Wednesday, February 14, 2018

Draft 1



Waktu aku lihat Mbok Dinar masuk rumah, setelah ibu membukakan pintu, aku tidak berpikir ada sesuatu yang penting. Jadi, aku masuk kamar dan mulai membereskan tas serta seragam sekolah untuk besok. Tapi, tak lama, ibu mengetuk pintu kamarku. 

"Adi... " Raut wajah ibu tampak aneh. Aku melihatnya antara sedih, tapi juga cemas, meski kulihat ibu berusaha tetap tenang. 

"Adi, kamu ikut Mbok Dinar ya. Ke rumah Bu Supangat. Sekarang."

"Malam-malam begini?" 

"Iya. Ikut saja. Kamu sudah ditunggu Bu Supangat." 

Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat sikap Ibu, kusimpan pertanyaan itu di hati. Lagipula, ada perasaan bahwa aku sebaiknya menurut saja. Jadi tak lama, aku sudah berjalan bersama Mbok Dinar, menyusuri gang kampung yang hanya diterangi titik-titik lentera kecil di sana-sini. Kami berdua membisu. 

Rumah Bu Supangat adalah rumah besar yang terletak di pinggir jalan utama. Halamannya luas. Sering kulihat Lik Tarjo, adik bapakku, membereskan semak dan menebas ranting di halaman itu. Saat ini, di halaman ada tenda putih yang besar. Tenda yang bagus. Tapi, mengapa suasananya begitu muram? 

Mbok Dinar menemaniku masuk ke rumah. Baru kali ini aku masuk ke rumah yang begitu indah. Kursi-kursi besar yang tampak nyaman, dipinggirkan menempel ke tembok, bersisian dengan lemari-lemari berpintu kaca yang menyimpan banyak benda warna-warni. Sepertinya pajangan oleh-oleh dari luar negeri, yang fotonya sering aku lihat di majalah. Lampu gantung yang mengilap menambah keindahan ruangan. Gelaran karpet yang lebar-lebar memenuhi seluruh lantai. Tampak empuk dan nyaman. Namun, seperti di luar, di dalam ruangan pun semuanya tampak berduka. 

Aku tidak punya waktu mengagumi ruangan itu lebih lama, juga ruangan sebelahnya yang nampak lebih luas,  karena Mbok Dinar yang memegang tanganku mengajakku mendekati seorang ibu. Kulihat Mbok Dinar mengatakan sesuatu. Ibu itu segera mengangkat wajah, menatapku, dan tersenyum sedikit. Matanya yang bersedih tak bisa disembunyikan oleh senyumnya. 

"Adi? Betul, kowe Adi to? Cerita panjangnya nanti saja. Pokoke, yang jelas, mengko arep ono jenazah teka, jenazah suami Ibu. Iyo. Kuwi jenazah Pak Supangat. Dia suami Ibu, tapi dia juga ayahmu. Kewajiban kamu, sebagai anak, adalah ikut memandikan jenazahnya," suara lembut Bu Supangat seketika menyuntikkan kebingungan di kepalaku. 

Kutengok kanan dan kiri, mencari-cari wajah Mbok Dinar. Dia ada di sudut. Dengan mataku, aku bertanya, "Iki opo? Apa ini?" Mbok Dinar mengibaskan tangan. Menyuruhku tetap di tempatku berdiri. 

"Mbok, ambilkan teh hangat," kata Bu Supangat pada salah satu pembantunya. Yang disuruh segera mengambil segelas minuman dan memberikannya padaku yang masih terpaku. 

"Bapakku? Meninggal?" hatiku mendadak kacau. Otakku seperti tidak berdaya berpikir apa-apa. Bapakku di rumah tadi sepertinya baik-baik saja. Lalu ini siapa? Mengapa? Lalu aku ingat raut wajah aneh ibuku ketika tadi menyuruhku mengikuti Mbok Dinar. 

Kurasa tepukan lembut di bahuku. Bu Supangat menggandengku, bersimpuh di karpet, lalu mendudukkan aku di sisinya. Aku tidak punya pilihan selain ikut duduk. Kulihat Ibu mengambil Al Quran. Dua buah. Satu dia serahkan padaku, satu lagi dia pangku, dibuka pada halaman tertentu. Kudengar dia mulai mengaji. Aku masih bingung, tapi seperti ada sesuatu yang menggerakkan, aku mulai ikut menggumamkan ayat demi ayat, dengan pikiran yang seolah tidak pada tempatnya.

(bersambung)

    

No comments: