Tuesday, April 07, 2015

Just a Little Sister

I do understand sibling rivalry. Or I think I do?

Sejak gue kecil, gue ingat orang2 membandingkan gue dan abang gue. Atau setidaknya, gue merasa dibandingkan dgn kakak gue itu.

"Oh ini adiknya kok pemalu, nggak seperti kakaknya yg ramah."
"Lho, adiknya kok nggak mau pakai sandal. Seperti mas itu lho, rapi ke mana2 pakai alas kaki."

Hal2 semacam itu yg teringat oleh otak gue yang (saat itu) masih sangat muda.

Dan gong dari segala perbandingan itu adalah ketika kedua eyang putri (dari bokap dan dari nyokap) berdiskusi soal siapa yg harus tinggal di mana (seandainya bokap nyokap mengizinkan).

"Yang laki2 buat aku."
"Oh ya nggak mau dong. Aku juga mau yg laki2."

Bayangkanlah gue, anak perempuan kecil, mendengar soal "perebutan" cucu laki2. Felt as if I was a useless little girl. Padahal kalau gue ingat, kakak gue itu waktu kecil juga duduls kok: nggak mau makan sayur, penakut, dan kalau makan telur ceplok selalu menyisakan bagian putihnya.

Meskipun dudul, dia kan tetap cucu pertama, cucu laki-laki, anak pertama, anak laki-laki... and so on so fort... yg jelas dia juaranya. 

Karena gue dilahirkan sebagai perempuan yg keras kepala, semakin orang melihat sisi positif kakak gue (dan membicarakannya), semakin gue berbuat yg sebaliknya. Sampai gue ingat nggak mau belajar sama sekali karena males denger orang membandingkan gue dgn abang gue yg juara kelas setiap tahun. Alhamdulillah kok Tuhan Maha Baik, meskipun nggak mau belajar, gue tetep naik kelas. Hahaha.... Akibatnya lagi kalau lebaran, selalu Ary yg dapat hadiah. "Karena juara kelas. Dian kan nggak. Makanya belajar dong." #dzig

Tapi tetap banyak sekali orang yg melihat gue hanya sebagai "Dian adiknya Ary." Yg kok tidak sepintar kakaknya. Sepertinya nggak ada yg ingat bhw gue bisa menari Jawa halus, tp mereka ingat Ary menari tari Manggala yg dia pelajari sebulan untuk syarat jadi Bintang Pelajar. Nggak ada yg ingat Ary pernah minta gitar tapi lalu mogok belajar setelah kelas yg pertama, lalu gitarnya gue pakai buat belajar gitar klasik sampai gue bisa baca not balok dan main beberapa lagu di buku Yamaha dgn bagus.

Ary tetap cucu pertama, cucu laki-laki, anak pertama, anak laki-laki... and so on so fort... Jelas dia juaranya.

Banyak hal di masa remaja yg juga semakin membuat gue merasa kakak gue itu lebih oke (di mata orang2). Mungkin ini satu2nya momen bahwa menjadi mahasiswa di Universitas Brawijaya lebih keren ketimbang sekolah di Universitas Indonesia. Hahaha....

Dan skrg, yg namanya Ary itu masuk jajaran 10 best architect in the country plus 5 most expensive architect consultant (jgn tanya ya versi siapa... gue nggak tahu). Gue sebagai adiknya ya bangga laaaah.... Sekaligus siap2 kalau nanti ada yg tanya, "mbak adiknya arsitek top itu ya?"

Tapi sudahlah. Ya memang gue ini adiknya Ary-yg-itu. Mau apa lagi? Pd kehidupan sehari-hari,  dia juga lovely brother kok. Dan sesuai usia, skrg ini gue juga sudah nggak defensif soal posisi adik itu. Gue pernah jadi editor in chief media internasional, lalu jadi kepala divisi di grup media besar, tetap di satu keadaan gue "hanya" dikenal sebagai "adiknya Ary." Ya sudahlah. Paling nggak dgn segala pencapaian gue itu, nggak malu2in lah dikenal sbg adiknya kakak gue. Dan nggak bakalan ada yg nuduh gue mendompleng karena bidang kami yg beda banget.

Yg jelas dia sayang bener sama Aria. To the moon and back. Yg artinya segala kebutuhan anak gue itu (dan ibunya kalau perlu) akan bisa dibereskan dengan gembira ria. Selesai semua urusan kan.

Barusan, dan ini terjadi sekitar 35 tahun setelah percakapan the eyangs, ada yg menegur gue di FB dgn, "mbak ini adiknya Ary ya?" Hahaha... OMG. 

Btw, kalau gue sbg anak kedua aja merasa segitunya soal kakak gue... apa kabar adik gue ya? Hahaha....

2 comments:

Anonymous said...

Halo ibu Dian. Sebagai mahasiswa arsitektur UB saya ngakak dikit lah baca post ini. Wkwk. Jujur saya tau ibu ya sebagai adiknya stArchitect Ary Indra. tapi setelah kepo dan baca blog ibu..saya jadi tau ibu sebagai seorang happy single mother yang sukses kerja di dunia jurnalistik. Yang ujungnya bikin saya jadi bercitacita lagi kalo lulus mau kerja di dunia jurnalistrik. Hahaha. Kok saya jadi curhat ya bu :( tapi kata kakak saya, kerja di dunia jurnalistik itu gajinya ga gede emang bener ya bu? Soalnya termasuk produksi. Tapi pengen bangeeet jadi jurnalis... huhuhu *maaf ya bu jadi curhat*

Anonymous said...

Aku kok baru baca komen ini... hahaha... kamu siapa? Boleh lho kalau mau ngobrol curhat agak panjangan... ke email ariagaung@gmail.com....