Thursday, September 24, 2020

On Remarriage

Mantan embak di rumah saya, namanya Aminah, cantik dan manis. Pertama kali dia datang ke rumah, saya sempat ragu akan mempekerjakan dia. Dengan tubuh langsing, rambut panjang, dan kulit putih, jangan-jangan nanti dia malah lebih sibuk bergaya-gaya menarik perhatian supir pak RT tetangga sebelah? 

 

“Aminah kerja untuk cari uang, menyekolahkan anak, Ibu,” katanya saat itu. 

“Anakmu umur berapa?”

“Sekarang kelas 2 SMP,” jawabnya. Oh, berarti seumur anak saya. 

 

Aminah bercerita bahwa Ryan, nama anaknya, ditinggal bapaknya setahun lalu. Si bapak kawin lagi. Aminah yang nggak bersedia dipoligami, memilih cerai. Ia titipkan anak pada orangtuanya, dan bekerja sebagai ART untuk menghidupi Ryan. 

 

Hmm… kenapa ceritanya kok agak mirip dengan kisah hidup saya? 

 

Singkat cerita, Aminah akhirnya bekerja di rumah saya. Dia ternyata tidak hanya cantik dan manis, tapi juga tekun dan teliti. Semua urusan rumah beres. Saya bisa tenang-tenang di kantor, karena tahu bahwa kebutuhan Aria, anak saya, terjamin sepenuhnya. Pulang kantor, sampai rumah, semua rapi kinclong. Saya bisa santai. Wah, sungguh dia termasuk jenis ART yang patut dilestarikan. 

 

Dari awal bekerja, Aminah sudah menyampaikan bahwa sebulan sekali dia akan pulang menengok Ryan. Hari libur yang seharusnya seminggu sekali, akan dia ambil sekaligus 4 hari dalam sebulan. Baiklah, saya paham sekali kebutuhannya melihat bahwa anak sehat dan baik-baik saja. Saya kan punya anak juga…. 

 

Biasanya, Aminah akan mengambil libur di hari Sabtu, lalu kembali ke rumah saya pada Selasa malam. Hari itu pun demikian. Sepulang dari olah raga pagi, saya dapati dia sudah berdandan rapi, siap menjenguk anaknya. Rumahnya tidak jauh. Naik kendaraan umum paling hanya dua jam dari rumah saya. Jadi Aminah pulang nyaris tidak membawa apa-apa. Hanya tas kecil berisi dompet dan ponsel. Mengingat anaknya seusia anak saya, saya sempatkan mengambil sesuatu dari persediaan di lemari, sekadar oleh-oleh untuk Ryan. Saya tahu, anaknya pasti suka sekali, persis seperti anak saya yang selalu gembira menerima apa pun yang saya bawa ketika pulang ke rumah. 

 

“Terima kasih, Bu. Aminah pamit,” katanya sopan memberi salam. 

 

Siapa mengira bahwa itulah akhir dari riwayat kerja Aminah di rumah saya? 

 

Ketika Selasa malam dia tak juga hadir, saya segera menghubunginya di ponsel. Saya kuatir dia sakit, atau terjadi sesuatu di perjalanan. Lega hati saya mendengar suara Aminah yang ceria ketika menerima telepon, meski sempat dongkol juga. Kalau sehat-sehat saja, kenapa tidak kembali bekerja? 

 

“Ibu… Aminah kawin. Hihihi…,” suaranya centil sekali seperti perawan pulang kencan. 

“Ya Allah… kamu kawin sama siapa?”

“Hihihi… kemarin itu waktu pulang, di rumah ada pak guru dari pesantren di Lampung. Trus dia minta Aminah ke Ayah. Aminah mau. Maaf, Ibu… Aminah mau telepon Ibu tapi tidak punya pulsa…. Nanti Aminah sowan ke Ibu sekalian beres-beres barang Aminah, ya Bu.”

 

Saya sungguh tidak bisa membayangkan, Aminah tiba-tiba menikah. Saya ingat sekali dia tidak membawa apa-apa ketika pulang, semua barangnya masih rapi di kamarnya, di rumah saya. Artinya, dia tidak berencana untuk tidak kembali. Apa yang dia lihat di pak guru itu, sehingga hatinya terpikat, lalu begitu saja menerima pinangan? Sungguh saya tidak paham.

 

Ketika saya ceritakan hal ini kepada salah satu kawan, dia sok menganalisa. 

 

“Mungkin Aminah butuh uang. Pak guru kan punya gaji tetap. Lumayan lah dia nggak usah kerja keras, dapat uang. Hidup nyaman, anak terjamin,” katanya.

 

Analisa ini saya tolak karena saya ingat, selama di rumah saya, Aminah bukan model perempuan yang menggantungkan diri pada laki-laki. Urusan anak pun, sempat kami bicarakan rencana memindahkan sekolah Ryan ke dekat rumah saya. Jadi, ibu dan anak sekalian tinggal sama-sama.

 

“Jangan-jangan dia capek jadi janda,” tambah teman saya. 

“Apa iya?”

“Bisa jadi.”

“Tapi pernikahan juga bukan solusi. Apalagi dengan orang yang tidak dikenal sebelumnya.”

“Itu kan kamu. Kamu berpendidikan tinggi. Berkarier bagus. Buat kamu, prioritas jelas: anak dan kantor. Kamu mandiri 100%. Banyak perempuan yang tidak seberuntung kamu,” sanggah teman saya.

 

Kata-katanya itu membuat saya berpikir-pikir lama. Mengurai lagi apa saja yang sudah terjadi sejak perceraian saya 15 tahun lalu. Betul, saya bekerja, berupaya menghidupi anak semata wayang saya. Saya putuskan fokus pada karier, yang dengan sendirinya membuat saya mapan secara finansial. 

 

Keinginan menikah lagi masih ada dalam angan. Maka dalam 15 tahun itu sempat kenal dan dekat dengan beberapa laki-laki. Tapi tidak ada yang berlabuh di pelaminan. Semua kandas dengan alasan masing-masing. Ada yang tidak siap punya anak tiri. Ada yang anaknya tidak setuju ayahnya menikah lagi. Ada juga yang resah karena gaji saya lebih besar dari penghasilannya. Intinya, tidak berhasil. Saya? Ya biasa saja. Tidak risau, hanya berpikir, barangkali memang dunia pernikahan belum menjadi hak saya. Tujuan pernikahan buat saya saat ini jelas: melengkapi kebahagiaan. Kalau hanya tambah bikin pusing, untuk apa? 

 

“Ya itu kan kamu,” bantah teman saya. Menurutnya, beberapa perempuan akan merasa lebih aman jika punya pendamping. Aman? Tidak perlu meladeni omongan miring, syukur-syukur kalau kehidupan ekonominya jadi membaik. Tak heran, ada yang memutuskan menikah lagi secepat memutuskan membeli sepatu baru: kalau suka, boleh langsung dibungkus. Kalau nanti gagal lagi, bagaimana? Ya nggak apa-apa. Coba lagi terus…. 

 

“Astaga,” kata saya. “Milih sepatu saja, gue perlu waktu….”

“Ya makanya lu nggak kawin-kawin lagi setelah sendirian lama banget,” pungkasnya. Galak. 





Tulisan ini dibuat untuk blog Single Mom Indonesia. 

No comments: