Friday, October 22, 2021

Puja

Kami baru selesai olah raga pagi. Hari Minggu selayaknya dihabiskan untuk bersantai sepuasnya sebelum besok kami harus kembali ke rutinitas kerja yang seolah tak berjeda. Hmm... mau makan siang apa ya enaknya? 

Saya baru saja hendak menyalakan televisi ketika dia keluar dari kamar. 

"Aku harus ke Timur." 
"Hari ini?"
"Puja kritis." 

Kekesalan mendadak hadir di hati saya mendengar nama itu. Setelah sudah cukup lama tidak terdengar, kenapa sekarang ada lagi? 

"Betul-betul harus?"
"Dia kritis, Mas. Rasanya...hmm... okay, mobilku baru minggu lalu dari bengkel. Mestinya aman dibawa sejauh 400 kilometer."
"Kamu menyetir?"
"Rasanya naik pesawat pun tidak akan mudah, Mas. Kalau berangkat sekarang dengan mobil, pukul 17 aku sudah ada di sana. Siapa tahu masih sempat...," dia tidak meneruskan kalimatnya. Saya lihat luka di sorotan matanya. 
"Ayo, saya antar." Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari bibir saya. Sekesal apa pun, tidak mungkin saya biarkan dia sendirian mengendarai mobil sejauh 459 kilometer. "Saya pulang sebentar, ambil baju ganti dan komputer jinjing. Ada meeting yang tidak bisa ditunda, besok bisa saya lakukan dari sana. Saya temani. Biar saya yang mengemudi."
"Kamu nggak harus...."
"Sudah. Kamu siap-siap saja. Saya antar. Tidak apa-apa. Sejam lagi saya kembali. Tapi maaf, kita harus pakai mobilmu karena mobil saya sudah waktunya servis. Kamu sudah hubungi Radya?"

Dia diam saja. Wajahnya bingung. Saya kecup pipinya. "Mudah-mudahan kita tidak terlambat."

Dia mengangguk. "Terima kasih," gumamnya. 

"Telepon Radya. Dia harus tahu kondisi ayahnya." Saya kecup lagi pipinya sebelum bergegas pulang mengambil keperluan saya. 

Satu jam kemudian, kami sudah melaju di jalan tol menuju Jawa Tengah. Kota-kota di Pulau Jawa seolah jadi dekat dengan adanya jalan tol ini. Perkiraan saya, sebelum senja kami akan tiba di kota tempat kelahiran Radya. 

"Apa kata Radya tadi?"
"Ya... dia nyaris tidak berkomentar. Kuduga dia tidak tahu harus bilang apa." 
"Yang penting dia sudah tahu."
"Aku malah merasa bersalah, jangan-jangan membuat dia memikirkan hal yang mungkin tidak penting buatnya." 
"Saya rasa Radya sudah cukup dewasa untuk bisa mengabaikan hal-hal yang menurutnya tidak perlu dia pikirkan."
"Selama ini, toh ayahnya tidak pernah ada dalam hidupnya. Apa bedanya ada atau tidak ada?"
"Dalam hal ini, saya harus sepakat dengan Radya."
"Tentang?"
"Puja mungkin tidak penting buat Radya, tapi dia tetap bagian dari masa lalu yang masih melingkupi kamu." 
"Ya...." 
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Saya paham." 

 

 

No comments: