Thursday, December 08, 2022

Is It?

Dia melihat saya memasang tangga lipat di depan lemari dapur. Segera dia berdiri, menghampiri saya yang mulai menapak naik. Dengan manis, dia tuntun saya turun dari tangga. Saya terpana sesaat, hingga dia mengecup pipi saya. 

"Kok aku disuruh turun?"
"Mau ambil apa?"
"Teh."

Segera dia buka lemari dapur, lalu mengambil teh di kotak yang tersimpan di sudut paling atas. Baginya yang jangkung... tidak perlu tangga hanya untuk menggapai rak teratas lemari dapur saya. “Tolong biasakan bahwa sekarang ada aku. Kamu bilang saja mau ambil apa,” katanya sambil tersenyum manis dan menyerahkan teh pada saya. "Toh, itu untuk aku juga, kan? Terima kasih ya, aku sudah dibuatin teh hangat."  

Di lain hari, dia akan meluangkan waktu datang ke kantor saya. Sebuah kejutan manis melihatnya di lobby kantor. Lalu dia akan membiarkan saya duduk di kursi penumpang, sementara dia mengemudikan mobil saya hingga tiba di rumah. Rasanya nyaman sekali, saya bisa bersantai. “Ya memang itu tujuan saya, biar kamu tidak capek kena macet.” 

Dia memang datang dengan penuh kejutan manis. Sikapnya sopan dan ramah, tak segan menolong. Tentu saja banyak hal-hal remeh semacam membukakan kemasan air minum atau membawakan belanjaan, yang dia lakukan tanpa komentar. Dengan santai, ia akan mengeringkan sendok dan garpu di restoran lalu menyerahkannya pada saya. Tindakannya selalu sederhana dan spontan. Dan justru spontanitas itu yang sedikit demi sedikit berhasil mencuri hati saya.

Bertahun-tahun sendirian, saya terbiasa mandiri. Semua saya pertimbangkan dan putuskan sendiri. Seperti autopilot, saya akan menyetir ke mana-mana. Dengan dia, semua jadi berbeda. Saya bisa merasakan nyamannya dimanjakan. Selain semua kebutuhan dipenuhi, saya merasa dijaga bagai porselen Cina yang tak boleh tergores sedikit pun.
However, there is no free lunch. Saya paham bahwa semua perhatian dan afeksi dia lakukan dengan harapan saya akan jatuh hati bertubi-tubi padanya. Sebuah keinginan yang wajar, sewajar mengharapkan hujan saat langit mulai mendung. 

Sebuah kewajaran yang bagi saya bukan perkara mudah. Jatuh cinta, buat saya menjadi topik ke sekian.  Bertahun-tahun punya kebebasan memutuskan apa pun sendirian, membuat saya langsung merasa terkekang saat dia menanyakan detail rencana harian saya. Saya resah ketika nada suaranya saya dengar mencemburui masa lalu saya. Saya tertekan ketika harus berkompromi, saat keleluasaan bercakap  terbatasi perbedaan sudut pandang yang sulit dicari jalan tengahnya karena kesenjangan pengalaman dan latar belakang.

Sementara saat ini saya ada di tengah pekerjaan, urusan rumah, dan diri saya sendiri. Saya merasa tidak punya lagi ruang di kepala untuk hal-hal lainnya.

Apa yang harus saya lakukan? 

Saya tahu, pada akhirnya, saya harus bersikap. Sebaiknya saya berpikir ulang sebelum melanjutkan perjalanan. Is it what I need? Is it what I want? 

Tiba-tiba hati saya pilu karena membiarkan otak memikirkan jawabannya.


No comments: