Sunday, December 18, 2022

Taking a Career Break

Akhirnya saya memutuskan jeda sejenak dari pekerjaan. Bagi yang mengenal saya, pasti paham bahwa memutuskan tidak bekerja bukan perkara sepele buat saya. Memang, saya membutuhkan waktu hampir dua bulan sebelum akhirnya memasukkan surat pengunduran diri. 


Banyak hal terjadi selama setahun terakhir. Yang paling menguras pikiran adalah pekerjaan yang (buat saya) menjadi begitu sulit. Keharusan menambah produk dan memperbarui servis hanyalah salah dua dari beberapa perubahan. Saya paham, semua dilakukan untuk tetap relevan dengan kondisi pasar. 


Ok. Tapi apa masih sesuai dengan kebutuhan saya? 


Saya bisa menulis. Merangkai kata menjadi kesukaan saya sejak lama. Sayangnya, kewajiban sebagai karyawan mengharuskan saya menulis hal-hal yang tidak saya akrabi (dan sering tidak saya sukai). Semakin runyam ketika saya harus mengerjakan beberapa produk dengan jenis dan topik berbeda-beda.  Kecepatan berpindah dari satu topik dalam suatu produk ke produk lain dengan topik berbeda sangatlah berkurang jauh. Saya seringkali merasa kelelahan luar biasa di akhir hari. 


Sebetulnya, masa-masa ini adalah saat saya punya lebih banyak waktu luang. Sejak Aria tinggal di kota lain, saya tidak perlu tergesa-gesa pulang ke rumah di hari kerja. Akhir pekan relatif sepi buat saya. Namun, pekerjaan yang melelahkan di kantor membuat saya tetap merasa tidak bisa punya cukup waktu untuk beristirahat. 


Kegalauan pada kelanjutan karier membuat saya memutuskan berkonsultasi pada career coach. Saya perlu orang lain yang bisa melihat potensi dan membantu saya memetakan perkembangan diri saya. Hasilnya? Saya dalam kondisi aman jika memutuskan untuk mengambil career break. Dia juga membantu saya menyusun strategi untuk kembali bekerja saat saya sudah siap. 


Begitulah. Saya masukkan surat pengunduran diri. 


Ternyata, hari-hari setelahnya, saya galau lagi. Meskipun sudah merasa memikirkan semua hal secara matang, saya tetap cemas. Apakah saya sudah mengambil keputusan yang tepat? 


1 Desember 2022 menjadi hari pertama saya tidak bekerja. Rasanya? Senang! Saya lewatkan hari itu untuk berjalan-jalan ke tempat yang selama ini selalu ingin saya datangi. Ternyata enak juga bangun tidur tanpa memikirkan deadline dan job desk. 


Esoknya, saya dapati Ibu saya sibuk membuka beberapa dokumen. Ternyata tahun ini adalah pertama kali pemerintah mengharuskan penerima pensiun untuk memperbarui data dan melakukan pendaftaran agar sistem pensiun bisa didigitalisasi. 


Ibu saya yang berusia 72 tahun itu terlihat panik di antara tumpukan berkas-berkas SK pensiun ayah saya. Ini untuk apa? Mau daftar ke mana? Ke kantor ASABRI naik apa? Dan kecemasan-kecemasan yang beliau katakan berulang-ulang karena kebetulan juga beliau mulai pikun. 


Saya berusaha membantu sebisanya. Selain memilah berkas, juga untuk mengantar-antar dari satu kantor ke kantor lain. Dan… ibu saya terlihat tenang. Beberapa hari saya habiskan untuk mengurus keperluan beliau. Tak hanya soal pensiun, tapi juga bpjs kesehatan. Saya mulai bersyukur bahwa saya cuti, sehingga saya bisa sepenuhnya mengurus kebutuhan Ibu saya. Terbayang jika saya masih harus bekerja… kepala pasti retak. 


Suatu pagi, saya mendapati Ibu saya termenung sedih sambil menatap layar ponsel. Ternyata, sahabat dekatnya divonis kanker dan harus menjalani serangkaian pengobatan. 


“Aku pengen ke Yogya, deh,” katanya.

 “We can,” jawab saya pendek. 


Kakak saya segera mengatur transportasi bagi kami dari BSD ke Yogya. Dirancang bahwa kami akan menginap di Salatiga saja. Sekalian saya akan membantu beberapa hal di hotel kakak saya yang baru dibuka. 


“Kamu nggak sibuk?” Ibu saya menatap cemas. 

“Nggak dong. Aku kan cuti.” 


Dan jadilah. Kami berangkat ke Salatiga, lalu ke Yogya. Ibu saya berjumpa sahabatnya. Melihat mereka bisa saling bercerita, yang satu menguatkan yang lain, lalu tertawa bersama… saya ikut bahagia. Lagi-lagi saya bersyukur bisa menemani Ibu saya. Sampai kapan? Sebisa saya. 


Melihat Ibu saya yang lebih tenang dan gembira karena selalu saya dampingi ke mana-mana, akhirnya saya yakin bahwa keputusan cuti panjang ini adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat dalam hidup. Alhamdulillah. 






Thursday, December 08, 2022

Is It?

Dia melihat saya memasang tangga lipat di depan lemari dapur. Segera dia berdiri, menghampiri saya yang mulai menapak naik. Dengan manis, dia tuntun saya turun dari tangga. Saya terpana sesaat, hingga dia mengecup pipi saya. 

"Kok aku disuruh turun?"
"Mau ambil apa?"
"Teh."

Segera dia buka lemari dapur, lalu mengambil teh di kotak yang tersimpan di sudut paling atas. Baginya yang jangkung... tidak perlu tangga hanya untuk menggapai rak teratas lemari dapur saya. “Tolong biasakan bahwa sekarang ada aku. Kamu bilang saja mau ambil apa,” katanya sambil tersenyum manis dan menyerahkan teh pada saya. "Toh, itu untuk aku juga, kan? Terima kasih ya, aku sudah dibuatin teh hangat."  

Di lain hari, dia akan meluangkan waktu datang ke kantor saya. Sebuah kejutan manis melihatnya di lobby kantor. Lalu dia akan membiarkan saya duduk di kursi penumpang, sementara dia mengemudikan mobil saya hingga tiba di rumah. Rasanya nyaman sekali, saya bisa bersantai. “Ya memang itu tujuan saya, biar kamu tidak capek kena macet.” 

Dia memang datang dengan penuh kejutan manis. Sikapnya sopan dan ramah, tak segan menolong. Tentu saja banyak hal-hal remeh semacam membukakan kemasan air minum atau membawakan belanjaan, yang dia lakukan tanpa komentar. Dengan santai, ia akan mengeringkan sendok dan garpu di restoran lalu menyerahkannya pada saya. Tindakannya selalu sederhana dan spontan. Dan justru spontanitas itu yang sedikit demi sedikit berhasil mencuri hati saya.

Bertahun-tahun sendirian, saya terbiasa mandiri. Semua saya pertimbangkan dan putuskan sendiri. Seperti autopilot, saya akan menyetir ke mana-mana. Dengan dia, semua jadi berbeda. Saya bisa merasakan nyamannya dimanjakan. Selain semua kebutuhan dipenuhi, saya merasa dijaga bagai porselen Cina yang tak boleh tergores sedikit pun.
However, there is no free lunch. Saya paham bahwa semua perhatian dan afeksi dia lakukan dengan harapan saya akan jatuh hati bertubi-tubi padanya. Sebuah keinginan yang wajar, sewajar mengharapkan hujan saat langit mulai mendung. 

Sebuah kewajaran yang bagi saya bukan perkara mudah. Jatuh cinta, buat saya menjadi topik ke sekian.  Bertahun-tahun punya kebebasan memutuskan apa pun sendirian, membuat saya langsung merasa terkekang saat dia menanyakan detail rencana harian saya. Saya resah ketika nada suaranya saya dengar mencemburui masa lalu saya. Saya tertekan ketika harus berkompromi, saat keleluasaan bercakap  terbatasi perbedaan sudut pandang yang sulit dicari jalan tengahnya karena kesenjangan pengalaman dan latar belakang.

Sementara saat ini saya ada di tengah pekerjaan, urusan rumah, dan diri saya sendiri. Saya merasa tidak punya lagi ruang di kepala untuk hal-hal lainnya.

Apa yang harus saya lakukan? 

Saya tahu, pada akhirnya, saya harus bersikap. Sebaiknya saya berpikir ulang sebelum melanjutkan perjalanan. Is it what I need? Is it what I want? 

Tiba-tiba hati saya pilu karena membiarkan otak memikirkan jawabannya.