Friday, April 10, 2015

Do Not Take Anything for Granted

Berapa kali dalam hidup, kita take it for granted?

Sebulan yg lalu, seorang kenalan, sebutlah Rianti, dikabarkan kena tumor otak. Selama ini, dia seringkali merasa mual dan pusing. Minum tolak angin, beres. Jadi dia pikir kalau sedang eneg... masuk angin biasa. Terakhir dia pusing luar biasa, nyaris pingsan, kesakitan, lalu dibawa k RS. Dokter langsung menyarankan CT Scan dan MRI. Ketemulah tumor diameter 6cm nempel di dekat otak kecil.

Waktu berita dia masuk RS tersebar di FB, banyak simpati berdatangan. Gue whatsapp tanya kabar dll. Ternyata dia nggak lama di RS, setelah hasil MRI keluar, dia memilih pulang. Gue yg merasa belum jenguk, tanya rumahnya, mau mampir. "Aku sdh ok kok, mbak," balasnya. Oke gimana sih? Satu org temen yg juga "penasaran" pengen jenguk akhirnya kompakan untuk bareng ke rumahnya. Tp Rianti keukeuh bilang dia baik2 saja. Sampai akhirnya dia ajak kami ketemuan di Pl Senayan.

Oke deh. Kalau sdh ngajak ketemu di mal, memang pertanda baik sih ya. Jadilah pd suatu hari Minggu gue ke PS. Ketemu Rianti yg ternyata pandangannya sudah kabur. Jadi turun taksi pun hrs dituntun. Ke tempat janjian diantar doorman :(

Dia cerita soal tumornya. Soal dokternya. Dan bahwa dia sedang tunggu jadwal operasi. "Menurut dokter, nggak ada jalan lain," katanya. Krn tau bahwa Rianti ini kerja di kantor yg cukup punya nama, dan dia adalah pegawai lama... gue berpikir akan ada asuransi yg menanggung. Jadilah kami ga bahas biaya (yg pasti besar), tapi lebih ke menyemangati dia.

Oh ya, Rianti ini penyelam. Yg menyelam di Raja Ampat, dan baru2 ini ke Maldives. Lalu setelah pd suatu masa dia berhasil menurunkan berat badan smp 25kg, dia juga jd suka lari. Sebutlah marathon di kawasan Asia, hampir semua sudah dia ikuti. Kayaknya tiap bulan pasti ikut event lari, entah 5K atau 10K. Jd dia, seharusnya, masuk kategori orang yg sehat. "Ya ini memang jadi wake up call sih mbak. Supaya aku lebih manis," katanya.

Well... that was a wake up call for all of us.

Kira2 tiga minggu setelah perjumpaan di PS itu, gue denger ada penggalangan dana untuk bantu biaya operasi Rianti. Dari seorang teman, jadi tahu kalau kantornya tidak punya asuransi yang cukup ciamik utk cover operasi sebesar itu. Gue jd curiga sepertinya perusahaan nggak punya asuransi kesehatan. Anyway, gue sempat hubungi orang yg mengaku ketua penggalangan dana. Dan dari jawaban di whatsapp, gue kok nggak seneng ya. Hahaha... jadilah gue putuskan untuk mengumpulkan sendiri dari teman2 dekat.

Nah, saat ngumpulin itu, tahulah kalau ada salah satu teman, Yanita, yg masih saudara (satu buyut) dgn Rianti. Kebetulan kami jg lumayan dekat. Ih... nyambung banget. Jd kami merancang misi menjenguk Rianti.

"Gue nggak tahu rumahnya lho."
"Gampang, gue dulu juga tinggal di sekitar situ. Dulu, kakek kami bedol desa dari Cirebon. Tinggal di situ. Lalu semua lahir di sana. Sampai bapak gue pindah ke Depok. Keluarga Rianti sih masih di situ semua," katanya.

Gue hanya tahu bahwa jalan di lingkungan itu sempit. Kebetulan setiap lebaran gue pasti ke sana, sowan dua bude yg tinggal di lingkungan itu. Krn males nyetir dan membayangkan susah parkir, marilah berhemat dgn hanya naik satu mobil saja. Ok!

Jadilah disepakati pd suatu weekend kami akan berkunjung ke rumah sepupu Yanita itu. Seperti sdh diduga, kami sulit mencari rumahnya. Hahahaha... tp lalu ada kawan yg ngasih nomor kakaknya Rianti. Katanya Rianti nggak boleh telepon nggak boleh main hp... takut radiasi akan membuat tumor membesar. Setelah telepon... ternyata kami sedang nggak jauh dari rumahnya. Jadi seneng deh. Bisa langsung turun. Eh, hujan. Payungan berdua masuk ke halaman rumah. Hmm... ternyata rumahnya model memanjang ke belakang, dengan pintu2 yg mirip satu sama lain. Khas rumah petak di tengah Jakarta. Padahal nomornya cuma satu. Hmm... yg mana rumahnya Rianti?

Dari luar, kedengeran ada yg lagi telepon di salah satu rumah. "Jangan boleh ke sini!"

Lha? Itu suaranya Rianti! Kok dia nggak mau ada yg datang?

Dasar kami dua wartawan keras kepala nggak tahu malu... malah gedor2 pintu yg tadi ada suaranya. "Assalamualaikum... Rianti ada? Halo... mbak Rianti?" Di bawah payung lho itu.

Jadi yg di dalam nggak ada pilihan selain membukakan pintu buat kami berdua. Dan kami jadi paham kenapa Rianti nggak mau dikunjungi di rumah.

Rumahnya ternyata hanya sepetak itu saja. Itu rumah neneknya. Petak2 yg lain disewakan. Dalam petak yg menjadi tempat tinggalnya, Rianti berbagi dengan ayah, ibu, kakak, dan satu keponakan. Kecil. Paling 4x5. Begitu dia buka pintu, langsung terlihat ada kulkas. Di antara pintu dan kulkas, ada tumpukan panci, tumpukan ember, tumpukan kardus2 entah apa. Berdebu dan kumal. Hiks.

Rianti kelihatan banget kaget lihat kami berdua. Dan dia langsung salah tingkah. Ah. Syukurlah kami berdua ini anak2 yg tidak manja dan selalu gembira. Jadi akhirnya kami hore2 aja duduk di kursi bakso. Di teras. Di bawah payung....

Dan kami ngobrol soal macem2. Soal biaya operasi yg belum terkumpul. Soal dia sedang mencoba obat herbal dari dokter terkenal. Soal keluarga yg fully support. Dan soal kantor yg nggak jelas. Waktu gue kasih amplop dari teman2, dia sempat diam lama. "Ini boleh buat MRI ya mbak?" Oalah. You can do anything you want with the money, honey. Setelah kira2 sejam, kami pamit. 

Gue & Yanita diem aja di jalan. Gue kayak habis ditabok. Soal sakit... yaaaa... mudah2an bisa ada upaya yg meringankan.

Gue lbh shock lihat kondisi tempat tinggalnya. Rianti yg gue kenal tuh yg ke Raja Ampat dan Maldives lho. Yg ikut Tokyo Marathon, KL Marathon, HK Marathon... dengan sepatu lari yg dahsyat. Yg pakai tas Kate Spade. Yg kalau potong rambut di Irwan Team Salon. Ternyata dia tinggal di rumah yg berdebu dan kusam. Berhimpitan dengan keluarganya. Aduh. Pergaulan metropolitan yg salah  kali ya? Yg membuat dia merasa hrs eksis di tempat2 yg hits itu, pakai perkakas yg hits juga... Atau dia yg kurang kuat iman? Tasnya itu kalau dijual, bisa lho buat benerin terasnya. Uang tiket ke tempat2 menyelam dan lari itu bisa lho dipakai buat kontrak rumah yg lebih besar... Hmm... taruhlah dia potong rambut di Johny Andrean saja... sisanya bisa buat benerin lemari laci yg sdh bobrok.

Well... hidup ini memang memberi banyak pilihan. Kita yg hrs mengendalikan diri, supaya nggak salah memilih.

Sampai di rumah, gue rasanya bersyukur banget. Alhamdulillah ya Allah... gue punya kasur empuk dgn sprei baru di rumah yg bersih. Alhamdulillah. Hari itu gue belajar (lagi) utk tidak take it for granted.

2 comments:

Manda La Mendol said...

Mbak...menyentuh bangets tapi keadaan yang sebenar-benarnya yg banyak terjadi. Aku termasuk orang yg gampang tergoda..untunglah cukup realistis kalo duitnya ngga nyucuk..wkakakakaka

Anonymous said...

Mba Didi.. salam kenal.. seperti biasa kemana-mana dan nyasar di blog-nya mba Didi..
bagus sekali postingannya mba..

aku baru tau mba ternyata ada bener yang kondisinya seperti mba Rianti (bukan sakitnya ya) tapi kondisi yang sebenarna.. semoga mba Rianti segera diberi kesembuhan ya mba..