Saturday, February 27, 2016

Dia yang Peragu

Agak heran dgn satu laki2 yg mengaku sangat menyukai satu perempuan, tapi lalu tidak mau menghubungi perempuan itu. Dia tidak mau mencoba mengirim pesan, atau apa pun, karena alasan yang menurut gue absurd: takut ditolak. 

Kenapa takut ditolak? 

Satu, kan belum tentu ditolak? Dua, bagaimana tahu akan ditolak, seandainya tidak pernah mencoba mendekati? Tiga, at least you try!!! Damn! 

Diskusi tentang ini, sampai hari ini (sejak kemarin perjalanan dari Jkt-Bandung) belum selesai juga. 

Yg perempuan2 gemes kenapa si cowok begitu defensif, dgn alasan "aku ini pemalu." Dia bertahan nggak mau kirim pesan atau telepon. Pdh dari tadi pagi gelisah luar biasa, kerjanya jd lucu lucu ganggu minta dikitik pakai pisau daging. 

Segitu takutnya? 

Memang... sebetulnya, siapa sih yang mau ditolak? Tp rasanya ketakutan yang sampai segitunya nggak mau menghubungi sama sekali kok terlihat spt dungu. Untuk perempuan nggak sabaran seperti gue, sikap yg takut ditolak lalu jadi bloon ini sangat mengesalkan. Buat gue, ada hal2 yg nggak bisa selesai dengan sendirinya... ada hal2 yg hrs diberesin supaya kelar.... Dan orang2 yg nyari alasan ini itu untuk tidak beresin masalah adalah orang2 yg nggak bangeeeeetttt....

Inilah juga bedanya Mars & Venus. Mungkin? 

At least now I understand if he may do similar thing. Huh.

Monday, February 22, 2016

For Always

I close my eyes
And there in the shadows, I see your light
You come to me out of my dreams 
Across the night

You take my hand 
Though you may be so many stars away
I know that our spirits and souls are one
We've circled the moon 
And we've touched the sun
So here we'll stay
 
For always, forever
Beyond here
And on to eternity

For always, forever
For us there's no time and no space
No barrier love won't erase
Wherever you go, I still know
In my heart you will be 
With me

From this day on 
I'm certain that I'll never be alone
I know what my heart must have always known
That love has a power that's all its own

And for always, forever
Now we can fly
 
And for always and always
We will go on beyond goodbye

For always, forever
Beyond here and on to eternity 
For always and ever
You'll be a part of me
And for always, forever
A thousand tomorrows may cross the sky
And for always and always
We will go on beyond goodbye

(Josh Groban) 


For you. Who will always be here. Forever. And always.
You know who you are. 

Monday, February 15, 2016

Missing Who?

- Rasanya kok suntuk.
- Kurang kerjaan? Banyak kerjaan? Kurang makan? Kurang tidur?
- No. Kangen kamu.


*jreng* *tadinyabawelbangettruslangsungkuncup*

Wednesday, February 10, 2016

The Short Story



Jejak Sang Petualang

Aku tidak pernah mencari ayah. Tapi toh, aku menemukannya.
Sejauh ingatanku, hanya ada aku dan Ibu. Sempat ada eyang putri. Tapi saat aku berumur tujuh tahun, eyang putri meninggal dunia. Aku ingat mengantar jenazah beliau ke sebuah makam di Salatiga. Semua orang menangis. Beberapa saudara memeluk erat Ibu dan menepuk bahuku. Tetangga bergantian datang , melakukan pengajian. Tiga hari. Tujuh hari. Sebulan. 100 hari setelah eyang putri dimakamkan, Ibu menjual rumah eyang lalu pindah ke Jakarta. 

Sejak itu, kami hanya berdua. Kami pindah ke sebuah kompleks kecil. Ini perumahan yang aman, dilengkapi satpam yang bergantian menjaga gerbang. Jadi bisa dibilang ada yang menjaga kami 24 jam.
Aku ingat Ibu memulai kariernya dengan bekerja di sebuah majalah perempuan. Setiap pagi aku diantar ke sekolah, lalu pulang naik mobil jemputan. Di rumah, ada bibi tukang cuci yang menemaniku sampai Ibu pulang. Ibu mendidikku dengan tegas dan tertib. Dan bibi pun mematuhi perintah Ibu untuk mengawasiku mengerjakan PR, makan,  dan mandi, dengan rapi dan teratur. Tidak hanya teratur, bibi memastikan aku mengerjakan semuanya tepat waktu. 

Ibu dengan segala upaya mengajariku menjadi laki-laki serba bisa. Tak hanya sekadar membereskan tempat tidur, tapi juga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan ketika beliau perlu seseorang untuk disuruh ke pasar atau menyetor uang ke bank. Saat aku berusia sembilan, disuruhnya aku memperhatikan tukang listrik, agar tahu cara mengganti bohlam yang putus. Lalu aku juga ikut tukang kebun belanja tanah dan batu, untuk mempercantik taman kecil di rumah kami. Ketika libur sekolah, saat Ibu tak harus ke kantor, ia mengajakku ke pasar, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku diajari menawar belanjaan. Sesekali Ibu membekaliku uang, menyuruhku belanja ini itu, tak lupa dengan pesan, "Catat semua pengeluaran." Akhirnya aku pun paham pembukuan sederhana.  

Berkat Ibu, aku bisa menangani segala hal. Memasak. Membersihkan rumah. Mengatur uang. Kemudian setelah lebih besar: mengemudi. Dan tentu saja bersekolah dengan lancar. Sekali aku bertanya pada Ibu tentang ayah. Jawabnya, "Ayahmu adalah petualang yang hilang dalam perjalanan." Wajah Ibu nampak sangat tertekan saat mengatakannya. Sejak itu, kuputuskan untuk tak bertanya-tanya lagi. 

Seiring naiknya karier ibu, tugasnya makin banyak.  Ibu sering luar kota, meninggalkanku berhari-hari. Saat itu, aku sudah duduk di bangku SMP. Ibu menasehati bermacam-macam, terutama soal keamanan di rumah. Saat demikian, bibi tukang cuci akan bermalam. Tukang kebun juga tetap datang secara rutin. Aku akhirnya terbiasa mengatur rumah. Termasuk tepat waktu memberikan gaji bibi dan tukang kebun,  jika tanggal gajian bertepatan dengan Ibu masih di luar kota. Saat itu usiaku lima belas tahun, tapi aku sudah bisa mengurus diriku sendiri. Berangkat sekolah. Pergi pulang ke tempat les biola naik ojek. Sibuk di dapur. Belajar. Semua beres, sesuai didikan Ibu. 

***

Sejak aku ulang tahun ke tujuh belas, Ibu keluar masuk rumah sakit. Berkali-kali aku dikejutkan berita bahwa beliau tak sadarkan diri saat di kantor, lalu dilarikan ke rumah sakit. Sekali ia kutemukan terduduk lemas di meja dapur. Kali lain terjatuh di kamar mandi. Aku tak sempat panik. Ibu mendidikku dengan benar hingga saat melihat Ibu sakit, aku bisa segera menghubungi rumah sakit, meminta ambulance (nomor teleponnya sudah ditempel oleh Ibu di dinding dekat pesawat telepon).  

Pemandangan sama selalu terjadi saat pulang dari rumah sakit. Wajah Ibu pucat tapi bahagia melihat rumahnya tetap tertata, seolah ia tak pernah pergi. Aku yang menjaga agar semua tetap rapi. Lalu Ibu mengelus kepalaku. "Aku bangga. Kamu memang anakku," bisiknya pelan.
Aku cium pipinya. Dan Ibu tertawa tanpa suara. "Rumah ini memang tak berubah tatanannya, Ibu. Tapi Ibu jangan pergi lama-lama. Aku kangen lihat Ibu berangkat dan pulang dari kantor. Kalaupun aku bisa masak sendiri, tapi masakan Ibu tetap yang paling lezat di dunia," sahutku. Selalu begitu. 

Ibu lagi-lagi pasti tertawa. Tangannya terbentang lebar, mengundangku ke pelukannya. Kami akan berpelukan. Lama sekali. Demikian berulang-ulang. 

Sekali waktu, saat aku SMA, Ibu masuk rumah sakit saat pembagian rapor di sekolah. Ketika aku menunjukkan raporku, Ibu sempat tercenung. 

"Siapa yang mengambilkan?"
"Ayah Manda."
"Siapa Manda?" senyum Ibu terlihat menggoda.
"Nanti juga Ibu akan kenal," aku merasa pipiku merah. 

Senyum Ibu makin lebar. Ia pasti tahu bahwa Manda adalah teman spesial. 

Sejak itu, Manda kadangkala datang menemani Ibu. Apakah kami berpacaran? Ya. Tapi tidak lama. Kami lebih nyaman berteman saja. Manda menjadi sahabat terbaik di dunia. Dan menjadi semacam kurator untuk gadis-gadis yang kukencani. Dia memang lebih cocok menjadi saudaraku.  Ibu pun senang karena seperti mempunyai anak perempuan yang datang mengunjunginya sekali waktu.

Ibu masih tetap menjadi pelanggan rumah sakit. Kadang kutemani, kadang bersama Manda.   
Dua hari setelah aku berulang tahun ke-23, aku yang hendak berangkat bekerja mendapati Ibu tak bisa dibangunkan. Tubuhnya dingin, wajahnya memutih, tapi bibirnya tersenyum. Seketika aku tahu, Ibu benar-benar pergi. Setelah enam tahun, kanker itu mengalahkannya.  

***

Ibu telah tiada, tapi hidupku berjalan terus. 

Hampir setahun setelah Ibu meninggal, bersama Manda kubongkar kamar Ibu, berniat menyumbangkan baju-bajunya ke rumah jompo. Sepatu dan tas juga pasti bisa dimanfaatkan penghuni penampungan. Ibu pasti setuju. Terutama, aku tak ingin tenggelam lama-lama dalam kenangan yang menyedihkan gara-gara melihat barang-barang Ibu yang masih ada di mana-mana. Aku ingin mengingat Ibu dengan gembira, melalui kenangan-kenangan di hatiku saja. 

"Aku kagum, kamu tabah sekali menerima kenyataan kehilangan Ibu," kata Manda sambil melipat setumpuk baju dan memasukkannya ke dalam koper. "Kamu tegar."
"Ibu yang mendidikku seperti ini," jawabku. "Jujur, kadangkala aku tak tahu bedanya antara tegar, atau tidak berperasaan."

Manda menatapku heran. Tapi aku tak sempat memperhatikannya. Aku sedang memanjat kursi untuk menjangkau sisi atas lemari, agar bisa mengeluarkan setumpuk kotak dari sana. Entah apa saja yang disimpan Ibuku selama hidupnya. Satu per satu kotak itu kubuka. Ada sepatu. Ada yang berisi foto-fotoku saat bayi. Ada yang berisi surat-surat tagihan lama. Satu kotak agak besar menarik perhatianku. Tidak seperti kotak lain yang bekas sepatu, kotak ini tampak istimewa, meski telah usang.  Hatiku berdesir ketika membukanya. 

"Apa itu?" tanya Manda. Ia tentu melihat perubahan raut wajahku.
"Ini surat-surat ayah, untuk Ibu."

***

Akhirnya aku menemukanmu, Ayah.

Di antara surat-surat yang dikirim ayahku untuk Ibu, terdapat secarik pemberitahuan duka cita. Alamat di pemberitahuan tersebut membawakau ke pemakaman ini. 

Di salah satu nisan, terbaca nama: Ryan Andika. Meninggal 2003. Nama belakangnya sama seperti nama belakangku, Andika. Aku usap rumput hijau yang melapisi makam itu. Nampak terawat dan subur. Syukurlah makam ayah tidak tersia-sia. Dan ternyata petualangan yang menghilangkan nyawa ayah tidak seperti yang kubayangkan selama ini. Ia bukan hilang di laut, atau diserang binatang buas kala di hutan. Bukan begitu ceritanya. Dari surat-surat itu, aku paham bahwa cinta ayah dan Ibu tak bisa bersatu. 

"Halo, kamu siapa?" sebuah suara ceria menyapaku, membuyarkan lamunanku tentang ayah. Pemilik suara ternyata seorang anak perempuan lucu berbaju warna merah dan kuning. Rambutnya dikuncir dua.
"Maafkan. Dia tidak bermaksud mengganggu," seorang Ibu muda menarik tangan anak itu. Wajah mereka mirip, pasti ibunya.
"Om siapa? Kenapa ada di makam kakek?" anak itu masih bertanya.
Kakek?
"Ini makam ayah saya," tutur sang ibu. Matanya mengamatiku lekat-lekat. "Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?" 

Seorang ibu paruh baya yang berlindung di bawah payung tampak berjalan di belakang mereka. Aku seketika bisa menebak. Merekalah yang beberapa kali diceritakan Ayah di surat-surat untuk Ibu. 

"Ia ayah saya juga," suaraku tercekat di tenggorokan. "Saya Rudy Andika." 

Nyata-nyata ia terkejut, sebelum berbisik sangat pelan, "Saya Desiana Andika." 

Ibu yang memegang payung sekarang ada di hadapanku, terpaku tak bisa berkata-kata, menatap wajahku yang juga membisu. Aku tahu, ia pasti terkejut melihatku. Berulang kali Ibu mengatakan aku sangat mirip dengan ayah di masa muda. 

Ah Ayah, bukan saja aku menemukanmu, tapi aku juga menemukan keluargamu. Merekalah yang tak kau tinggalkan meski dalam perjalanan hidupmu kau bertemu lalu jatuh cinta pada Ibu. 


(Dimuat di salah satu Majalah Femina yang terbit pada Desember 2015)  

Tuesday, February 09, 2016

Over Flowing

So, I date the man I used to avoid dating.

Kenapa dulu gue nggak mau? Krn dia sangat sangat kekanak-kanakan. Menurut gue. Dan tentunya gue nggak mau kerusuhan lain setelah gue gonjang ganjing sama anak gue kan?

Tp setelah sekian tahun berlalu, entah apa yg membuat gue mau mencoba lagi dating that man. I ended up having a very good time.

Apakah dia skrg menjadi lebih dewasa? Nope. Dia masih tetap kanak2. Masih tetap seperti anak gue. Mungkin yg berbeda adalah cara gue menghadapi dia. Tiba2 gue spt punya kesabaran lebih menghadapi satu anak lagi di luar rumah. Entah kenapa kok gue mau2 aja ngurusin ini itu. Hmmm....

And I enjoyed every minute I spent with him.

Gue jd cemas. Beberapa waktu lalu gue pernah ngobrol sama seorang teman tentang kebutuhan batiniah. Bahwa dia pernah merasa hrs servis orang lain. Dan itu membuat dia happy. Tanpa perlu balasan apa2 dari orang itu. Jangan2 gue lagi di tahap spt teman itu?

Gue terlalu "penuh" sehingga perlu penyaluran. Meskipun artinya gue hrs ngurusin ini itu, gue tetap senang. Krn memang "ngurus ini itu" adalah yg gue butuhkan.

Tiba2 gue merasa aneh.

Thursday, February 04, 2016

Cinta... Yang Pelik

Penemuan gue tentang "orang hilang" tempo hari ternyata berlanjut ke penemuan pengumuman lain. Intinya si orang hilang itu meninggalkan banyak tunggakan ini itu, yg merepotkan the spouse & family.

Yg mencuri perhatian gue adalah diksi yang digunakan mbak mistress. Pilihan katanya kasar, nggak sabaran, dan emosional. Nggak menunjukkan ada sisa2 cinta. Padahal dulu waktu "merebut" kayaknya kok cinta bener nggak bisa dipisahkan lagi. Okay, memang dulu sih ada kecurigaan bahwa she was only after his money. Dan yaaaa... uang itu kan bisa cepat sekali menguap kayak kentut. Mungkin bener juga setelah semua habis, cintanya jg habis. Atau lebih parah lagi, sebetulnya nggak ada cinta?

Pernikahan memang pelik ya. Salah satu sepupu yang baru dinikahi duda, menurut nyokap skrg sedang bermasalah. Masalahnya itu... kalau diurutin lagi... sumbernya adalah si duda yang tdk berpenghasilan (lagi) krn sudah pensiun. Pdh waktu pertama dikenalin, si mas ini dibilang berkedudukan bagus di kantornya, punya ini itu. Nah, ternyata ini itu hanya bisa "dinikmati" beberapa saat. Kira2 dua bulan setelah menikah, si mas pensiun. Akhirnya mbak gue kembali ke gonjang ganjing hidup dia, mondar mandir banting tulang mencari nafkah, seperti dulu.

Ya nggak pa pa sih kalau memang hrs kerja keras. Kan demi keluarga juga ya. Tp lagi2, tergantung motivasi menikahnya juga. Kalau memang cinta bener, mau kyk apa ya diterima aja. Kan sdh cinta? Kalau dulu mbak gue melihat si mas sbg safety net, the way out, dari masalah finansial... hmm... ya ambyarlah semua. Mungkin dia menyesal juga krn skrg tnyt hidupnya nggak lebih menyenangkan dibanding ketika single dulu.... Duh, kasihan.

Semalam, di tengah2 meeting kece badai yang sampai malam banget, salah satu bos nyeletuk ke kami2 para kroco pilek yg ngantuk2, "You guys... stay single. If I can turn back time, I will rethinking of getting married."

Kesambet apaaaa lagi si bos ini. Mungkin dia lagi berantem sm suaminya ya? Hahahaha... Pernikahan dia memang ga lazim. Kalau org LDR waktu pacaran, doi LDR hingga setelah kawin. Skrg suaminya masih di Jerman. Lha trus kanggo opo? Embuh. Gue nggak membayangkan ada orang yang mau menikah tp jauh2an (banget). Kalau sekadar weekend couple aja (Jkt-Bandung gitu), masih okelah....

Tapi, mungkin si bos ini merasa suaminya belahan jiwa? Yg kalau nggak ada, dia bisa mati? Ada benarnya juga ya kalau dibilang bhw: menikahlah dgn orang yg kau tak bisa hidup tanpanya. Eh, tp kan dia nggak hidup bareng? Ah embuh.

Tp gue setuju sih, untuk menikah hanya dengan orang yang kau tak bisa hidup tanpanya. Karena dgn begitu, menikah jadi harus, kalau nggak: mati.

Ketika diancam mati, pasti akan mengusahakan bareng terus, sampai bagaimana pun, dgn cara apa pun. Ya kan?


Tuesday, February 02, 2016

A Warning

Don't fall in love with a woman who reads, a woman who feels too much, a woman who writes. Don't fall in love with an educated, magical, delusional, crazy woman. Don't fall in love with a woman who thinks, who knows what she knows and also knows how to fly; a woman sure of herself.

Don't fall in love with a woman who laughs or cries making love, knows how to turn her spirit into flesh; let alone one that loves poetry (these are the most dangerous), or spends half of hour contemplating a painting and isn't able to live without music.

Don't fall in love with a woman who is interested in politics and is rebellious and feel a huge horror from injustice. One who does not like to watch television at all. Or a woman who is beautiful no matter the features or her face or her body.

Don't fall in love with a woman who is intense, entertaining, lucid and irreverent. Don't wish to fall in love with a woman like that.

Because when you fall in love with a woman like that, whether she stays with you or not, whether she loves you or not, from a woman like that, you never come back.

(Martha Rivera-Garrido)

Monday, February 01, 2016

Polisi

Seumur-umur baru tadi pagi masuk ke Polda Metro, keluyuran di dalamnya. Ketemu pak Humas (yg ganteng) dan ngobrol ini itu.

Yg menarik adalah melihat gerombolan reserse dgn seragam khusus: celana khaki dan polo shirt turn back crime. Keren. Untung bisa menahan diri nggak ngajak mereka wefie.

Ini postingan maha penting deh ah. Hahahaha....