erat-erat. Hingga aku tak akan tersesat.
Banyak yang mencibir bahwa aku hanya ikut-ikutan kamu. Cintaku padamu membutakan, hingga aku mau-mau saja kau bawa keluar masuk hutan atau menaklukkan ombak di pantai-pantai yang jauh. Mereka mencemooh kulitku yang menggelap.
Apa salahnya? Kulitku memang tidak seputih dulu, tapi menurutku, yang sekarang ini lebih alami. Coklat mengilap. Sehat. Alam yang kau kenalkan padaku selalu indah. Jadi, kalau aku jatuh cinta padanya, tentu bukan semata karena perasaanku padamu. Bagiku, kau hanya membukakan pintu-pintu yang selama ini kukira tertutup.
***
Tapi pagi ini berbeda.
Pagi ini, aku tak melihat senyummu. Sisi tempat tidur yang biasa kau huni, sepi dan dingin. Jangan tanya bagaimana perasaanku. Hampa mungkin belum cukup dalam menggambarkannya.
Ketika aku berjingkat membuka jendela, hawa yang masuk tak juga menyegarkanku. Rasa dingin justru membuatku meneteskan air mata. Aku rindu kamu. Dan alam akan selalu mengingatkanku bahwa kamu kini tak ada lagi.
Kamu pergi.
Dengan mengherankan, kau tak hanya meninggalkan aku, tapi juga
meninggalkan semua yang, kupikir, kau cintai sepenuh hati. Kau
tinggalkan semua pohon, semua tanaman, semua ayam, dan semua kelinci.
Yang selama ini kau rawat tanpa jeda. Kau tinggalkan rumah kayu yang
dulu sangat kau banggakan.
Seakan terserang amnesia akut, kau seperti lupa bahwa dulu kita memulai semuanya dari titik yang paling bawah. Ingatkah kau saat kutinggalkan hidupku yang
gemerlap? Pindah ke rumah kayu ini. Menyongsong kegembiraan hati yang
kau janjikan. Betul. Aku gembira. Bersamamu, aku bahagia. Meski ternyata
tidak selamanya. Lupakah kau bahwa dulu kita harus memilih antara membeli kasur atau membeli meja. Harus ada yang didahulukan, tidak bisa dua-duanya sekaligus... karena dana kita yang terbatas.
Aku ingat matamu yang berbinar ketika aku berhasil memasak menu makan siang dengan kompor yang kita beli setelah menabung beberapa lama. Lupakah kau?
Aku juga tak lupa pada ekspresi gembiramu melihat aku berhasil menyemaikan sepetak taman di bawah jendela kamar kita. Lupakah kau?
Kini, tanpamu, aku gamang.
Kau tinggalkan aku, yang dulu kau akui sebagai matahari hidupmu.
Kamu memilih bersama dia. Apakah dia juga suka hutan? Apakah dia pecinta tanaman? Apakah dia pandai menaklukkan binatang? Aku tak paham di mana kau mengenalnya. Bagaimana? Kapan?
Yang kutahu, kau pergi. Meninggalkan aku.
Aku tidak ingat manakah celah hatimu yang tidak kuisi, sehingga ada tempat bagi perempuan itu.
No comments:
Post a Comment