Wednesday, September 21, 2022

Jatuh Cinta Lagi, Patah Hati Lagi

Senyum yang mengembang di wajahnya persis seperti yang saya lihat sekitar 13 tahun lalu, di halaman sebuah TK di Jakarta Timur. Senyum yang selalu membuat saya jatuh cinta. Bedanya, si pemilik senyum saat ini sudah lebih tinggi dari saya, sehingga, saat jumpa, dia bisa langsung memeluk bahu saya. 

Ternyata bukan hanya senyumnya, pelukannya juga masih sama. Erat. Seolah tak ingin lepas. Persis waktu dia kecil dulu. Saya pun sukarela melakukan hal yang sama, memeluknya bagai tak ingin berpisah sedetik pun. Dia adalah milik saya yang paling berharga. 

Kami baru berpisah dua hari. Dua hari yang menurut saya sangat lama. 

"Ibu nggak pengen pindah ke Bandung saja?" 

Pertanyaan itu sudah dia ajukan berkali-kali sejak dia tiba di kamar kosnya, dua hari sebelum kami berjumpa kembali. Dan pagi itu, di halaman rumah kos, dia ulangi lagi. Rasanya dia pun mengerti, dua hari berpisah darinya membuat perasaan saya kacau balau hingga sempat berpikir untuk pindah menyusulnya. 

Ya, Aria kuliah di Bandung. For some of you who have been following this blog since the beginning, in 2004... that little boy is now entering his university life. Yes, you read it right. My big boy is becoming a man. 

Sejak awal milih-milih sekolah, Aria memang nggak terlalu tertarik kuliah di Jakarta. Saya setuju saja, dan mendorong dia untuk memilih Yogya, atau Semarang. Saya selalu ingin dia merasakan hidup di kota yang dekat dengan darahnya sebagai orang Jawa. 

Kami sempat ke Yogya beberapa saat lalu. Mengintip ruang-ruang kelas di UGM. Karena hasil psikotes mengarahkan Aria ke jurusan arsitektur, kami blusukan hingga ke lab arsitektur UGM. Kami "disambut" pak ketua jurusan, yang terlihat gembira karena "anaknya Pak Ary mau kuliah di UGM". Iya, kakak saya beberapa kali menjadi dosen tamu di sana. Sambutan yang justru semakin membuat Aria tidak tertarik kuliah arsitektur karena belum-belum sudah tidak nyaman diidentifikasi sebagai "anak arsitek Indonesia yang disegani." Dan saya paham betul perasaan itu :) 

Lalu kami ke ISI Yogya. Ibu saya sempat bersekolah di sana. Dan Aria merasa jurusan seni murni atau desain bisa dijajaki. Ya sudah. Saya temani dia berkeliling kampus yang juga belum terlalu ramai saat itu. 

Perjalanan berakhir dengan... Aria belum memutuskan mau ke mana, tapi tetap mendaftar IUP Communication di UGM dan di Undip. Kenapa jadi mau masuk jurusan komunikasi? Dia hanya menjelaskan selintas bahwa dia tertarik pada apa yang saya kerjakan selama ini. Oh, okay.... 

Sekitar seminggu sebelum ujian IUP,  Aria liburan ke Bandung bersama teman-teman akrabnya. Berlima mereka menginap 2 malam di Bandung. Mungkin kota itu sangat mengesankan buat dia, karena sepulang dari sana, dia minta uang untuk beli formulir ujian masuk HI di Universitas Parahyangan Bandung. 

Bahkan Bandung tidak pernah masuk daftar kota yang saya sukai. Menurut saya, kotanya semrawut dan ruwet. Saya juga tidak paham Bahasa Sunda. Tidak ada kedekatan apa pun antara saya dan Aria dengan kota itu. Namun sebagaimana orang tua yang mendukung, saya mengizinkan Aria mendaftar. Toh, reputasi HI Unpar sangat bagus. Tapi karena Aria lebih ingin masuk komunikasi, dia lebih serius belajar untuk tes UGM & Undip. Meskipun ternyata... dia diterima di HI Unpar. Saya masih berpikir dia punya kesempatan menjajal masuk UGM atau Undip lewat SBMPTN. Tapi, Aria menolak. Dia nggak mau ikut SBMPTN, dan memutuskan akan kuliah di Bandung saja.  

Just as simple as that. He picked Bandung.  

Saya hanya bisa mendukung. 

Kami hitung segala kebutuhan dia. Oh, tabungan cukup sampai dia lulus. Alhamdulillah aman. Langkah berikutnya adalah mencari tempat tinggal. 

Perburuan kamar kos ini sungguh menggambarkan kepribadian Aria, sesuai cara dia dibesarkan. Sejak dia lahir, dia selalu tinggal di kamar yang berjendela besar. Kamarnya tidak selalu luas, tapi dia bisa melihat langit kapan saja dia mau. Kamar mandinya pun selalu kering dan bersih. Itulah yang dia cari sebagai tempat tinggal di Bandung. Susahnya minta ampun. Ha ha ha.... 

Dia tidak pernah mempermasalahkan ukuran kamar. Kamar kos yang standar memang jarang ada yang luas, kan? Tapi dia resah dengan ukuran jendela yang seringkali hanya selebar kertas HVS. Kami keluar masuk rumah kos di Ciumbuleuit hingga ke jalan Ranca Bentang. 

Sebetulnya, ada rumah om dan tante saya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus Unpar. Banyak kamar kosong di rumah itu karena dua sepupu saya tinggal di Jakarta. Om dan tante menyambut gembira Aria di rumah mereka. Tapi, Aria tidak mau. Dia lebih memilih di kamar kos. Dan berjanji akan sering-sering menemui eyang dan tuniangnya. 

Akhirnya Aria menemukan kamar yang dia mau di sebuah bangunan 4 lantai yang bentuknya mirip hotel kelas melati. Sejak awal melihat dari video yang dikirim pemilik kos (untuk bisa masuk, harus janjian dulu lewat wa, sehingga perlu hari lain untuk cek kamar itu), Aria sudah jatuh cinta pada satu kamar di lantai 3. Bukan karena kamarnya berperabot lengkap, tapi lebih karena kamar itu terlihat terang benderang dibandingkan kamar-kamar lain. Dan betul saja, ketika dijenguk, kamar itu berjendela besar sekali. Meskipun pemandangannya adalah atap, tapi bisa melihat langit. Kamar mandinya juga bersih. Rapi. Aria bahkan nggak peduli bahwa satu dindingnya miring, sehingga kamarnya jadi asimetris... ha ha ha.... 

Kegalauan saya dimulai sejak dia menemukan tempat tinggal baru. 

Terus terang saya tidak habis memikirkan apa yang terjadi jika tidak bisa melihat hidung anak saya saban hari. Saya sadar betul bahwa random peluk cium akan jadi hal yang sangat saya rindukan. Tapi tentu saja saya juga tidak bisa mengikatnya terus menerus. Sudah waktunya dia dilepas, melanjutkan jalan hidup yang dia pilih. 

Untuk "latihan", buat saya dan Aria, saya biarkan Aria berangkat lebih dulu, sendirian. Dia sempat tidak menyangka bahwa saya tidak mau mengantar, tapi saya tahu dia terlalu keras kepala untuk minta saya cuti. Hehehe... Jadilah dia pergi sendiri, di suatu hari Kamis pagi. Saya antar ke gerai travel, sebelum ngantor. 

Begitu travelnya berangkat, air mata saya nggak bisa berhenti. Sepanjang perjalanan ke kantor, saya mewek habis-habisan. Entahlah itu air mata apa, karena saya rasanya tidak boleh bersedih. Bangga mungkin? Ada unsur patah hati juga di dalamnya. Tapi juga bahagia. Hmmm... atau saya merasakan campur aduk antara semuanya. Yang jelas, tiba-tiba saya menghadapi kenyataan bahwa Aria meninggalkan rumah. Welcome to adulthood, son. 

Belakangan, Aria mengakui dia cemas, galau, juga sedih saat harus pergi dari rumah. Karena itu dia senang sekali saat tahu saya akan datang di akhir pekan, 2 hari setelah dia berangkat. Hahaha... iya... saya nggak mau nganter tapi nyusulnya cepet banget ya! 

Hari Sabtu, kami ketemu. Seolah sudah lama sekali nggak saling jumpa! Saya tahu, Aria kesepian. Dia memang bukan anak yang mudah bergaul, jadi akan sulit menemukan teman baru. Tapi saya sadar juga ini saat yang tepat mengajari dia untuk membuka diri pada pertemanan, selalu fleksibel pada perubahan, juga supaya bisa beradaptasi dengan cepat. Jadi saya habiskan hari Sabtu itu untuk membekalinya dengan segala tips and tricks. Knowing him... nggak bisa ngasih tahunya sekadar harus A, B, C... ngomong standar nggak akan dia pikirin. Hmm... untung ibunya storyteller... jadi bisa pakai dongeng-dongeng dan ngobrol sambil milih jaket atau celana panjang.

Hari Minggunya, Aria mengantar saya ke travel. Gandengan tangannya makin erat waktu kendaraan saya datang. Saya tahu, dia cemas. 

"Ibu beneran nggak mau pindah ke Bandung?"

"Kalau ibu di Bandung, kamu nggak bisa pulang ke BSD, dong?"

Wajahnya datar. Tapi matanya cemas. 

Saya cium tangannya yang menggenggam tangan saya. 

"Be brave. Be strong." 

Dia lalu memeluk saya. Kuat sekali. Saya balas dengan pelukan yang menggambarkan rindu saya yang tak akan pernah tuntas. Susah payah saya menahan air mata.

"Ibu harus sering-sering ke sini."

Saya mengangguk. Lalu naik ke mobil. Saya melambai. Dia menunggu hingga mobil saya berangkat. Leher saya tercekat saat melihat Aria melambaikan tangannya. 

Di dalam kendaraan, sepanjang jalan menuju BSD, air mata saya tumpah. Lagi-lagi saya menangis. Berderai-derai air mata, tidak bisa saya hentikan. Saya masih belum paham apa yang saya tangisi. Mungkin saya bangga karena anak saya bisa memaksa diri untuk tegar dan tangguh bersekolah di kota lain yang asing. Being brave and being strong. Mungkin saya cemas karena membayangkan kesulitan Aria beradaptasi. Mungkin juga hati saya seperti kosong saat membayangkan kamar anak saya yang tidak ada penghuninya. Atau, lagi-lagi, saya rasakan campuran dari semuanya, yang membuat dada sesak dan air mata membanjir. 

Bagaimana pun, saya tahu bahwa saya harus belajar melepaskan diri dari kemelekatan dengan Aria. Dia harus menyongsong masa depannya sendiri. Sebagian tugas saya usai, begitu dia menginjak dewasa dan pergi dari rumah. Saya hanya bisa mendampinginya dalam doa. Semoga dia selalu sehat, lancar bersekolah, dilindungi Allah SWT dalam setiap langkah. Aamiin. 

Akhirnya saya tahu, saya patah hati lagi.