Monday, January 02, 2023

Janji Kali Ini

 Janji Meniti Pelangi


Sungguh, ternyata saya tidak ingin kehilangan dia. 


Dia melihat saya memasang tangga lipat di depan lemari dapur. Segera dia berdiri, menghampiri saya yang mulai menapak naik. Dengan manis, dia tuntun saya turun dari tangga. Saya terpana sesaat. 


"Kok aku disuruh turun?"
"Mau ambil apa?"
"Teh."


Segera dia buka lemari dapur, lalu mengambil teh di kotak yang tersimpan di sudut paling atas. Baginya yang jangkung... tidak perlu tangga hanya untuk menggapai rak teratas lemari dapur saya. “Tolong biasakan bahwa sekarang ada aku. Kamu bilang saja mau ambil apa,” katanya sambil tersenyum manis dan menyerahkan teh pada saya. "Toh, itu untuk aku juga, kan? Terima kasih ya, sudah membuatkan aku teh hangat."  


Saya membisu. 


Di lain hari, tanpa rencana, ia menunggu saya di lobby kantor. Saya sempat terkejut ketika menjumpainya. 


“Kamu mau apa?”

“Jemput kamu.”

“Lho, aku kan bawa mobil.”

“Iya. Aku tahu. Kamu duduk manis saja. Biarkan aku menyetir pulang supaya kamu tidak capek terkena macet.”


Saya terpesona mengingat dia meluangkan waktu datang ke kantor saya, memberi kejutan manis. Tak terhitung perlakuan-perlakuan sederhana, hal-hal remeh temeh semacam membukakan kemasan air minum atau membawakan belanjaan, yang dia lakukan tanpa komentar. Dengan santai, ia akan mengeringkan sendok dan garpu di restoran, memastikan kebersihan sendok garpu dengan tisu, lalu menyerahkannya pada saya. Tindakannya selalu spontan dan, terus terang, sedikit demi sedikit mulai mencuri hati saya.


Namun, berjuta pertanyaan masih terus mengisi kepala saya. Justru tindakannya yang memanjakan saya, dan melindungi saya bagai porselen langka dari Cina, jadi hal yang meresahkan. Saya bingung. 


“Kamu kok baik hati banget.” Saya lihat dia sedang membersihkan mobil saya. 

“I care about you.” 

“I know. Dan itu merisaukan.”

“Kenapa? Bahkan kalau kamu tidak suka padaku, ya tidak apa-apa. Aku akan tetap membantumu. Jangan khawatir, aku akan tetap sayang.”

“You know, it’s weird….”

“Aku tahu. Bukan hal mudah bagimu menerima seseorang lagi di dalam hidupmu. I do understand.” 


Bertahun-tahun sendirian, saya terbiasa mandiri. Saya bahkan menikmati membuat keputusan-keputusan, kecil atau besar, dengan merdeka. Tidak pernah saya harus mendiskusikan apa pun yang saya lakukan dengan siapa pun. Keputusan membeli sabun cuci piring merek apa hingga memilih tempat tinggal, saya pertimbangkan dan buat sendiri, dengan cukup memperhatikan isi tabungan saja. 


Dengan kehadiran dia, semua jadi berbeda. 


Dan bukan hal mudah untuk saya menerima perbedaan itu. Apalagi saya paham, perhatian yang dia berikan dilandasi harapan bahwa saya akan jatuh cinta padanya. Sebuah keinginan yang wajar, sewajar mengharapkan hujan saat langit mulai mendung. 


“Melamun?”
“I was just thinking about us.”

“What is about us?”
“Kurasa, ini tidak mungkin buat aku.”

“Kamu rasa? Atau kamu tidak mau?”

“Hmmm….”

“Apa yang tidak mungkin?”

“Kita….”

“Rasanya kita tidak perlu berpikir macam-macam saat ini. Kamu jalani hidupmu seperti biasa. Sudah, begitu saja. Tapi biarkan aku tetap mencintaimu.”


Saya bimbang. Mengapa dia begitu sabar dan mau mengerti?


Jatuh cinta telah menjadi topik ke sekian dalam hidup saya. Selama ini hidup saya hanya berisi pekerjaan. Sejak bercerai belasan tahun lalu, tak sekali pun keinginan menikah kembali hadir dalam benak saya. Nyaman hidup soliter, rasanya saya tidak akan sanggup punya komitmen. Apalagi jika harus berkompromi untuk hal-hal yang sulit saya toleransi. Di kepala saya sudah tidak ada lagi ruang untuk drama percintaan. Memang, dalam perjalanan, beberapa laki-laki datang, ternyata hanya singgah saja. Mereka menyingkir segera setelah mendeteksi bahwa saya tidak punya minat menjadi pasangan abadi mereka. 


Tapi dia berbeda. Dia sama sekali tidak pernah secara khusus membahas perasaannya, apalagi hubungan kami. Percakapan saya dan dia selalu hanya seputar kehidupan masing-masing, hobi dan kesukaan, serta mimpi yang belum tercapai. Sama sekali tidak pernah membahas percintaan, walaupun dia tetap menghujani saya dengan perhatian penuh. Di satu sisi, saya menikmati dimanjakan bertubi-tubi. Semua kebutuhan saya dipenuhi tanpa ada pertanyaan. Di sisi lain, saya kadang merasa tertekan saat dia menanyakan detail jadwal harian saya. Mengapa ia harus tahu? Mengapa ia begitu mau terlibat? Di luar dugaan, nada suaranya datar saja, tidak tersinggung atau sakit hati saat saya nyatakan keberatan. “Aku perlu tahu kamu ke mana dan ngapain saja, supaya bisa atur jadwal untuk sering-sering menjemput kamu di kantor,” jawabnya ringan. Sungguh laki-laki yang luar biasa.  


Saya sedang sarapan dan bersiap berangkat bekerja ketika mendengar televisi menyiarkan berita tentang kecelakaan pesawat dengan rute Singapura – Tokyo. Ya Tuhan, apakah itu pesawat yang dia naiki? Saya keraskan volume untuk mendengar detail berita. 


Boeing 777-300ER dengan 382 penumpang menghilang dari radar setelah 35 menit mengudara. Astaga. 


Saya berusaha keras mengingat percakapan kami dua hari lalu, dalam perjalanan pulang dari kantor. Seperti biasa, dia mengemudi dengan santai sambil menceritakan hari yang dia lalui. 


“Besok saya akan terbang ke Tokyo. Ada konferensi selama lima hari. Maaf, kamu pulang sendiri, ya.”

“Hahaha… iya. Biasanya juga pulang sendiri.”

“Ya siapa tahu kangen, kamu boleh kok telepon aku,” godanya. 


Merasa wajah saya memerah, saya alihkan pembicaraan mengenai maskapai yang akan dia gunakan. Dari Jakarta, dia akan terbang ke Singapura lebih dulu untuk rapat di kantor pusat. Setelahnya, baru ke Tokyo. Baiklah. 


Dan sekarang, di layar televisi ada berita pesawat menuju Tokyo yang hilang. Astaga. Astaga. Astaga.


Panik, saya aduk tas saya, mencari telepon genggam. Segera saya hubungi dia. Dan nada panggil saya tidak terjawab. Sungguh, perasaan saya menjadi sangat kacau. 


Saya terduduk di meja makan. Di kepala saya, berputar kembali adegan-adegan kebaikan hatinya. Dia rajin membawakan oleh-oleh, dan semuanya selalu kesukaan saya, ke mana pun dia bertugas. Dia tanpa segan memasak dan membersihkan rumah, ketika saya sakit. Dia pula yang mengatur agar donasi saya untuk shelter anjing terlantar bisa betul-betul mencapai sasaran. Dan lain sebagainya. Banyak sekali. Semua hal yang dia lakukan, membuktikan bahwa dia laki-laki yang baik. Dia laki-laki yang peduli dan mencintai saya. 


Mengikuti berita di televisi, tiba-tiba saya merasakan ada lubang menganga di hati. Apakah dia betul-betul sudah tiada? Mata saya penuh airmata.

Dering ponsel mengagetkan saya, hingga nyaris terlonjak. Namanya berpendar di layar!

“Essa?”

“Asti… maaf aku tadi tidak menjawab teleponmu. Kami sedang berusaha mengubah jadwal penerbangan. You know, due to the accident… Rasanya lebih bijaksana kalau kami tunda keberangkatan ke Tokyo.”

“Essa… ini betul-betul kamu?”
“Yes, of course. What do you mean?”
“Ya Allah, aku pikir kamu ikut dalam penerbangan yang hilang. Aku cemas sekali.”

“Tidak. Tiketku untuk besok. Bukan hari ini.”

“Syukurlah….”

“Asti, are you okay?”

“Essa… I just thought you were gone.” 

“Hey, I am okay. Aku nggak apa-apa. Kamu tenang saja. Begini, aku bereskan dulu beberapa urusan, lalu nanti aku telepon kamu lagi. Ya?”
“Sure.”


Saya termangu ketika dia memutuskan sambungan telepon. Hati saya merasa lega luar biasa mendengar suaranya. Saya tiba-tiba tersadar telah merasa takut kehilangan dia. Perasaan apa ini?


Pukul 12.00. Saya memutuskan tidak ke kantor hari ini. Rasanya kejadian tadi pagi begitu mengguncang perasaan, hingga saya tak sanggup berangkat. Untung jadwal saya hari ini memungkinkan untuk bekerja dari rumah. 


Ponsel saya berdering. Essa. 


“Halo.”

“Asti, how are you?”

“Aku tidak ke kantor hari ini.”

“Ah… baguslah. Jadi tidak ada risiko terjebak kemacetan. Ok, do you mind telling me what is going on inside your head?”


Dan begitu saja saya ceritakan semua yang saya lalui sepagian. Perasaan hampa saat mendengar berita pesawat hilang, karena membayangkan dia adalah salah satu penumpangnya. Kesedihan  karena membayangkan tawanya tidak akan saya dengar lagi. Ketakutan karena saya tak bisa melihat wajahnya lagi. Lalu betapa lega hati saya saat dia menelepon dan ternyata baik-baik saja. 


“Terima kasih sudah mencemaskan aku,” katanya setelah beberapa saat tekun mendengar. 

“Aku tidak tahu ini perasaan apa.”

“Tidak perlu kita bahas sekarang, Asti. Biarkan saja. Yang penting, aku di sini. Aman. Sehat.”

“Tapi aku resah. Ini apa?”

“Boleh aku usul, agar kamu nikmati saja perasaan itu? Biarkan rasanya berkembang ke arah yang seharusnya. Sekali lagi, yang penting, aku akan selalu di sini.”

“Promise me, please.”

“Apa?”

“Jangan pergi.”

“Tidak, Asti. Aku akan tetap ada di sini. Aku janji. Aku selalu berdoa agar kelak kita bisa meniti pelangi bahagia berdua. Mimpiku adalah menghabiskan hidup bersamamu. Tapi untuk saat ini, biar saja begini dulu. Beri waktu pada hatimu, pada dirimu, untuk menerima cintaku. Waktu yang akan membuktikan.”

“Terima kasih untuk selalu baik hati, Essa.”

“Kembali kasih. So, I think, until I see you again?”

“Sure. Take care, Essa.”

“You too take care, Asti.”


Setelah bertahun-tahun, inilah kali pertama saya akhiri pembicaraan di telepon dengan hati berbunga-bunga. Saya masih mempertanyakan tentang cinta di hati saya dan apakah saya mampu mengejar mimpi masa depan bersama Essa. Namun saya percaya, seperti kata Essa, biarkan saja perasaan saya berkembang dengan sendirinya. Saat ini, saya akan menikmati hati saya yang hangat, yang penuh suka cita menanti perwujudan janji meniti pelangi bahagia. 



(Inspired by a true story, this will be published for Buku Janji, Elfa Mediatama Publishing)