Wednesday, September 30, 2020

Jadwal

Jadi, hari pertama gimana?

Ibu akan yoga. Trus mungkin jogging dulu sebentar ya. Sampai jam 8 deh. Jam 10 sdh hrs ada meeting zoom, jadi aku akan kembali ke pinggir hutan sekitar jam 9.30 ya. Habis meeting, biasanya hrs ngerjain sesuatu sampai sore. Ada yg mau nengokin kita. Pergi bareng deh habis itu ya. 

Trus, hari kedua? 

Main sepeda yuk. Sampai ke tempat yg bagus itu lho. 

Oke. Habis itu? 

Ya... paling jam 9 sdh harus di hutan lagi kan. Pasti sudah panas. Ya terserah kamu sih mau ngapain lagi, bilang aja mau ke mana, nanti dianterin.  

Heeee Ibu, kok bisa tiba2 lupa kerja? Nggak ada meeting?  

Oh iya. Hahaha.... 

Jangan pacaran terus. 

Eh.... 

Sunday, September 27, 2020

On Remarriage part 2

Mendiskusikan tulisan saya tentang Aminah, teman saya berkomentar tentang dua jenis manusia di dunia. 

 

“Jadi ya, ada yang gampang menikah, ada juga yang susah menikah.”

“Iyaaaa… sama seperti ada yang gampang saja beli sepatu, dan ada yang perlu mikir-mikir dulu…,” sambung saya. 

“Nah, kalau analoginya beli sepatu… berarti ada satu jenis lagi. Yaitu yang sebetulnya gampang saja beli… tapi nggak ada ukurannya,” sambutnya. 

 

Hmm…. Maksudnya yang nggak dapat-dapat jodoh nih? Lho… kok ngegas…. 

 

“Kita kan sedang membicarakan orang yang menikah lagi…,” dia mencoba menjelaskan. Menurutnya, pengalaman bercerai memberi efek yang berbeda-beda pada tiap orang. “Ada yang karena pernah bercerai, lalu hidup melajang lagi dan kemudian menikmatinya sehingga tidak merasa perlu menikah lagi. Ada yang setelah bercerai merasa harus segera menemukan pendamping baru karena pernah merasakan kenyamanan punya pasangan,” jawabnya. 

 

Baiklah. Jadi ada yang melihat dari sisi bahagia pernikahan. Ada juga yang menilai dari kehidupan setelah (atau mungkin proses menyakitkan dari) perceraian. 

 

Salah satu kenalan saya, perempuan, menikah untuk ketiga kalinya baru-baru ini. Pernikahan pertama berjalan selama kira-kira 5 tahun, dengan dua anak. Pernikahan kedua kandas setelah tujuh tahun. Kini, dia memutuskan menikah lagi dengan duda beranak dua, setahun setelah ia resmi menjadi orang tua tunggal. 

 

Menariknya, duda itu baru ia kenal kurang dari tiga bulan. Ketika banyak yang mempertanyakan keputusannya, dia menjawab, “Ya aku tahu lah bedanya antara cinta atau bukan… kan aku sudah pernah menikah….” 

 

Iya sih… tapi kok…. Hmm…. 

 

Saya bukan “perusak pesta.”  Apa hak saya? Tapi saya belum lupa kehebohan dua perceraian dia yang terdahulu…. 

 

Perceraian pertamanya cukup alot, karena terjadi perebutan hak asuh dua anak. Saya ingat kenalan saya itu seperti tak punya waktu mengurus diri karena semua daya dan tenaga terkuras untuk upaya memenangkan hak asuh. Dari penampilan saja sudah menyedihkan, tak terbayang isi hatinya yang pasti berantakan. Ketika akhirnya sidang berakhir dan dia berhasil mendapatkan hak asuh anak, dia pun perlu cuti lama dari kegiatannya untuk menata hidupnya kembali. 

 

Lalu baru saja mapan, dia menikah lagi. Semua teman gembira belaka, tentu saja. Bahkan cenderung terkejut ketika akhirnya dia melayangkan gugatan cerai. “Suami KDRT,” alasannya. Setelah tujuh tahun, dia tak tahan. Bercerai. 

 

Saya memang hanya penonton. Dan memang suami KDRT harus dijauhi. Tapi membayangkan naik turun emosional yang dia alami, rasanya kok lelah sekali. Saya tahu rasanya, karena saya juga pernah mengurus perceraian dan menjalani sidang yang menyakitkan hati. Rasanya saya tidak akan sanggup jika –amit-amit- harus menjalani proses semacam itu lagi.  

 

Dan sekarang si teman menikah lagi dengan seseorang yang bisa dibilang belum dia kenal seutuhnya. Atau bisa ya mengenali seseorang hanya dalam waktu singkat? 

 

“Itu kan kamu,” kata sahabat saya. Ah… lagi-lagi keluar kata-kata itu. 

“Rasanya kok capek sekali hidup nggak pernah tenang….”

“Iya, kamu mikirnya begitu. Siapa tahu dia selama pernikahan senang-senang? Dan semua huru-hara itu terjadi di ujungnya saja? Buktinya, dia dengan gagah berani mengambil keputusan menikah lagi. Kalau kata orang tua… dia belum kapok.”

 

Bisa jadi. Lalu kalau nanti –amit-amit- ternyata ada ketidakcocokan lagi, tinggal gugat cerai lagi. Begitu? Teman saya hanya mengangkat bahu. 

 

“Ya mestinya, apa pun yang dia putuskan, sudah dia pikir masak-masak. Bisa saja ketika menemukan masalah, dia ingat lagi bahwa ternyata dia bisa bangkit lagi setelah bercerai. Jadi ya… cerai lagi pun tidak apa-apa.”

 

Tanpa memikirkan keluarga yang sedikit banyak ikut terlibat dalam arus kerusuhan? Tanpa memikirkan perasaan anak-anak yang pasti cemas melihat ibunya dalam satu masa terlihat sedih berkepanjangan? Tanpa memikirkan waktu yang terbuang untuk mengurus sesuatu yang memberatkan kepala? Tak hendak menyalahkan keputusannya menikah lagi, pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benak saya. 

 

“Dia perempuan kuat. Tahan banting,” kesimpulan sahabat saya. 

“Untuk urusan pernikahan, mungkin iya. Duh… aku kok cemas…. Iya iya… itu kan akuuuu….”




Tulisan ini ditayangkan di blog Single Mom Indonesia

 

Friday, September 25, 2020

The Winner

You should know that you are out of the competition. You already win. You just do not have the chance to pick up the prize. And it is not my fault. So I would thank you if you let someone else standing in the podium. 

Thursday, September 24, 2020

On Remarriage

Mantan embak di rumah saya, namanya Aminah, cantik dan manis. Pertama kali dia datang ke rumah, saya sempat ragu akan mempekerjakan dia. Dengan tubuh langsing, rambut panjang, dan kulit putih, jangan-jangan nanti dia malah lebih sibuk bergaya-gaya menarik perhatian supir pak RT tetangga sebelah? 

 

“Aminah kerja untuk cari uang, menyekolahkan anak, Ibu,” katanya saat itu. 

“Anakmu umur berapa?”

“Sekarang kelas 2 SMP,” jawabnya. Oh, berarti seumur anak saya. 

 

Aminah bercerita bahwa Ryan, nama anaknya, ditinggal bapaknya setahun lalu. Si bapak kawin lagi. Aminah yang nggak bersedia dipoligami, memilih cerai. Ia titipkan anak pada orangtuanya, dan bekerja sebagai ART untuk menghidupi Ryan. 

 

Hmm… kenapa ceritanya kok agak mirip dengan kisah hidup saya? 

 

Singkat cerita, Aminah akhirnya bekerja di rumah saya. Dia ternyata tidak hanya cantik dan manis, tapi juga tekun dan teliti. Semua urusan rumah beres. Saya bisa tenang-tenang di kantor, karena tahu bahwa kebutuhan Aria, anak saya, terjamin sepenuhnya. Pulang kantor, sampai rumah, semua rapi kinclong. Saya bisa santai. Wah, sungguh dia termasuk jenis ART yang patut dilestarikan. 

 

Dari awal bekerja, Aminah sudah menyampaikan bahwa sebulan sekali dia akan pulang menengok Ryan. Hari libur yang seharusnya seminggu sekali, akan dia ambil sekaligus 4 hari dalam sebulan. Baiklah, saya paham sekali kebutuhannya melihat bahwa anak sehat dan baik-baik saja. Saya kan punya anak juga…. 

 

Biasanya, Aminah akan mengambil libur di hari Sabtu, lalu kembali ke rumah saya pada Selasa malam. Hari itu pun demikian. Sepulang dari olah raga pagi, saya dapati dia sudah berdandan rapi, siap menjenguk anaknya. Rumahnya tidak jauh. Naik kendaraan umum paling hanya dua jam dari rumah saya. Jadi Aminah pulang nyaris tidak membawa apa-apa. Hanya tas kecil berisi dompet dan ponsel. Mengingat anaknya seusia anak saya, saya sempatkan mengambil sesuatu dari persediaan di lemari, sekadar oleh-oleh untuk Ryan. Saya tahu, anaknya pasti suka sekali, persis seperti anak saya yang selalu gembira menerima apa pun yang saya bawa ketika pulang ke rumah. 

 

“Terima kasih, Bu. Aminah pamit,” katanya sopan memberi salam. 

 

Siapa mengira bahwa itulah akhir dari riwayat kerja Aminah di rumah saya? 

 

Ketika Selasa malam dia tak juga hadir, saya segera menghubunginya di ponsel. Saya kuatir dia sakit, atau terjadi sesuatu di perjalanan. Lega hati saya mendengar suara Aminah yang ceria ketika menerima telepon, meski sempat dongkol juga. Kalau sehat-sehat saja, kenapa tidak kembali bekerja? 

 

“Ibu… Aminah kawin. Hihihi…,” suaranya centil sekali seperti perawan pulang kencan. 

“Ya Allah… kamu kawin sama siapa?”

“Hihihi… kemarin itu waktu pulang, di rumah ada pak guru dari pesantren di Lampung. Trus dia minta Aminah ke Ayah. Aminah mau. Maaf, Ibu… Aminah mau telepon Ibu tapi tidak punya pulsa…. Nanti Aminah sowan ke Ibu sekalian beres-beres barang Aminah, ya Bu.”

 

Saya sungguh tidak bisa membayangkan, Aminah tiba-tiba menikah. Saya ingat sekali dia tidak membawa apa-apa ketika pulang, semua barangnya masih rapi di kamarnya, di rumah saya. Artinya, dia tidak berencana untuk tidak kembali. Apa yang dia lihat di pak guru itu, sehingga hatinya terpikat, lalu begitu saja menerima pinangan? Sungguh saya tidak paham.

 

Ketika saya ceritakan hal ini kepada salah satu kawan, dia sok menganalisa. 

 

“Mungkin Aminah butuh uang. Pak guru kan punya gaji tetap. Lumayan lah dia nggak usah kerja keras, dapat uang. Hidup nyaman, anak terjamin,” katanya.

 

Analisa ini saya tolak karena saya ingat, selama di rumah saya, Aminah bukan model perempuan yang menggantungkan diri pada laki-laki. Urusan anak pun, sempat kami bicarakan rencana memindahkan sekolah Ryan ke dekat rumah saya. Jadi, ibu dan anak sekalian tinggal sama-sama.

 

“Jangan-jangan dia capek jadi janda,” tambah teman saya. 

“Apa iya?”

“Bisa jadi.”

“Tapi pernikahan juga bukan solusi. Apalagi dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya.”

“Itu kan kamu. Kamu berpendidikan tinggi. Berkarier bagus. Buat kamu, prioritas jelas: anak dan kantor. Kamu mandiri 100%. Banyak perempuan yang tidak seberuntung kamu,” sanggah teman saya.

 

Kata-katanya itu membuat saya berpikir-pikir lama. Mengurai lagi apa saja yang sudah terjadi sejak perceraian saya 15 tahun lalu. Betul, saya bekerja, berupaya menghidupi anak semata wayang saya. Saya putuskan fokus pada karier, yang dengan sendirinya membuat saya mapan secara finansial. 

 

Keinginan menikah lagi masih ada dalam angan. Maka dalam 15 tahun itu sempat kenal dan dekat dengan beberapa laki-laki. Tapi tidak ada yang berlabuh di pelaminan. Semua kandas dengan alasan masing-masing. Ada yang tidak siap punya anak tiri. Ada yang anaknya tidak setuju ayahnya menikah lagi. Ada juga yang resah karena gaji saya lebih besar dari penghasilannya. Intinya, tidak berhasil. Saya? Ya biasa saja. Tidak risau, hanya berpikir, barangkali memang dunia pernikahan belum menjadi hak saya. Tujuan pernikahan buat saya saat ini jelas: melengkapi kebahagiaan. Kalau hanya tambah bikin pusing, untuk apa? 

 

“Ya itu kan kamu,” bantah teman saya. Menurutnya, beberapa perempuan akan merasa lebih aman jika punya pendamping. Aman? Tidak perlu meladeni omongan miring, syukur-syukur kalau kehidupan ekonominya jadi membaik. Tak heran, ada yang memutuskan menikah lagi secepat memutuskan membeli sepatu baru: kalau suka, boleh langsung dibungkus. Kalau nanti gagal lagi, bagaimana? Ya nggak apa-apa. Coba lagi terus…. 

 

“Astaga,” kata saya. “Milih sepatu saja, gue perlu waktu….”

“Ya makanya lu nggak kawin-kawin lagi setelah sendirian lama banget,” pungkasnya. Galak. 





Tulisan ini dibuat untuk blog Single Mom Indonesia. 

Wednesday, September 23, 2020

My Personal Coach

Meskipun jarang tatap muka, kami rutin berkomunikasi. Tentunya dengan bantuan segala alat dan cara. Kecuali metode asap Hiawata....
Setiap hari kami pasti berkomunikasi. Mengobrol ketika waktu mengizinkan, atau paling tidak bertukar pesan pendek. Email juga. Tidak melalui sosmed, karena dia bukan pengguna (hanya punya akun untuk stalking saya hahahaha he admitted it. Dan komplen berat kalau ada foto yg dia cemburui).
Notifikasi di ponsel, yg isinya sekadar menanyakan kabar, mengingatkan untuk tidak lupa makan dan sholat, juga pesan untuk hati-hati di jalan... nampak simpel sekali tapi menjadi sesuatu yg selalu ditunggu. Biasa, sedang jatuh cinta. Tapi ternyata setelah bertahun2 juga rasanya tetap sama, kok.
Ketika awal jumpa, saya masih editor level cupu... posisi terbawah yg pernah ada... hahaha.... Dan dialah yg membuka wawasan untuk meraih kemajuan. Mendorong untuk melihat kesempatan yg lain. Ketika ada tawaran untuk naik jabatan, dia membantu mengatur "skenario" supaya semua lancar sesuai apa yg saya butuhkan.
Dalam saat seperti ini, ia menjadi personal coach yg siaga 24 jam. Di tempat masing2, kami sama2 memegang "tabel untung-rugi" lalu mendiskusikan tiap isinya. Dia akan menyemangati dan memberikan saran supaya saya bisa melewati tahapan interview. Dengan suka rela dia membaca semua kontrak yang ditawarkan pada saya, lalu menandai bagian-bagian yg bisa saya negosiasikan, juga bagian yg harus diubah agar saya tak dirugikan di masa depan. Dia akan memberi tips & trik (yg sangat jitu) agar saya mendapat yg saya mau.
Dan itu masih terus ia lakukan. Tidak ada yg berubah.


Monday, September 21, 2020

Y.O.U

Rasanya sungguh merindu. 

Friday, September 18, 2020

About My Late Dad

Kalau cerita soal almarhum Bapak, nggak akan lupa betapa posesif beliau sama saya. Mungkin karena nggak tahu cara menunjukkan rasa sayang dgn manis atau dgn bunga2... caranya mencintai saya sangat kaku dan model siap grak maju jalan. Gimana coba bisa aplikasi afeksi dengan gaya baris-berbaris ala tentara?
Saya berteman dengan keluarga di medsos. Jadi waktu dua posting soal si dia ada di FB, Mama pun langsung tahu saya cerita soal siapa. Oh ya, Mama kenal kok sm obyek cerita itu. Sangat kenal. Saya mmg selalu kenalin siapa saja yg sedang dekat dgn saya pada keluarga. Hal ini sudah dilakukan sejak duluuuu sekali, sejak pacar pertama.
Dulu, kalau dekat dengan cowok, dan dia mau diajak ke rumah, pasti kenalan sm Bapak. Waktu salaman, pertanyaan Bapak sudah pasti, "Sekolah di mana, Dik?"
Kalau si cowok menyebut nama sekolah yg nggak bunyi di telinga Bapak, silakan duduk di teras aja ya maaaasss.... Yg lolos bisa langsung masuk ruang tamu adalah mahasiswa UI atau ITB. Hahahahahaha....
Suatu masa, saya pacaran sama kakak kelas di sekolah. Orangnya pinter dan menarik sekali di mata saya. Jago main musik pula. Kelar kan... bikin saya meleleh berderai2....
Kenalan sama Bapak kayaknya aman2 saja, tapi setelahnya, Bapak selalu uring2an kalau saya pergi sama si mas. Melarang langsung juga nggak, tp keliatan nggak seneng. Diskusi? Hmm... Bapak bukan model yg mau ngobrol2 gitu. Kaku. Jadinya? Ya setiap saya pergi, pulangnya pasti nggak diajak omong. Sampai besoknya. Saya? Ya ikutan nggak ngajak omonglah... hahaha... gengsi dong mau ngobrol duluan. Gitu aja terus sepanjang umur saya pacaran sama si mas itu.
Belakangan, saya baru sadar, jangan2 Bapak visioner. Mas pacar yg dulu saya puja itu mmg pinter dan juara, tp ya seniman banget yg nggak ketebak besok mau apa dan ngapain. Bisa tiba2 iseng jualan reptil, jadi pelukis, jadi penyanyi.... Update dari dia sekarang sering bikin saya kaget2 krn sangat nyeleneh sak enak udele dhewe. Meskipun mungkin seru, tapi kayaknya memang saya gak akan tahan dgn gaya hidup ga beraturan spt itu. Jalan hidup yg dia pilih sungguh bukan untuk semua orang, dan Bapak kok kayaknya sudah tahu, makanya sangat nggak menerima dia.
Ya ya ya... skrg baru paham kalau orangtua posesif pasti ada alasannya. Meskipun cara komunikasinya suka jaka sembung alias nggak nyambung... bukannya diskusi kok malah ngambek. Hahahaha....
Al Fatihah buat Bapak.
Hi, Dad, hope you're having fun up there, while we're doing great here as well. And missing you always ❤️

Thursday, September 17, 2020

About You

I need the world to know how special you are to me, the main reasons I put those stories about you on my social media accounts. 

So far, the responses were all fantastic. My friends said nice things about the posts. I never received so many comments before. Well, you were always nice, indeed. Their comments only reassured me that you were amazing. Your persona is one of a kind.  

I hope I will not do any harm to you by posting more stories in the future. Somehow I believe that is the way I can completely let you go. 


Wednesday, September 16, 2020

My Memory

Sepanjang (atau sependek?) karier saya menulis di media massa, pernah tulisan saya diapresiasi oleh salah satu instansi pemerintah. Kalau tidak salah, temanya tentang menabung. Iya... saya lupa tulisan yg mana & kapan... krn ingatan saya tentang hal itu lbh fokus pada momen lain. 


Apa itu?

Hadiah utk tulisan itu saya terima ketika saya sedang dekat dengan seseorang. Orang pertama yg saya jatuhi cinta sejak perceraian dgn ayahnya @ariagaung. Dia tinggal & bekerja di negara lain. Sehingga jadwal pertemuan kami dalam satu tahun maksimal hanya sejumlah jari tangan.

Lewat telepon, saya kabarkan bahwa saya akan menerima hadiah. 

“Tell me where & when, will you?” 

Saya jawab seperlunya tanpa punya pikiran apa2.

Lalu hari itu tiba. Sebuah seremoni di ballroom salah satu hotel di Jakarta digelar utk pemberian hadiah. Saya hadir sendirian malam itu, krn merasa acaranya tdk istimewa. Mengikuti prosesi dgn sedikit mengantuk, saya iseng cek ponsel. Namanya berpendar di layar. Pesan pendek masuk.

“How is the event?”
“Nothing special.”
“Really? It looks nice, everyone dress up pretty.”
“Hmm... what do you mean?”
“Can you please stand up so I can see the prettiest lady among the crowd?”

Saya merasa wajah saya memerah & hati berdebar kencang. Saya sangat yakin tadi dia cerita masih makan siang di Port Dickson....

Begitu saja saya berdiri menghadap pintu masuk. Dan saya lihat dia di sana... tersenyum lebar, melambaikan tangan, lalu menghampiri saya yg berdiri kaku tak menyangka mendapat kejutan luar biasa.

“Congratulations,” bisiknya sambil mengecup pipi saya.

@ibunyaaria
#youknowwhoyouare #day3 #30harimenulisdirumah #30daychallenge #30harimenulisdiinstagram #30daywritingchallenge #30day#memory #mysunshine

Friday, September 11, 2020

Norma Sosial, Norma Agama, Norma Anaknya Pak RT....

Selalu senang gembira kalau diingat sama teman-teman lama... atau yg pernah jadi teammates... atau anak buah. Diingat dalam konteks sbg orang yg bisa diajak omong. Kenapa senang? Senang krn berarti mmg gue bukan orang yg judgemental. 

Seperti kemarin. Ada yg tiba2 pop up, said hi... lalu.... "Aku skrg hamil masuk bulan ke-5, mbak."

Padahal dia belum menikah. 

Ya sudah. 

Tidak perlu dibahas kan bapaknya siapa. Nggak usah kepo kalau dia nggak mau cerita. Fokus sm proses kehamilan. Tips & trick sbg yg sudah pernah hamil pada yg newbie (meskipun tnyt rada lupa juga krn sdh 16 thn lalu yaaaa). 

Cukup senang bhw anak ini memilih utk tetap hamil. Dan senang sekali bhw ternyata pacarnya bersedia menempuh perjalanan panjang utk bertanggung jawab: saat ini sedang menjalani sidang izin poligami. 

Di luar cerita kehamilan itu, sepertinya memang banyak hal2 yg sdh bergeser dalam hidup kita ya. Kemarin sempat ada diskusi ringan dan lucu selewatnya, tentang anak skrg yang pilihannya begitu banyak... sampai kadang yg dipilih sangat random. 

Ya nggak? 

Dulu sih kayaknya setiap anak cuma punya pilihan untuk sekolah-kerja-menikah-punya anak. Seragam semua. Sekolah pun hanya itu2 saja. Kerja juga bidangnya itu2 saja. Ya... seiring berjalannya waktu, sesuatu yg sama menimbulkan kebosanan. Termasuk bahwa being ordinary is boring. 

Keren bahwa lalu banyak anak muda yg menjadi unordinary dgn gebrakannya masing2. Ada yg masih muda banget bisa sukses mengelola start up. Ada yg pinter banget punya ide jualan barang yg kelihatan remeh tp tnyt penting dan laku banget, macam cilok.... 

Kehidupan sosial juga bergeser. Jarang ada anak skrg yg mikir akan menikah segera setelah dapat pekerjaan. Beli rumah? Hmm.... Gaji lebih menarik ditabung untuk jalan2. Nggak segera menikah bukan karena nggak laku lho. Pacar punya... tp ya itu... lbh seru traveling the world ketimbang settle down. Katanya sih gitu....

Setuju atau nggak? 

Krn gue bukan orang yg judgemental, ga bisa bilang setuju atau nggak, krn semua balik lagi ke tujuan hidup orang yg menjalani. Seharusnya semua orang bebas memilih apa pun jalan yg dia mau tempuh, asal nggak menyusahkan orang lain. Gue juga bukan orang suci. Dalam perjalanan hidup gue, beberapa kali gue pilih jalan yg gue tahu nggak betul. Gue punya alasan sendiri untuk itu. Jadi yaaa... gue rasa setiap orang merdeka menentukan arah hidup dan proses yg mereka pilih utk hidup di dunia. Gue hanya bisa mendoakan spy nggak lupa pada norma sosial, dan yg utama norma agama. Implementasi bebas lah.... Sing penting sehat, kuat, dan selamat dunia akhirat. Aamiiin. 


Thursday, September 10, 2020

Allow Me, Please....

...

Let me be the one to break it up

So you won't have to make excuses

We don't need to find a set up 

Where someone wins and someone loses

We just have to say our love was true, but has now become a lie

So I'm telling you I love you one last time

And goodbye

Just turn around and walk away

You don't have to live like this, but if you love me still then stay

Don't keep me waiting for that final kiss

We can work together through this test or we can work through it apart

I just need to get this off my chest, that you will always have my heart

...


(Jimmy Bondoc)

Wednesday, September 09, 2020

The Story of Dingklik Tua

Tadi pagi terjadi huru hara... yg sebenernya lucu juga sih kalau sekarang dipikir. Waktu kejadian sih sempat bikin tensi naik.... Apa coba? Yaaaakkkk... adegan dgn ibu suri a.k.a eyang. 

Jadi, sejak pindah ke BSD... gue berusaha banget utk tidak menimbun barang. Apa pun itu, hanya punya 2 kemungkinan: dipakai atau dibuang (dikasihkan ke orang). Alasannya krn nggak mau nimbun, kedua jg krn maunya rumah ini isinya barang2 yg gue suka. Ya kaaannn.... 

Nah... dgn sharing rumah sm eyang... seringkali ada hal yg ga sejalan. Sepele sih, misalnya kebiasaan eyang pakai taplak, yg gue nggak suka. Solusi, eyang bebas pasang taplak di meja mana pun di rumah no 16. Silakaaann.... Yg penting rumah gue (no 17) no taplak. Trus, gue suka ngumpulin botol beling segala ukuran untuk diisi tanaman. Sementara menurut eyang, kalau mau pajang botol, ukuran harus sama dan motifnya jg hrs spesial. Hmm... tp akhirnya eyang menyerah krn botol2 itu gue pajang di rumah gue. 

Tp yaaa... namanya sharing live, tentu nggak semua sesimpel urusan taplak dan botol pajangan ini. Kyk misalnya microwave, adalah nggak praktis kalau sampai hrs punya 2, kan? Jadi satu aja, ditaruh di tempat gue. Juga dapur, meskipun ada 2, tp yg cukup besar utk bisa leluasa memasak ya hanya satu, di rumah gue. Hmm... yg gemes adalah krn tempat yg menurut gue pas untuk naruh microwave oven di dapur menurut eyang jadi bikin tempat masak jadi sempit. Du du du du.... Trus gue merasa perlu punya oven listrik untuk iseng berhadiah cookies, cake, atau macaroni dan brulee. Juga perlu deep fryer dan breadmaker. 

"Ini mau disimpen di mana?" adalah pertanyaan eyang waktu semua perangkat dapur itu tiba, kira2 ratusan purnama silam. 

"Ya nggak disimpen, kan dipakai." 

"Memang mau dipakai tiap hari?"

"Ya enggak, tapi krn dipakai, ngapain dimasukin dus lagi? Ya sudah biar saja di dapur."

"Tapi dapur jadi sempit."

Endebraaa... endebraaaaiii... endebraaaa.....

"Maaf ya, Ma. Ini kan dapur di rumahku. Boleh ya di rumahkku ada oven dan deep fryer-nya." 

Kalau sdh gitu, biasanya eyang baru ingat lagi kalau gue sdh cukup umur untuk boleh ngapain aja di rumah gue sendiri. Ngambek? Ya udahlah.... 

Akhirnya sih skrg ada rak yg khusus isinya perangkat dapur itu semua. Kenapa jadi ada rak ini? Krn waktu pakai meja pendek, sisi bawah meja itu diisi macem2 yg nggak jelas. Tas belanja, botol plastik (utk jamu), dll yg menurut eyang pas disimpen di situ, tp menurut gue enggak sama sekali krn jadi uwel2an. Ada dua meja utk dua oven, dan dua2nya semakin penuh. Makin lama kok masuk rumah kyk masuk gudang umpel2.... Dan solusi dari eyang utk menutup uwel2an itu adalah... pakai taplak! Oh no! Gue beresin semua. Beliin rak yg pas utk semua perangkat, nggak ada ruang utk sumpelan2. Beres. 

Kadang mmg eyang "nggak adil" juga sih. Barang2 yg dia nggak suka, tp masih mau dia simpen (entah utk apa ya menyimpan barang yg nggak disuka), disumputin di rumah no 17. Karpet, peti beras, lemari pendek, koper, dan macam2 lain... termasuk satu dingklik warna coklat yg menurut gue sih bentuknya nggak jelas. 

Jadi dingklik ini dibawa dari Depok. Dulu, ada rumah kerabat ipar gue yg mau dijual, dan hrs dikosongkan. Pdh isinya masih lumayan banyak. Mulai dari kipas angin, panci2, meja tv segala hal... termasuk dingklik atau kursi kecil ini. Iya, ini kursi lama, kursi kuno, dari kayu jati dgn rangka besi. Bagus? Biasa aja sih, tp mmg berkualitas. Tapi krn cuma satu, jadi kagok, sementara mau jadi kursi biasa ukurannya kekecilan. Akhirnya dibawa ke BSD... tp difungsikan sbg "meja antah berantah" yg kadang di atasnya ditaruh pot. Kadang buat naruh kotak pompa rusak (sblm dibawa sm tukang pompa). Nyebelin banget rasanya di mata gue. Gatel. 

Sejak WFH, gue tuh sering bongkar lemari. Beresin baju-sepatu-tas. Kalau ada yg sdh lama nggak dipakai, dikasih ke siapa saja yg mau. Nah, kemarin ini kamar sdh beres dan kinclong. Merembetlah beres2 ini ke kamar Aria, lalu ruang cuci di atas, lalu sampai ke ruang tengah. Semua yg menurut gue nggak penting... silakan dadaaaahhh... hahaha.... Banyak banget printilan2 nggak jelas... yg entahlah kenapa nggak segera dibuang padahal sdh bertahun nggak kepakai juga, temasuk dus2 bekas sepatu (yg disimpan dgn semangat "siapa tahu kapan2 perlu kotak"). OMG. Dan gue beres2 dgn semangat banget. Sampai beli rak baru. Beli kasur dan meja kursi baru utk Aria. Karena rasanya, banyak di rumah selama pandemi, kalau rapi dan cantik kan yo ayem tentrem.... 

Koper, kalau kira2 masih bagus, masuk lemari. Karpet masih bisa masuk ke gudang, beberapa diangkut sm para backstage crew. Peti beras akhirnya jadi tempat kantong dan segala hal printilan. Dus sepatu tentu tanpa ampun dihibahkan ke pemulung. 

Tadi pagi, sampailah gue ke kursi coklat yang setelah gue lihat kok ya bentuknya miring dan sudah dicat jadi tekstur kayu jatinya hilang. 

"Ma, aku nggak pakai kursi ini."

"Oh, mama masih mau pakai."

"Untuk apa?"

"Kalau motong2 sayur... enak di situ, pendek." 

"Kependekan ini. Motong sayur ya di dapur aja, Ma."

"Ya... buat kalau di kebun deh. Pas ganti2 pot."

"Nah, kalau itu, pakai dingklik aja. Ini ketinggian."

"Nggak kok, ini pas."

"Coba, deh."

"Hmm... iya ya. Ini kok agak tinggi."

"Ya sudah, aku kasih orang ya."

"Lho jangan! Itu jati lho. Bagus itu."

"Ya memang. Tapi berguna nggak? Kita pakai apa nggak? Aku nggak pakai...."

"Mama pakai!"

"Untuk?"

"Ya... untuk apa gitu... pokoknya kepakai."

"Tp aku nggak mau ini ada di sini."

"Ya sudah, taruh di atas saja, di kamar Aria."

"Untuk apa?"

"Untuk Mama."

"Memang Mama suka ke kamar Aria?"

"Pokoknya jangan dibuang!"

"Ya sudah. Tapi jangan ditaruh di sini. Dan jangan di kamar Aria. Kasihan kalau kamarnya jadi sumpek."

"Taruh saja di kamar Mama."

"Ok."

"Eh tapi nanti kamar Mama jadi sempit...."

"Ya sudah, untuk orang aja ya."

"Ini tuh bagus. Siapa tahu kapan2 kita butuh kursi...."

Ini mulai melelahkan... krn FYI... di rumah kami itu ada sekitar 25 kursi dan sofa dan tempat duduk... sementara sehari2 kami hanya bertiga.... 

"Jangan suka buang2 barang. Nanti kalau kita butuh, gimana?"

"Iya. Kan aku tanya, kita perlu kursi ini nggak? Kyknya sih nggak perlu, kita nggak butuh...." 

"Ya sudah. Buang aja. Buang semua yg kamu nggak suka. Ya sudah, sana buang.... "

Laaah... nadanya jadi tinggi, hmm... yo wis gue diem. Pengennya sih bales njerit, tp takut durhaka.... Tapi sungguh... gue capek lihat ada kursi nggak jelas. Secara fungsi nggak genah, secara bentuk juga nyebelin. Dan siapa tahu ada orang yg bisa memanfaatkan, kan lebih berguna. 

Kepala udah cenut2 banget... tensi pasti naik deh nih.... 

Ya sudah, daripada nggak kelar2, dan rasanya gue udah mumet banget... takut mood rusak seharian, akhirnya gue tinggal ke kantor. Lumayan. Seneng sih bisa ada di kantor, tempat buat nggak ketemu eyang bbrp jam, dan nggak perlu lihat kursi coklat biang perkara. 

Barusan eyang wa, "Kursi coklat sdh aku kasih Wahid. Dia mau."

Alhamdulillah.... 

The end. 


 


Friday, September 04, 2020

The Plan B

 Kemarin, duduk bareng Aria membahas "things to do if Ibu suddenly pass away."

"Ibu, ini nggak lucu."

Iya memang nggak lucu. Tp kan tetep harus dilakukan. Krn siapa lagi yg mau urus? Jadi kemarin memaksa Aria tahu semua surat2 penting, termasuk nomor2 yg dia harus hubungi untuk urusan asuransi. 

"Ini perhiasan, buat kamu kalau melamar seseorang. Ini ada yg hadiah dari eyangma, ada yg ibu beli. Sengaja aku beli yg mirip supaya jadi satu set yg bagus."

"Ibu, ini kalau dijual, mahal nggak?" Aria ngakak. Kayaknya skrg dia lebih suka jual berlian lalu pakai uangnya untuk belanja sepatu ketimbang mikirin hrs melamar perempuan....

"Dan jangan lupa telepon .... (you know who you are)." 

"Oh my goodness." 

Tuesday, September 01, 2020

Mind Your Own Steps

People come and go. We just need to embrace each other when we are crossing path. I need to walk carefully for I do not want to step on your foot. I hope you will do the same.