Waktu aku lihat Mbok Dinar masuk rumah, setelah ibu
membukakan pintu, aku tidak berpikir ada sesuatu yang penting. Jadi, aku masuk
kamar dan mulai membereskan tas serta seragam sekolah untuk besok. Tapi, tak
lama, ibu mengetuk pintu kamarku.
"Adi... " Raut wajah ibu tampak aneh. Aku melihatnya antara sedih,
tapi juga cemas, meski kulihat ibu berusaha tetap tenang.
"Adi, kamu ikut Mbok Dinar ya. Ke rumah Bu Supangat.
Sekarang."
"Malam-malam begini?"
"Iya. Ikut saja. Kamu sudah ditunggu Bu Supangat."
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat sikap Ibu,
kusimpan pertanyaan itu di hati. Lagipula, ada perasaan bahwa aku sebaiknya
menurut saja. Jadi tak lama, aku sudah berjalan bersama Mbok Dinar, menyusuri
gang kampung yang hanya diterangi titik-titik lentera kecil di sana-sini. Kami
berdua membisu.
Rumah Bu Supangat adalah rumah besar yang terletak di
pinggir jalan utama. Halamannya luas. Sering kulihat Lik Tarjo, adik bapakku,
membereskan semak dan menebas ranting di halaman itu. Saat ini, di halaman ada
tenda putih yang besar. Tenda yang bagus. Tapi, mengapa suasananya begitu
muram?
Mbok Dinar menemaniku masuk ke rumah. Baru kali ini aku
masuk ke rumah yang begitu indah. Kursi-kursi besar yang tampak nyaman,
dipinggirkan menempel ke tembok, bersisian dengan lemari-lemari berpintu kaca
yang menyimpan banyak benda warna-warni. Sepertinya pajangan oleh-oleh dari luar
negeri, yang fotonya sering aku lihat di majalah. Lampu gantung yang mengilap
menambah keindahan ruangan. Gelaran karpet yang lebar-lebar memenuhi seluruh
lantai. Tampak empuk dan nyaman. Namun, seperti di luar, di dalam ruangan pun semuanya
tampak berduka.
Aku tidak punya waktu mengagumi ruangan itu lebih lama, juga
ruangan sebelahnya yang nampak lebih luas, karena Mbok Dinar yang memegang tanganku
mengajakku mendekati seorang ibu. Kulihat Mbok Dinar mengatakan sesuatu. Ibu
itu segera mengangkat wajah, menatapku, dan tersenyum sedikit. Matanya yang
bersedih tak bisa disembunyikan oleh senyumnya.
"Adi? Betul, kowe Adi to? Cerita panjangnya nanti saja.
Pokoke, yang jelas, mengko arep ono jenazah teka, jenazah suami Ibu. Iyo. Kuwi
jenazah Pak Supangat. Dia suami Ibu, tapi dia juga ayahmu. Kewajiban kamu,
sebagai anak, adalah ikut memandikan jenazahnya," suara lembut Bu Supangat
seketika menyuntikkan kebingungan di kepalaku.
Kutengok kanan dan kiri, mencari-cari
wajah Mbok Dinar. Dia ada di sudut. Dengan mataku, aku bertanya, "Iki opo?
Apa ini?" Mbok Dinar mengibaskan tangan. Menyuruhku tetap di tempatku
berdiri.
"Mbok, ambilkan teh hangat," kata Bu Supangat pada salah
satu pembantunya. Yang disuruh segera mengambil segelas minuman dan
memberikannya padaku yang masih terpaku.
"Bapakku? Meninggal?" hatiku mendadak kacau.
Otakku seperti tidak berdaya berpikir apa-apa. Bapakku di rumah tadi sepertinya
baik-baik saja. Lalu ini siapa? Mengapa? Lalu aku ingat raut wajah aneh ibuku
ketika tadi menyuruhku mengikuti Mbok Dinar.
Kurasa tepukan lembut di bahuku. Bu Supangat menggandengku,
bersimpuh di karpet, lalu mendudukkan aku di sisinya. Aku tidak punya pilihan
selain ikut duduk. Kulihat Ibu mengambil Al Quran. Dua buah. Satu dia serahkan
padaku, satu lagi dia pangku, dibuka pada halaman tertentu. Kudengar dia mulai
mengaji. Aku masih bingung, tapi seperti ada sesuatu yang menggerakkan, aku
mulai ikut menggumamkan ayat demi ayat, dengan pikiran yang seolah tidak pada
tempatnya.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment