Wednesday, February 21, 2018

Mencari Renjana

Tibalah gue pada saat anak gue bukan lagi anak kecil lucu yang bisa gue dandanin sesuka gue pakai baju warna kuning dan sepatu orange. Dia sudah besar. Dan skrg sedang dalam masa, "Aku mau jadi apa ya?"

Gue sedang berusaha untuk membuat dia nggak terpaku harus jadi ini atau jadi itu. Gue pengen sekali Aria melakukan apa pun yg ia suka (selama di jalan yg benar & sewajarnya). Dia sepertinya belum yakin betul tentang apa yang dia suka. Ya... tugas gue menggali renjana yg dia punya.

Gue sih merasa dia cukup sensitif untuk suara dan bunyi. Jadi sejak kecil sebetulnya dia sudah gue arahkan ikut les musik. Biola, sempat setahun lebih. Lalu berhenti karena gurunya diganti dan dia nggak cocok sama gurunya, dan pihak sekolahnya gemblung banget bikin emosi urusan ganti2 guru ini. Jadi pindah ke piano. Agak lumayan. Sudah 2 tahun. Kemarin sempat mau mogok, tapi lalu bisa dimotivasi lagi. Karena sebetulnya bukan dia nggak bisa, tapi dia malas latihan. Biasa kan... entahlah kenapa ada kata "malas" di kamus... jadi bikin kisruh aja. Haha....

Bulan lalu, gue ajak dia nonton Tulus, lalu minggu lalu kami nonton Tohpati. Supaya dia tahu bahwa ada orang2 yg sekolah dan kariernya berbeda. Tulus itu arsitek, tp lalu memilih jadi penyanyi. Dan nggak apa2 juga. Tohpati dari lulus SMA sudah tahu kalau suka musik. Jadi dia konsisten. Belajar gitar di mana2. Sukses juga. Trus di dalam konser itu juga ada orang2 yg macem2. Pemain musik pun banyak. Ditambah manager artis, stage manager, floor manager, yg ngurus penonton, dll. Dia bisa lihat bahwa semua ada yg mengerjakan. Do what you love, and be the best in it.

Dalam hidup sehari2... Aria lihat ada papap yg bisa dibilang sukses sbg arsitek. Terkenal pula (jangan sedih, sering lho kami ini disapa orang waktu jalan2. "Ini anaknya pak Ary kan?" Duh... gimana kalau jadi anaknya Ahmad Albar ya? Sorry oot). Trus gue ini kan ya nggak kusut2 amat dalam karier... sekolah bener, kerja bener.... Yg penting, papap dan gue sama2 menunjukkan kecintaan (yg luar biasa) pada pekerjaan (atau yg dikerjakan). Mau ngasih lihat ke Aria bahwa kalau kita melakukan yg disukai, insya Allah ada rejeki yg mengikuti. Jadi contoh2 orang kantoran yg berhasil juga banyak. Mudah2an semua bisa jadi referensi bagus buat anak gue itu. Aamiin.

Perjalanan mencari renjana ini memang masih akan sangat panjang. Krn Aria juga perlu terus didorong mencoba hal2 baru. Memasak, menari hiphop, dan yg sekarang2 ini sedang mau gue carikan jalan adalah kerja sosial. Semoga memang ada yg bisa membuat dia lebih paham dirinya sendiri. Lalu bisa dikembangkan menjadi keindahan tiada tara untuk masa depannya.

Semoga juga gue yg diberi tanggung jawab membesarkan Aria bisa membimbing dia menemukan jalan hidup yg benar. Duh, doa gue nggak putus deh buat ini.

Bbrp hari lalu, dalam perjalanan di mobil kentang, tiba2 dia tanya, "Eyang itu punya uang dari mana? Kan eyang nggak kerja, tapi uangnya banyak."

"Eyang kan bikin jamu, dapat uang. Trus ada tabungan juga. Tapi, memang papap, aku, papcay... selalu kirim uang tiap bulan, buat eyang."

"Hmm... ibu... eyang kan anaknya 3, jadi yg kasih uang banyak. Uang eyang jadi banyak. Ibu karena anaknya cuma 1, jangan marah ya kalau besok uangnya sedikit."

Hahahahahahaha.... oalah nak...

Wednesday, February 14, 2018

Draft 1



Waktu aku lihat Mbok Dinar masuk rumah, setelah ibu membukakan pintu, aku tidak berpikir ada sesuatu yang penting. Jadi, aku masuk kamar dan mulai membereskan tas serta seragam sekolah untuk besok. Tapi, tak lama, ibu mengetuk pintu kamarku. 

"Adi... " Raut wajah ibu tampak aneh. Aku melihatnya antara sedih, tapi juga cemas, meski kulihat ibu berusaha tetap tenang. 

"Adi, kamu ikut Mbok Dinar ya. Ke rumah Bu Supangat. Sekarang."

"Malam-malam begini?" 

"Iya. Ikut saja. Kamu sudah ditunggu Bu Supangat." 

Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat sikap Ibu, kusimpan pertanyaan itu di hati. Lagipula, ada perasaan bahwa aku sebaiknya menurut saja. Jadi tak lama, aku sudah berjalan bersama Mbok Dinar, menyusuri gang kampung yang hanya diterangi titik-titik lentera kecil di sana-sini. Kami berdua membisu. 

Rumah Bu Supangat adalah rumah besar yang terletak di pinggir jalan utama. Halamannya luas. Sering kulihat Lik Tarjo, adik bapakku, membereskan semak dan menebas ranting di halaman itu. Saat ini, di halaman ada tenda putih yang besar. Tenda yang bagus. Tapi, mengapa suasananya begitu muram? 

Mbok Dinar menemaniku masuk ke rumah. Baru kali ini aku masuk ke rumah yang begitu indah. Kursi-kursi besar yang tampak nyaman, dipinggirkan menempel ke tembok, bersisian dengan lemari-lemari berpintu kaca yang menyimpan banyak benda warna-warni. Sepertinya pajangan oleh-oleh dari luar negeri, yang fotonya sering aku lihat di majalah. Lampu gantung yang mengilap menambah keindahan ruangan. Gelaran karpet yang lebar-lebar memenuhi seluruh lantai. Tampak empuk dan nyaman. Namun, seperti di luar, di dalam ruangan pun semuanya tampak berduka. 

Aku tidak punya waktu mengagumi ruangan itu lebih lama, juga ruangan sebelahnya yang nampak lebih luas,  karena Mbok Dinar yang memegang tanganku mengajakku mendekati seorang ibu. Kulihat Mbok Dinar mengatakan sesuatu. Ibu itu segera mengangkat wajah, menatapku, dan tersenyum sedikit. Matanya yang bersedih tak bisa disembunyikan oleh senyumnya. 

"Adi? Betul, kowe Adi to? Cerita panjangnya nanti saja. Pokoke, yang jelas, mengko arep ono jenazah teka, jenazah suami Ibu. Iyo. Kuwi jenazah Pak Supangat. Dia suami Ibu, tapi dia juga ayahmu. Kewajiban kamu, sebagai anak, adalah ikut memandikan jenazahnya," suara lembut Bu Supangat seketika menyuntikkan kebingungan di kepalaku. 

Kutengok kanan dan kiri, mencari-cari wajah Mbok Dinar. Dia ada di sudut. Dengan mataku, aku bertanya, "Iki opo? Apa ini?" Mbok Dinar mengibaskan tangan. Menyuruhku tetap di tempatku berdiri. 

"Mbok, ambilkan teh hangat," kata Bu Supangat pada salah satu pembantunya. Yang disuruh segera mengambil segelas minuman dan memberikannya padaku yang masih terpaku. 

"Bapakku? Meninggal?" hatiku mendadak kacau. Otakku seperti tidak berdaya berpikir apa-apa. Bapakku di rumah tadi sepertinya baik-baik saja. Lalu ini siapa? Mengapa? Lalu aku ingat raut wajah aneh ibuku ketika tadi menyuruhku mengikuti Mbok Dinar. 

Kurasa tepukan lembut di bahuku. Bu Supangat menggandengku, bersimpuh di karpet, lalu mendudukkan aku di sisinya. Aku tidak punya pilihan selain ikut duduk. Kulihat Ibu mengambil Al Quran. Dua buah. Satu dia serahkan padaku, satu lagi dia pangku, dibuka pada halaman tertentu. Kudengar dia mulai mengaji. Aku masih bingung, tapi seperti ada sesuatu yang menggerakkan, aku mulai ikut menggumamkan ayat demi ayat, dengan pikiran yang seolah tidak pada tempatnya.

(bersambung)

    

Monday, February 05, 2018

Reaksi

Gue sekarang percaya bahwa kita memang nggak bisa kontrol tindakan orang lain. Yg bisa sepenuhnya kita atur adalah reaksi kita terhadap tingkah laku orang lain. Dan reaksi ini kalau dipikirin bener bisa menjadi sesuatu yang akhirnya menyenangkan.

Bbrp hari lalu satu jendela wa menyala di hp. Dari bapaknya anak gue. Haha.... Pernah ada masa gue menyesal nggak pernah ngruwes hidungnya. Atau ngeplak dahinya. Atau gigit tangannya.... Kapan itu ya? Bbrp saat lalu lah.... Hahahaha.... Skrg, apa rasanya? Masih ada mixed feeling. Tapi entah kenapa reaksi gue waktu lihat jendela wa menyala itu kok tenang. Mungkin krn ngantuk habis lembur semalam? Embuh. Yg jelas... gue biasa aja, (berusaha) nggak ada emosi. Jawab datar: yes, what can I do for you?

Lalu dia bilang barusan transfer untuk Aria. "Ok, thank you."

Gue kira, akan berhenti di situ saja. Tapi ternyata enggak.... Dimulai dari satu pertanyaan soal Aria, yg gue jawab biasa aja. Terus... tanya lagi yg gue jawab lagi. Terus... terus... terus.... sampai akhirnya kami ngomongin Jokowi & Ahok. Hahahaha.... Aneh? Lumayan... krn selama ini nggak kebayang akan ngomongin sesuatu dgn santai. Yg kemudian gue sadar, bisa kejadian krn gue pun santai aja jawabnya. Udah ga pakai semangat mau ngrawus lagi... hahaha....

Untuk coparenting kayaknya sih udah telat banget ya. We'll see.... hmm... belum kepikiran bisa ke sana tapi ya siapa tahu. Skrg ini bisa jadi temen aja udah cukup kok. Nggak pengen apa2 lagi. Sudah seneng.

If you ever read this, hopefully you understand how meaningful the conversation was. Thank you.

 

Thursday, February 01, 2018

Say Hello

Do you know how a morning greeting can boost your mood up?