Wednesday, February 10, 2016

The Short Story



Jejak Sang Petualang

Aku tidak pernah mencari ayah. Tapi toh, aku menemukannya.
Sejauh ingatanku, hanya ada aku dan Ibu. Sempat ada eyang putri. Tapi saat aku berumur tujuh tahun, eyang putri meninggal dunia. Aku ingat mengantar jenazah beliau ke sebuah makam di Salatiga. Semua orang menangis. Beberapa saudara memeluk erat Ibu dan menepuk bahuku. Tetangga bergantian datang , melakukan pengajian. Tiga hari. Tujuh hari. Sebulan. 100 hari setelah eyang putri dimakamkan, Ibu menjual rumah eyang lalu pindah ke Jakarta. 

Sejak itu, kami hanya berdua. Kami pindah ke sebuah kompleks kecil. Ini perumahan yang aman, dilengkapi satpam yang bergantian menjaga gerbang. Jadi bisa dibilang ada yang menjaga kami 24 jam.
Aku ingat Ibu memulai kariernya dengan bekerja di sebuah majalah perempuan. Setiap pagi aku diantar ke sekolah, lalu pulang naik mobil jemputan. Di rumah, ada bibi tukang cuci yang menemaniku sampai Ibu pulang. Ibu mendidikku dengan tegas dan tertib. Dan bibi pun mematuhi perintah Ibu untuk mengawasiku mengerjakan PR, makan,  dan mandi, dengan rapi dan teratur. Tidak hanya teratur, bibi memastikan aku mengerjakan semuanya tepat waktu. 

Ibu dengan segala upaya mengajariku menjadi laki-laki serba bisa. Tak hanya sekadar membereskan tempat tidur, tapi juga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan ketika beliau perlu seseorang untuk disuruh ke pasar atau menyetor uang ke bank. Saat aku berusia sembilan, disuruhnya aku memperhatikan tukang listrik, agar tahu cara mengganti bohlam yang putus. Lalu aku juga ikut tukang kebun belanja tanah dan batu, untuk mempercantik taman kecil di rumah kami. Ketika libur sekolah, saat Ibu tak harus ke kantor, ia mengajakku ke pasar, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku diajari menawar belanjaan. Sesekali Ibu membekaliku uang, menyuruhku belanja ini itu, tak lupa dengan pesan, "Catat semua pengeluaran." Akhirnya aku pun paham pembukuan sederhana.  

Berkat Ibu, aku bisa menangani segala hal. Memasak. Membersihkan rumah. Mengatur uang. Kemudian setelah lebih besar: mengemudi. Dan tentu saja bersekolah dengan lancar. Sekali aku bertanya pada Ibu tentang ayah. Jawabnya, "Ayahmu adalah petualang yang hilang dalam perjalanan." Wajah Ibu nampak sangat tertekan saat mengatakannya. Sejak itu, kuputuskan untuk tak bertanya-tanya lagi. 

Seiring naiknya karier ibu, tugasnya makin banyak.  Ibu sering luar kota, meninggalkanku berhari-hari. Saat itu, aku sudah duduk di bangku SMP. Ibu menasehati bermacam-macam, terutama soal keamanan di rumah. Saat demikian, bibi tukang cuci akan bermalam. Tukang kebun juga tetap datang secara rutin. Aku akhirnya terbiasa mengatur rumah. Termasuk tepat waktu memberikan gaji bibi dan tukang kebun,  jika tanggal gajian bertepatan dengan Ibu masih di luar kota. Saat itu usiaku lima belas tahun, tapi aku sudah bisa mengurus diriku sendiri. Berangkat sekolah. Pergi pulang ke tempat les biola naik ojek. Sibuk di dapur. Belajar. Semua beres, sesuai didikan Ibu. 

***

Sejak aku ulang tahun ke tujuh belas, Ibu keluar masuk rumah sakit. Berkali-kali aku dikejutkan berita bahwa beliau tak sadarkan diri saat di kantor, lalu dilarikan ke rumah sakit. Sekali ia kutemukan terduduk lemas di meja dapur. Kali lain terjatuh di kamar mandi. Aku tak sempat panik. Ibu mendidikku dengan benar hingga saat melihat Ibu sakit, aku bisa segera menghubungi rumah sakit, meminta ambulance (nomor teleponnya sudah ditempel oleh Ibu di dinding dekat pesawat telepon).  

Pemandangan sama selalu terjadi saat pulang dari rumah sakit. Wajah Ibu pucat tapi bahagia melihat rumahnya tetap tertata, seolah ia tak pernah pergi. Aku yang menjaga agar semua tetap rapi. Lalu Ibu mengelus kepalaku. "Aku bangga. Kamu memang anakku," bisiknya pelan.
Aku cium pipinya. Dan Ibu tertawa tanpa suara. "Rumah ini memang tak berubah tatanannya, Ibu. Tapi Ibu jangan pergi lama-lama. Aku kangen lihat Ibu berangkat dan pulang dari kantor. Kalaupun aku bisa masak sendiri, tapi masakan Ibu tetap yang paling lezat di dunia," sahutku. Selalu begitu. 

Ibu lagi-lagi pasti tertawa. Tangannya terbentang lebar, mengundangku ke pelukannya. Kami akan berpelukan. Lama sekali. Demikian berulang-ulang. 

Sekali waktu, saat aku SMA, Ibu masuk rumah sakit saat pembagian rapor di sekolah. Ketika aku menunjukkan raporku, Ibu sempat tercenung. 

"Siapa yang mengambilkan?"
"Ayah Manda."
"Siapa Manda?" senyum Ibu terlihat menggoda.
"Nanti juga Ibu akan kenal," aku merasa pipiku merah. 

Senyum Ibu makin lebar. Ia pasti tahu bahwa Manda adalah teman spesial. 

Sejak itu, Manda kadangkala datang menemani Ibu. Apakah kami berpacaran? Ya. Tapi tidak lama. Kami lebih nyaman berteman saja. Manda menjadi sahabat terbaik di dunia. Dan menjadi semacam kurator untuk gadis-gadis yang kukencani. Dia memang lebih cocok menjadi saudaraku.  Ibu pun senang karena seperti mempunyai anak perempuan yang datang mengunjunginya sekali waktu.

Ibu masih tetap menjadi pelanggan rumah sakit. Kadang kutemani, kadang bersama Manda.   
Dua hari setelah aku berulang tahun ke-23, aku yang hendak berangkat bekerja mendapati Ibu tak bisa dibangunkan. Tubuhnya dingin, wajahnya memutih, tapi bibirnya tersenyum. Seketika aku tahu, Ibu benar-benar pergi. Setelah enam tahun, kanker itu mengalahkannya.  

***

Ibu telah tiada, tapi hidupku berjalan terus. 

Hampir setahun setelah Ibu meninggal, bersama Manda kubongkar kamar Ibu, berniat menyumbangkan baju-bajunya ke rumah jompo. Sepatu dan tas juga pasti bisa dimanfaatkan penghuni penampungan. Ibu pasti setuju. Terutama, aku tak ingin tenggelam lama-lama dalam kenangan yang menyedihkan gara-gara melihat barang-barang Ibu yang masih ada di mana-mana. Aku ingin mengingat Ibu dengan gembira, melalui kenangan-kenangan di hatiku saja. 

"Aku kagum, kamu tabah sekali menerima kenyataan kehilangan Ibu," kata Manda sambil melipat setumpuk baju dan memasukkannya ke dalam koper. "Kamu tegar."
"Ibu yang mendidikku seperti ini," jawabku. "Jujur, kadangkala aku tak tahu bedanya antara tegar, atau tidak berperasaan."

Manda menatapku heran. Tapi aku tak sempat memperhatikannya. Aku sedang memanjat kursi untuk menjangkau sisi atas lemari, agar bisa mengeluarkan setumpuk kotak dari sana. Entah apa saja yang disimpan Ibuku selama hidupnya. Satu per satu kotak itu kubuka. Ada sepatu. Ada yang berisi foto-fotoku saat bayi. Ada yang berisi surat-surat tagihan lama. Satu kotak agak besar menarik perhatianku. Tidak seperti kotak lain yang bekas sepatu, kotak ini tampak istimewa, meski telah usang.  Hatiku berdesir ketika membukanya. 

"Apa itu?" tanya Manda. Ia tentu melihat perubahan raut wajahku.
"Ini surat-surat ayah, untuk Ibu."

***

Akhirnya aku menemukanmu, Ayah.

Di antara surat-surat yang dikirim ayahku untuk Ibu, terdapat secarik pemberitahuan duka cita. Alamat di pemberitahuan tersebut membawakau ke pemakaman ini. 

Di salah satu nisan, terbaca nama: Ryan Andika. Meninggal 2003. Nama belakangnya sama seperti nama belakangku, Andika. Aku usap rumput hijau yang melapisi makam itu. Nampak terawat dan subur. Syukurlah makam ayah tidak tersia-sia. Dan ternyata petualangan yang menghilangkan nyawa ayah tidak seperti yang kubayangkan selama ini. Ia bukan hilang di laut, atau diserang binatang buas kala di hutan. Bukan begitu ceritanya. Dari surat-surat itu, aku paham bahwa cinta ayah dan Ibu tak bisa bersatu. 

"Halo, kamu siapa?" sebuah suara ceria menyapaku, membuyarkan lamunanku tentang ayah. Pemilik suara ternyata seorang anak perempuan lucu berbaju warna merah dan kuning. Rambutnya dikuncir dua.
"Maafkan. Dia tidak bermaksud mengganggu," seorang Ibu muda menarik tangan anak itu. Wajah mereka mirip, pasti ibunya.
"Om siapa? Kenapa ada di makam kakek?" anak itu masih bertanya.
Kakek?
"Ini makam ayah saya," tutur sang ibu. Matanya mengamatiku lekat-lekat. "Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?" 

Seorang ibu paruh baya yang berlindung di bawah payung tampak berjalan di belakang mereka. Aku seketika bisa menebak. Merekalah yang beberapa kali diceritakan Ayah di surat-surat untuk Ibu. 

"Ia ayah saya juga," suaraku tercekat di tenggorokan. "Saya Rudy Andika." 

Nyata-nyata ia terkejut, sebelum berbisik sangat pelan, "Saya Desiana Andika." 

Ibu yang memegang payung sekarang ada di hadapanku, terpaku tak bisa berkata-kata, menatap wajahku yang juga membisu. Aku tahu, ia pasti terkejut melihatku. Berulang kali Ibu mengatakan aku sangat mirip dengan ayah di masa muda. 

Ah Ayah, bukan saja aku menemukanmu, tapi aku juga menemukan keluargamu. Merekalah yang tak kau tinggalkan meski dalam perjalanan hidupmu kau bertemu lalu jatuh cinta pada Ibu. 


(Dimuat di salah satu Majalah Femina yang terbit pada Desember 2015)  

No comments: