Sunday, April 26, 2015

Not a Regular Sunday

Woke up in a big room full of amenities. Put on my shoes and take a walk around the complex to find some kids were on horse riding training, listening to people speak the language I am familiar with but do not know how to say. Went back to the hotel, did some laps in the frozen cold swimming pool.

Now I need to boost my mood so I can concentrate on this meeting. Kerja! Kerja! Kerja!

What a Day

Seharian ini berita dukanya banyak banget....

Teman SD meninggal dunia setelah menderita kanker selama dua tahun. I know it is the best for her. Tp tetap sedih banget. Gue terakhir ketemu dia waktu jadi pemred GH. Kira2 5 tahun lalu berarti. Waktu bikin event di Surabaya, dia dan teman2nya ikut meramaikan. Seru banget. Dan waktu itu dia juga nemenin gue beli sepatu. We talked a lot.

Begitu dia sakit, gue contact dgn suaminya. Dan gue diberi akses ke facebook si suami yg khusus dibuat untuk ini. Jadi gue bisa "ikut" mereka mencari kesembuhan dengan bolak balik Sby- Penang. Gue bisa lihat perjuangan mereka yg luar biasa. Termasuk melihat anak-anaknya ulang tahun selama sang ibu sakit. How sad.

Tadi pagi suaminya masih posting "mohon doa." Ternyata nggak lama masuk postingan baru "selamat jalan mama".

Huhuhuhu....

Rest in peace, dear Monica. You are in better place now. No needle no pain no tears. You must be happy.

Nggak lama setelah berita itu, dlm perjalanan ke Bdg, gue dapat whatsapp dari nyokap. Salah satu sepupu yg di Jkt hari ini masuk ICU. Lalu baru diketahui dia kena kanker hati. Dan sudah stadium akhir. Ya Allah.

Lalu baru saja ada whatsapp dari teman. Soal Rianti from my previous post. She was hospitalized. Pingsan. Ya Tuhan.

Ya Allah, apa pun yg terjadi, semua kuasaMu. MilikMu akan kembali padaMu.

Thursday, April 23, 2015

That Call

A phone call a day keeps the doctor away.

Hahahaha....

Coba tanya sama orang2 yg LDR. Ya kan? Ya kan? Kan?

Tp sudah lama nih nggak dapat telepon dari jauh. Ya sudahlah nasib.

Maaf ya pagi2 curcol ga jelas....

Tuesday, April 21, 2015

I Know You Read This

Thank you for calling. Meant a lot.

Wednesday, April 15, 2015

Tuesday, April 14, 2015

Baik Hati

"Jangan berkontribusi menciptakan mendung pada hidup orang lain," kata seorang teman, pagi ini. Gegara dia lihat banyak orang yg itikadnya menyusahkan orang. Biasanya atasan sih begitu, ke bawahannya.

Semoga kita semua dijauhkan dari tindakan2 yg nyusahin orang lain yesss.... 

Monday, April 13, 2015

From Last Weekend

Sebenernya yg lucu adalah cerita soal kentjan yg ambyar. Lucu2 nggilani gitu deh. Tp nanti aja yah, gue masih jengkel kalau inget. Jengkel kok gue mau2nya diajak ketemuan. Rasanya pengen menggoreng lalu meniriskan yg ngajak. Hahahaha....

Yg nggak kalah menarik adalah pertemuan dgn beberapa teman2. Yg lalu menampilkan petikan2 percakapan berikut.

Teman 1

"Mak, gue stress."
"Lha, kenapa jg stress. Punya suami, bisa diajak curhat to?"
"Justru seringkali dialah sumber stress gue."

Teman 2

"Kadang gue heran deh. Kenapa gue jadi ngerjain semua. Dari urus rumah, urus anak, sampai iuran RT. Trus skrg suami nelpon melulu hanya krn nggak bisa ganti chip hp. Haduh. Kenapa dia nggak mau urus sendiri? Dia pikir gue nggak ada kegiatan?"

Teman 3

"Susaaaah banget deh kalau udah begini. Bangun siang. Baju berantakan. Sarapan rusuh. Trus tahu2 pergi, ngilang, nggak pamit. Katanya ke bengkel. Seharian di sana. Kayaknya enakan elu yg sendiri. Nggak mikirin apa2."

Gue

Bangun tidur, tanya sm Aria, dia mau sarapan apa dan bawa bekal apa. Masak sebentar. Mandi. Antar Aria. Hbs drop dia di sekolah, kadang2 langsung ke gym, kadang juga ke pasar dulu cari buah. Langsung ke kantor juga bisa. Wong sdh cakep.

Trus kalau di jalan ada yg nawarin tas. Bagus dan pengen? Tinggal dihitung uang di tabungan. Kalau cukup, boleh beli. Kalau nggak cukup, nyicil boleh nggak? Hahahaha....

Sore pulang kantor, kalau mau jalan2 dulu ya tanya aja badannya kuat nggak. Kalau kuat dan mau ya ayo. Kalau nggak ya pikir lagi mau ke mana. Nonton? Pijat? Creambath? Potong rambut? Beli buku?

Liburan mau ke mana, juga direncanakan sendiri. Kalau punya uang, bisa agak jauhan. Kalau lagi bokek, ya udahlah yg deket aja. Semua diputuskan sendiri. Nggak perlu pertimbangan siapa2. Kalau ada apa2 ya nyungsep aja sendiri. Beres.

Mungkin memang lebih enak menjadi gue. Sendiri. Mungkin lho ya.

Saturday, April 11, 2015

Note to Self

Teach Aria to understand that if he ask a girl out on a date, he should not let her touch the door nor the bill.

Friday, April 10, 2015

Do Not Take Anything for Granted

Berapa kali dalam hidup, kita take it for granted?

Sebulan yg lalu, seorang kenalan, sebutlah Rianti, dikabarkan kena tumor otak. Selama ini, dia seringkali merasa mual dan pusing. Minum tolak angin, beres. Jadi dia pikir kalau sedang eneg... masuk angin biasa. Terakhir dia pusing luar biasa, nyaris pingsan, kesakitan, lalu dibawa k RS. Dokter langsung menyarankan CT Scan dan MRI. Ketemulah tumor diameter 6cm nempel di dekat otak kecil.

Waktu berita dia masuk RS tersebar di FB, banyak simpati berdatangan. Gue whatsapp tanya kabar dll. Ternyata dia nggak lama di RS, setelah hasil MRI keluar, dia memilih pulang. Gue yg merasa belum jenguk, tanya rumahnya, mau mampir. "Aku sdh ok kok, mbak," balasnya. Oke gimana sih? Satu org temen yg juga "penasaran" pengen jenguk akhirnya kompakan untuk bareng ke rumahnya. Tp Rianti keukeuh bilang dia baik2 saja. Sampai akhirnya dia ajak kami ketemuan di Pl Senayan.

Oke deh. Kalau sdh ngajak ketemu di mal, memang pertanda baik sih ya. Jadilah pd suatu hari Minggu gue ke PS. Ketemu Rianti yg ternyata pandangannya sudah kabur. Jadi turun taksi pun hrs dituntun. Ke tempat janjian diantar doorman :(

Dia cerita soal tumornya. Soal dokternya. Dan bahwa dia sedang tunggu jadwal operasi. "Menurut dokter, nggak ada jalan lain," katanya. Krn tau bahwa Rianti ini kerja di kantor yg cukup punya nama, dan dia adalah pegawai lama... gue berpikir akan ada asuransi yg menanggung. Jadilah kami ga bahas biaya (yg pasti besar), tapi lebih ke menyemangati dia.

Oh ya, Rianti ini penyelam. Yg menyelam di Raja Ampat, dan baru2 ini ke Maldives. Lalu setelah pd suatu masa dia berhasil menurunkan berat badan smp 25kg, dia juga jd suka lari. Sebutlah marathon di kawasan Asia, hampir semua sudah dia ikuti. Kayaknya tiap bulan pasti ikut event lari, entah 5K atau 10K. Jd dia, seharusnya, masuk kategori orang yg sehat. "Ya ini memang jadi wake up call sih mbak. Supaya aku lebih manis," katanya.

Well... that was a wake up call for all of us.

Kira2 tiga minggu setelah perjumpaan di PS itu, gue denger ada penggalangan dana untuk bantu biaya operasi Rianti. Dari seorang teman, jadi tahu kalau kantornya tidak punya asuransi yang cukup ciamik utk cover operasi sebesar itu. Gue jd curiga sepertinya perusahaan nggak punya asuransi kesehatan. Anyway, gue sempat hubungi orang yg mengaku ketua penggalangan dana. Dan dari jawaban di whatsapp, gue kok nggak seneng ya. Hahaha... jadilah gue putuskan untuk mengumpulkan sendiri dari teman2 dekat.

Nah, saat ngumpulin itu, tahulah kalau ada salah satu teman, Yanita, yg masih saudara (satu buyut) dgn Rianti. Kebetulan kami jg lumayan dekat. Ih... nyambung banget. Jd kami merancang misi menjenguk Rianti.

"Gue nggak tahu rumahnya lho."
"Gampang, gue dulu juga tinggal di sekitar situ. Dulu, kakek kami bedol desa dari Cirebon. Tinggal di situ. Lalu semua lahir di sana. Sampai bapak gue pindah ke Depok. Keluarga Rianti sih masih di situ semua," katanya.

Gue hanya tahu bahwa jalan di lingkungan itu sempit. Kebetulan setiap lebaran gue pasti ke sana, sowan dua bude yg tinggal di lingkungan itu. Krn males nyetir dan membayangkan susah parkir, marilah berhemat dgn hanya naik satu mobil saja. Ok!

Jadilah disepakati pd suatu weekend kami akan berkunjung ke rumah sepupu Yanita itu. Seperti sdh diduga, kami sulit mencari rumahnya. Hahahaha... tp lalu ada kawan yg ngasih nomor kakaknya Rianti. Katanya Rianti nggak boleh telepon nggak boleh main hp... takut radiasi akan membuat tumor membesar. Setelah telepon... ternyata kami sedang nggak jauh dari rumahnya. Jadi seneng deh. Bisa langsung turun. Eh, hujan. Payungan berdua masuk ke halaman rumah. Hmm... ternyata rumahnya model memanjang ke belakang, dengan pintu2 yg mirip satu sama lain. Khas rumah petak di tengah Jakarta. Padahal nomornya cuma satu. Hmm... yg mana rumahnya Rianti?

Dari luar, kedengeran ada yg lagi telepon di salah satu rumah. "Jangan boleh ke sini!"

Lha? Itu suaranya Rianti! Kok dia nggak mau ada yg datang?

Dasar kami dua wartawan keras kepala nggak tahu malu... malah gedor2 pintu yg tadi ada suaranya. "Assalamualaikum... Rianti ada? Halo... mbak Rianti?" Di bawah payung lho itu.

Jadi yg di dalam nggak ada pilihan selain membukakan pintu buat kami berdua. Dan kami jadi paham kenapa Rianti nggak mau dikunjungi di rumah.

Rumahnya ternyata hanya sepetak itu saja. Itu rumah neneknya. Petak2 yg lain disewakan. Dalam petak yg menjadi tempat tinggalnya, Rianti berbagi dengan ayah, ibu, kakak, dan satu keponakan. Kecil. Paling 4x5. Begitu dia buka pintu, langsung terlihat ada kulkas. Di antara pintu dan kulkas, ada tumpukan panci, tumpukan ember, tumpukan kardus2 entah apa. Berdebu dan kumal. Hiks.

Rianti kelihatan banget kaget lihat kami berdua. Dan dia langsung salah tingkah. Ah. Syukurlah kami berdua ini anak2 yg tidak manja dan selalu gembira. Jadi akhirnya kami hore2 aja duduk di kursi bakso. Di teras. Di bawah payung....

Dan kami ngobrol soal macem2. Soal biaya operasi yg belum terkumpul. Soal dia sedang mencoba obat herbal dari dokter terkenal. Soal keluarga yg fully support. Dan soal kantor yg nggak jelas. Waktu gue kasih amplop dari teman2, dia sempat diam lama. "Ini boleh buat MRI ya mbak?" Oalah. You can do anything you want with the money, honey. Setelah kira2 sejam, kami pamit. 

Gue & Yanita diem aja di jalan. Gue kayak habis ditabok. Soal sakit... yaaaa... mudah2an bisa ada upaya yg meringankan.

Gue lbh shock lihat kondisi tempat tinggalnya. Rianti yg gue kenal tuh yg ke Raja Ampat dan Maldives lho. Yg ikut Tokyo Marathon, KL Marathon, HK Marathon... dengan sepatu lari yg dahsyat. Yg pakai tas Kate Spade. Yg kalau potong rambut di Irwan Team Salon. Ternyata dia tinggal di rumah yg berdebu dan kusam. Berhimpitan dengan keluarganya. Aduh. Pergaulan metropolitan yg salah  kali ya? Yg membuat dia merasa hrs eksis di tempat2 yg hits itu, pakai perkakas yg hits juga... Atau dia yg kurang kuat iman? Tasnya itu kalau dijual, bisa lho buat benerin terasnya. Uang tiket ke tempat2 menyelam dan lari itu bisa lho dipakai buat kontrak rumah yg lebih besar... Hmm... taruhlah dia potong rambut di Johny Andrean saja... sisanya bisa buat benerin lemari laci yg sdh bobrok.

Well... hidup ini memang memberi banyak pilihan. Kita yg hrs mengendalikan diri, supaya nggak salah memilih.

Sampai di rumah, gue rasanya bersyukur banget. Alhamdulillah ya Allah... gue punya kasur empuk dgn sprei baru di rumah yg bersih. Alhamdulillah. Hari itu gue belajar (lagi) utk tidak take it for granted.

Tuesday, April 07, 2015

Just a Little Sister

I do understand sibling rivalry. Or I think I do?

Sejak gue kecil, gue ingat orang2 membandingkan gue dan abang gue. Atau setidaknya, gue merasa dibandingkan dgn kakak gue itu.

"Oh ini adiknya kok pemalu, nggak seperti kakaknya yg ramah."
"Lho, adiknya kok nggak mau pakai sandal. Seperti mas itu lho, rapi ke mana2 pakai alas kaki."

Hal2 semacam itu yg teringat oleh otak gue yang (saat itu) masih sangat muda.

Dan gong dari segala perbandingan itu adalah ketika kedua eyang putri (dari bokap dan dari nyokap) berdiskusi soal siapa yg harus tinggal di mana (seandainya bokap nyokap mengizinkan).

"Yang laki2 buat aku."
"Oh ya nggak mau dong. Aku juga mau yg laki2."

Bayangkanlah gue, anak perempuan kecil, mendengar soal "perebutan" cucu laki2. Felt as if I was a useless little girl. Padahal kalau gue ingat, kakak gue itu waktu kecil juga duduls kok: nggak mau makan sayur, penakut, dan kalau makan telur ceplok selalu menyisakan bagian putihnya.

Meskipun dudul, dia kan tetap cucu pertama, cucu laki-laki, anak pertama, anak laki-laki... and so on so fort... yg jelas dia juaranya. 

Karena gue dilahirkan sebagai perempuan yg keras kepala, semakin orang melihat sisi positif kakak gue (dan membicarakannya), semakin gue berbuat yg sebaliknya. Sampai gue ingat nggak mau belajar sama sekali karena males denger orang membandingkan gue dgn abang gue yg juara kelas setiap tahun. Alhamdulillah kok Tuhan Maha Baik, meskipun nggak mau belajar, gue tetep naik kelas. Hahaha.... Akibatnya lagi kalau lebaran, selalu Ary yg dapat hadiah. "Karena juara kelas. Dian kan nggak. Makanya belajar dong." #dzig

Tapi tetap banyak sekali orang yg melihat gue hanya sebagai "Dian adiknya Ary." Yg kok tidak sepintar kakaknya. Sepertinya nggak ada yg ingat bhw gue bisa menari Jawa halus, tp mereka ingat Ary menari tari Manggala yg dia pelajari sebulan untuk syarat jadi Bintang Pelajar. Nggak ada yg ingat Ary pernah minta gitar tapi lalu mogok belajar setelah kelas yg pertama, lalu gitarnya gue pakai buat belajar gitar klasik sampai gue bisa baca not balok dan main beberapa lagu di buku Yamaha dgn bagus.

Ary tetap cucu pertama, cucu laki-laki, anak pertama, anak laki-laki... and so on so fort... Jelas dia juaranya.

Banyak hal di masa remaja yg juga semakin membuat gue merasa kakak gue itu lebih oke (di mata orang2). Mungkin ini satu2nya momen bahwa menjadi mahasiswa di Universitas Brawijaya lebih keren ketimbang sekolah di Universitas Indonesia. Hahaha....

Dan skrg, yg namanya Ary itu masuk jajaran 10 best architect in the country plus 5 most expensive architect consultant (jgn tanya ya versi siapa... gue nggak tahu). Gue sebagai adiknya ya bangga laaaah.... Sekaligus siap2 kalau nanti ada yg tanya, "mbak adiknya arsitek top itu ya?"

Tapi sudahlah. Ya memang gue ini adiknya Ary-yg-itu. Mau apa lagi? Pd kehidupan sehari-hari,  dia juga lovely brother kok. Dan sesuai usia, skrg ini gue juga sudah nggak defensif soal posisi adik itu. Gue pernah jadi editor in chief media internasional, lalu jadi kepala divisi di grup media besar, tetap di satu keadaan gue "hanya" dikenal sebagai "adiknya Ary." Ya sudahlah. Paling nggak dgn segala pencapaian gue itu, nggak malu2in lah dikenal sbg adiknya kakak gue. Dan nggak bakalan ada yg nuduh gue mendompleng karena bidang kami yg beda banget.

Yg jelas dia sayang bener sama Aria. To the moon and back. Yg artinya segala kebutuhan anak gue itu (dan ibunya kalau perlu) akan bisa dibereskan dengan gembira ria. Selesai semua urusan kan.

Barusan, dan ini terjadi sekitar 35 tahun setelah percakapan the eyangs, ada yg menegur gue di FB dgn, "mbak ini adiknya Ary ya?" Hahaha... OMG. 

Btw, kalau gue sbg anak kedua aja merasa segitunya soal kakak gue... apa kabar adik gue ya? Hahaha....

Thursday, April 02, 2015

Lovely Flowers

Bunganya, yg minggu lalu, masih bagus. Makin merekah segar. Warnanya makin merah, ada sisi yang menghitam. Keren deh. Sudah seminggu, tapi masih oke.
Kebayang itu bunga dikirim pakai cinta, diterima dgn penuh cinta, dirawat pakai cinta... banyak yaaa.. cintanya, makanya mungkin awet ya. Seawet cintanya yg sdh sekian tahun itu lho.

Lhaaa.... knp gue jd dangdut ya. Hahahaha....

Wednesday, April 01, 2015

Bekal

Tadi pagi bikin dua bekal. Satu buat Aria, satu gue bawa ke kantor (maunya).
Ternyata Aria suka. Jadi sepanjang jalan ke sekolah, dia cemilin bekal gue. Habis.
"Punyaku masih kusimpan untuk nanti pas istirahat." 

Saiki aku luwe.