Saturday, October 23, 2021

The Morning Glory

 Beberapa orang yang keluar dari mesjid usai sholat Subuh menganggukan kepala pada kami. 

"Bade tindak pundi, Bu?" seseorang menyapa kami dengan ramah. 

Ketika saya katakan bahwa kami sedang mencari tempat sembahyang, segera dia antar kami ke mesjid kecil. Satu-satunya di wilayah itu, bersebelahan dengan gereja. Dia tunjukkan pula tempat wudhu, dengan melepaskan sumbat yang tertempel di sebuah guci besar. Dia lalu mengatupkan tangan di dada, pamit.  

"Matur nuwun." 

Saya nikmati kesegaran pagi di tempat itu. Air wudhu yang membasuh kepala bisa mengusir kepenatan saya. Kesegaran udara memenuhi paru-paru saya. Selesai berdoa, kesunyian di ketinggian 1720 meter melingkupi saya. 

"Tempat ini luar biasa." Suaranya memecah hening. "Coba lihat ke luar. Kalau langit cerah, akan tampak bayangan gunung di sekitar. Ada enam. Atau tujuh, ya? You have to see, it is magical," tambahnya.

Saya kenakan alas kaki sebelum menyambut gandengan tangannya. Dia bimbing saya menuju jalur pendakian terdekat. Sebagai pecinta alam, kawasan di dalam Taman Nasional ini tentu ia akrabi.  

Betul katanya, pemandangan sekitar kampung kecil itu luar biasa mencengangkan. Matahari terbit mengantar sinar cemerlang ke langit. Pagi itu, saya melihat Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Telomoyo. Tiga lainnya tampak mengintip dari balik kabut yang perlahan pudar. 

"Tunggu sampai semua kabut terangkat...."

Ketika kami duduk di sebuah luasan tanah, menghadap salah satu gunung, matahari sudah naik seutuhnya. Seluruh gunung di sekitar kami menampakkan diri. Megah. Saya dengar dentang lonceng dari gereja di sebelah mesjid, menunggu jemaah ibadah Minggu. Gema lonceng terdengar hingga jauh. Gaung yang terbawa angin, meninggalkan suasana syahdu dalam kalbu. 


Friday, October 22, 2021

Puja

Kami baru selesai olah raga pagi. Hari Minggu selayaknya dihabiskan untuk bersantai sepuasnya sebelum besok kami harus kembali ke rutinitas kerja yang seolah tak berjeda. Hmm... mau makan siang apa ya enaknya? 

Saya baru saja hendak menyalakan televisi ketika dia keluar dari kamar. 

"Aku harus ke Timur." 
"Hari ini?"
"Puja kritis." 

Kekesalan mendadak hadir di hati saya mendengar nama itu. Setelah sudah cukup lama tidak terdengar, kenapa sekarang ada lagi? 

"Betul-betul harus?"
"Dia kritis, Mas. Rasanya...hmm... okay, mobilku baru minggu lalu dari bengkel. Mestinya aman dibawa sejauh 400 kilometer."
"Kamu menyetir?"
"Rasanya naik pesawat pun tidak akan mudah, Mas. Kalau berangkat sekarang dengan mobil, pukul 17 aku sudah ada di sana. Siapa tahu masih sempat...," dia tidak meneruskan kalimatnya. Saya lihat luka di sorotan matanya. 
"Ayo, saya antar." Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari bibir saya. Sekesal apa pun, tidak mungkin saya biarkan dia sendirian mengendarai mobil sejauh 459 kilometer. "Saya pulang sebentar, ambil baju ganti dan komputer jinjing. Ada meeting yang tidak bisa ditunda, besok bisa saya lakukan dari sana. Saya temani. Biar saya yang mengemudi."
"Kamu nggak harus...."
"Sudah. Kamu siap-siap saja. Saya antar. Tidak apa-apa. Sejam lagi saya kembali. Tapi maaf, kita harus pakai mobilmu karena mobil saya sudah waktunya servis. Kamu sudah hubungi Radya?"

Dia diam saja. Wajahnya bingung. Saya kecup pipinya. "Mudah-mudahan kita tidak terlambat."

Dia mengangguk. "Terima kasih," gumamnya. 

"Telepon Radya. Dia harus tahu kondisi ayahnya." Saya kecup lagi pipinya sebelum bergegas pulang mengambil keperluan saya. 

Satu jam kemudian, kami sudah melaju di jalan tol menuju Jawa Tengah. Kota-kota di Pulau Jawa seolah jadi dekat dengan adanya jalan tol ini. Perkiraan saya, sebelum senja kami akan tiba di kota tempat kelahiran Radya. 

"Apa kata Radya tadi?"
"Ya... dia nyaris tidak berkomentar. Kuduga dia tidak tahu harus bilang apa." 
"Yang penting dia sudah tahu."
"Aku malah merasa bersalah, jangan-jangan membuat dia memikirkan hal yang mungkin tidak penting buatnya." 
"Saya rasa Radya sudah cukup dewasa untuk bisa mengabaikan hal-hal yang menurutnya tidak perlu dia pikirkan."
"Selama ini, toh ayahnya tidak pernah ada dalam hidupnya. Apa bedanya ada atau tidak ada?"
"Dalam hal ini, saya harus sepakat dengan Radya."
"Tentang?"
"Puja mungkin tidak penting buat Radya, tapi dia tetap bagian dari masa lalu yang masih melingkupi kamu." 
"Ya...." 
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Saya paham." 

 

 

Thursday, October 21, 2021

Untukku

 "Ini. Calon profesor. Pinter laaah.... Kamu kan bawel kalau aku kenalin sama yang menurutmu tidak oke secara akademis... ha-ha-ha...."

Sambil tertawa, tangan Mitcha mengulurkan ponselnya. Tampak sesosok pria di layarnya. Lumayan tampan. 

"Hmm...."

"Kok cuma hmm.... Gimana, gimana?" Mitcha mengedip-ngedipkan matanya. 

"Single?"

"Iya dong! Makanya kukenalkan ke kamu. Sudah dua tahun istrinya wafat. Anaknya satu, perempuan. Masih balita."

"Sudah mau jadi profesor tapi punya balita?"

"Yaaa... bisa saja terlambat menikah karena terlalu asyik belajar."

"Umur berapa dia?"

"Hmm... 50? Ayolah... coba kenalan saja dulu. Tidak ada ruginya menambah teman." 

Mitcha tertawa lagi. 

"Pasrah aku, Mi." 

"Mau ya... mau ya... nanti aku berikan nomor ponselmu ke dia. Biar dia urus sendirilah. Masak sudah mau jadi profesor, beginian nggak bisa." 


***


Friday, October 15, 2021

Let Me Try

Saya sedang merapikan buku di rak buku panjang, ketika saya lihat mobil putih berhenti di ujung kampung. Mobil itu. Yang tiga tahun lalu sering menjemput saya dari kantor dan menjadi saksi kebahagiaan saya bisa bercakap-cakap dengan dia sepanjang perjalanan pulang. Ketika pemiliknya keluar, dunia saya seperti berhenti. Betul itu dia. Jangkung menjulang. Tampan. Berjalan mendekati rumah saya. Saya menyambutnya di pintu. 

"Tempatmu ini terkenal sekali di medsos!" 

Khas dia. Tidak pernah membuka percakapan dengan "halo" atau "apa kabar." 

Dia serahkan bunga di tangannya. "Beautiful flowers for beautiful lady," katanya sambil mengecup pipi saya. "Bau apa ini? Sepertinya enak." Lalu dia berjalan menuju lemari kaca. Di sana ada Anin, asisten saya, yang sedang memasukkan piring-piring berisi mangkuk makaroni yang baru matang. Saya beri kode pada Anin untuk melayani yang dia mau. 

"Saya mau cappucino. Hmm... saya mau itu juga, kelihatan lezat." Lalu dia bercakap-cakap dengan Anin sambil memilih topping donat, sementara saya mencari vas. Hati saya hangat. Dia belum lupa bahwa saya sangat suka mawar segar warna putih. 

Ketika saya kembali ke depan dengan vas yang penuh bunga, dia sudah duduk nyaman di salah satu meja dekat jendela. Di depannya, secangkir kopi, donat yang sudah digigit, dan buku yang terbuka. Sikapnya seperti sudah terbiasa melakukan itu. Ah... mungkin memang dia sudah terbiasa. Toh dia sering begitu. Dulu. Di dapur rumah saya di Jakarta. 

"Ini enak banget," dia mengacungkan jempol ketika melihat saya mendekat. Tangan yang satu menunjuk ke piring dan cangkirnya. 

"Terima kasih. Aku memang beruntung kenal Anin. Dia yang mengatur semua makanan dan minuman."

"Begitu foto-foto tempat ini beredar, saya langsung tahu, ini pasti milik kamu. Selamat ya. Kamu berhasil mewujudkan impianmu." 

Dia. Masih. Ingat. 

"How did you know it is mine? Rasanya tidak pernah ada namaku di mana-mana...." 
"Tahulaaahh.... Bentuk bangunannya. Warna interiornya. Dan buku-buku yang ada. Sepertinya mereka bisa mengatakan pada saya bahwa mereka itu pilihan kamu." 
"Gombal."
"Hahaha... kamu memang tidak pernah percaya pujian saya. Tapi, serius, kali ini kamu harus percaya bahwa ini enak sekali," lalu dia gigit donatnya. 

Dan begitu saja dia makan sambil bercerita tentang kesibukannya. Tentang tempat-tempat yang disinggahinya selama empat tahun belakangan. Dia ceritakan bahwa anjingnya yang saya kenal sudah wafat, lalu dia mengadopsi anjing lain dari tempat penampungan. 

Dia tidak berubah. Dia masih sama. 

Orang yang sama yang saya jatuhi cinta bertahun-tahun lalu. 



(Part 1)