Wednesday, January 27, 2021

Berhak Bahagia

Seorang teman sedang menyelesaikan perceraian. Urusan sidang cerai beres, sekarang dilanjutkan dengan sidang pisah harta. Menikah 20 tahun lebih, tentu banyak yg harus dibagi. Saya hanya bisa mendoakan agar semua segera usai. Amin.

Saya pernah mengalami gonjang ganjing serupa, sekitar 16 tahun lalu. Saya yg sangat benci konflik, berupaya melakukannya macam operasi senyap, tanpa suara berusaha meminimalkan huru hara dengan mengondisikan ayahnya Aria menandatangani kesepakatan perceraian. Kami memang tidak punya harta benda yang layak diperebutkan. Yang penting, hak asuh Aria harus jadi milik saya. Dengan surat kesepakatan itu, hakim pengadilan tidak bisa banyak intervensi. Kalau pasangan sdh bulat tekad hendak bercerai, mau didamaikan dari sisi mana pun juga tidak akan bisa. Di kemudian hari, saya sangat bersyukur mencantumkan perihal hak asuh di dalam tuntutan perceraian sehingga pasal itu pun ada di akta cerai. Krn tanpa itu, saya akan diharuskan punya izin tertulis untuk hal-hal terkait Aria. 

Perceraian memang tidak pernah jadi perkara mudah. Ketika secara hukum semua sudah beres, bisa saja masih ada hal di luar itu yg harus diselesaikan. Yang paling sulit tentu menyangkut perasaan,  sesuatu yg intangible. Rasanya pengen garuk-garuk aspal tiap selesai sidang. Atau ngrawus hidung mantan saat dicecar pertanyaan hakim. Bahkan yang proses hukumnya berlangsung adem ayem pun, di dalam hatinya nggak tahu kan.... 

Saya baru merasa nyaman menghubungi (dan dihubungi) keluarga mantan setelah sekitar 10 tahun berpisah. Sebelumnya, selalu ada bayang-bayang entah apa, yang membuat saya resah justru karena pernah menjadi bagian keluarga. Meskipun tiap tahun saya akan berkunjung saat lebaran, saya tidak akan bisa berlama-lama di sana. Rasanya tidak ada posisi yang pas untuk saya di antara mereka, bahkan untuk anak saya yang punya hubungan darah dengan mereka. Kenyataan bahwa foto pernikahan saya masih terpasang gagah di salah satu rumah, ikut memengaruhi rasa campur aduk ini. 

Setelah 10 tahun, anak saya bisa memahami situasi ayah dan ibunya. Saya minta dia memilih, mau tersambung atau tidak? Mau berkomunikasi atau tidak? Dia sudah cukup besar untuk bisa melakukan apa-apa sendiri, saya tidak perlu lagi jadi perantara. Kalaupun ia ingin berkunjung, saya bisa menyediakan kendaraan dan supir untuk mengantarnya. Kalau tidak, ya sudah. Ternyata Aria memilih yang terakhir. Dia tidak butuh keluarga selain yg membesarkannya. Saya mungkin perlu merasa beruntung bahwa secara finansial kami memang merdeka. Tidak ada campur tangan sedikit pun dari pihak ayahnya. Sehingga ketika Aria memutuskan untuk tidak lagi terkoneksi dengan keluarga ayahnya, saya seperti terbebas dari beban. Plong. 

Pengalaman itulah yang membuat saya mudah berempati pada para ibu yang baru saja bercerai. Ada hal yang sulit dipahami oleh mereka yang tidak mengalami. Kondisi hati perempuan yang ditinggal menikah lagi dengan yang ditinggal meninggal pun berbeda. Sama-sama sedih, tapi dalam spektrum yang tidak sama. Jadi memang komunitas ibu tunggal menjadi tempat tepat untuk curhat. Tidak akan ada yang menghakimi. Kami semua akan saling menyediakan telinga. 

Sebelum ini, saya tidak pernah terlibat dalam komunitas apa pun. Tapi di komunitas Ibu Tunggal Indonesia ini, saya seperti terpanggil untuk bertahan dan kadangkala ikut berperan. Banyak yang butuh bantuan. Dari mulai pertolongan melaporkan KDRT pada polisi, hingga sesederhana membelikan kado ulang tahun untuk anak yang baru saja kehilangan bapak. 

Program empowerment juga macam-macam. Meskipun belum skala besar, beberapa kelas sudah terlaksana, membekali para ibu tunggal kemampuan untuk mencoba mandiri. Misalnya sebagai pengusaha makanan atau penulis.

Yang membanggakan adalah ketika ada ibu yang dulu pernah terpuruk, sekarang bisa tegak berdiri menjadi tonggak kuat bagi anaknya. Salah satunya pernah menelepon saya di pagi buta, suaranya dilatarbelakangi deru air sungai. Saat itu, dia sudah berencana hendak terjun, bunuh diri. Kami lalu berbicara. Ngobrol ngalor ngidul tanpa tema, sedapat yg bisa saya bicarakan untuk menenangkan dia dan yang penting mengurungkan niat mengakhiri hidup. Lega sekali ketika dia akhirnya mau pulang ke rumah. Saya ingat, saya bilang, "Kalau kamu bisa melewati ini, kamu akan bisa melewati apa pun dalam hidupmu di masa depan." 

Tak lama, si ibu memutuskan untuk sekolah lagi. Dia titipkan anak pada orang tua, dan menjalani weekend commuting home, karena ia harus bekerja sambil menyelesaikan sekolah di kota yang jaraknya 6 jam berkendara dari tempat tinggal orang tuanya. "I did what you told me, mbak. Terima kasih," katanya suatu kali. Saya terus terang tidak ingat jelas bagian mana yang mengesankan dia. But it didn't matter. Her happiness today is what matters the most. 

Sekarang, dia sudah membuka kantor konsultan sendiri. Masih terpisah jarak dengan anaknya, tapi karena secara finansial sudah membaik, ia lebih leluasa mengajak buah hatinya piknik. Kedekatan antarmereka selalu menyenangkan dilihat. Masa lalu betul-betul sudah terkubur dan hanya masa depan cerahlah yang harus disongsong dengan bahagia. Kebahagiaan mereka yang saya lihat dari foto-foto, senantiasa berhasil menghangatkan hati saya. Sekali lagi saya percaya, semua orang memang berhak bahagia.  


Tuesday, January 19, 2021

Kamu Bisa, Saya Bisa

Percayalah bahwa bahagia adalah tanggung jawabmu sendiri. 

Ada satu hal yang saya sesali karena tidak saya lakukan, soal ayahnya Aria. Waktu itu, kami sedang makan malam yang (seharusnya) romantis di sebuah restoran mahal. Dia menyampaikan ide berpoligami. Saya sungguh marah, dan ingin segera pulang. Saya bisa pulang. Saya tahu jalan. Saya bisa nyetir mobil. Okay, kalau kunci mobil dia pegang, saya bisa naik taksi. Saya berani. Dan saya mampu membayar ongkos taksinya. 

Tapi, saat itu saya tidak pulang. Saya urung karena dia bilang, "Please stay. Let me finish my part." 

Dan saya patuh. Mematuhi kata-kata suami (saat itu). Berusaha (tetap) menghormatinya. Mendengarkan semua yg dia mau. Yg dia harap. Yg dia ingin. Tapi tidak saya dukung. Saya dengarkan dengan rasa sakit hati yg terasa tidak nyaman bahkan hingga hari ini. 

Di kemudian hari, ketika rencana poligami itu dia lakukan, saya sudah tidak di sebelahnya. Jadi, saya nggak ikutan.... 

Kami masing-masing sudah move on. 

Tapi, ternyata saya tidak lupa kejadian itu. Dan masih sering menyesali, kenapa waktu itu saya tidak pergi saja. Supaya tidak perlu mendengar detail rencananya yang saya benci. Sampai saat ini, 17 tahun setelahnya, saya masih ingat perasaan sakit hati saya ketika itu. Dan karena rasa itu tersimpan di bawah sadar, sering muncul tanpa permisi. Bikin saya nggak tahu mau apa, selain menyesal kenapa dulu nggak mengikuti kata hati untuk pulang duluan. 

Pelajaran berharga yg saya ambil: you have all the right to leave anytime. Saya tidak perlu tinggal hanya untuk menjaga perasaan orang lain. Siapa pun dia. 

Saat ini, jika ada hal yg tidak berkenan di hati, sudah pasti saya akan pergi. Nggak perlu pikir-pikir lagi. Bahkan jika itu mengecewakan orang yg saya suka atau juga yg pernah saya sayang. Ya tidak apa-apa. Saya akan tetap pergi kalau saya pikir dia melakukan hal yang tidak menyenangkan saya. Bukan kewajiban saya membahagiakan dia. Bahagia itu tanggung jawab masing-masing. 

Karena bahagia saya adalah tanggung jawab saya sendiri, saya akan mencarinya. Dan saya yakin bisa menemukannya. Sendiri. Meskipun artinya saya harus meninggalkan orang yg (pernah) mengisi hati dan hari saya. 

Kamu, juga bisa begitu. Dan boleh. 

Monday, January 18, 2021

Sekali, Selamanya

Sudah cukup lama kami tidak ngobrol. Sudah cukup lama tidak ada lagi berbalasan teks yang intensif di antara kami.

Salah satu kehilangan yang aku rasakan dengan tidak adanya kesempatan berkomunikasi dengannya adalah perdebatan atau ketidaksepahaman yang kemudian mencerdaskan dan menyatukan.  Betul. Ketidaksepahaman. 

Lho? Bukankah sebaiknya untuk berteman dengan seseorang seharusnya ada kesamaan pandangan? Tidak seratus persen, ternyata.

Kami memang punya "platform" yang berbeda, meskipun rasanya sistem nilai kami serupa. Aku lebih melihat sesuatu di permukaan, cenderung nyinyir. Caraku menilai sesuatu sering hitam-putih, banyak dipengaruhi lingkungan kawan-kawan yang sejak dulu selalu dari kalangan yang lebih religius. 

Sementara dia sangat moderat, tidak menghakimi, karena ditumbuhkan di lingkungan yang lebih memberikan ruang bebas. 

Jadi seringkali kami berbeda pendapat dalam melihat suatu hal. Paling tidak pada awalnya.

Tapi rupanya ketidaksepahaman itu yang membuat kami akhirnya saling berbagi masukan saat ngobrol. Perbedaan itu bisa ditelusuri hingga mengerucut ke posisi yang bisa diterima oleh masing-masing. Dan ini, terutama untukku, adalah proses pembelajaran yang luar biasa.

Kenyinyiranku berkurang banyak karena dia. Kemampuanku melihat dari kacamata yang lain rasanya jadi lebih baik. Aku bisa menerima pandangan-pandangannya yang liberal (meski masih sampai batas tertentu). Tapi yang lebih penting, itu membuat belahan otak kananku bekerja lebih seimbang dengan otak kiriku yang selama ini dominan. 

Bayangkan saja, tidak pernah dalam hidupku seseorang mengajakku ke ruang teater, sesuatu yang tidak pernah kuapresiasi selama ini. Atau hadir di acara-acara yang sebelumnya aku anggap remeh-temeh, namun setelah kupikirkan punya sisi kuat membentuk jaringan pertemanan.

Selama ini hanya bagian otak kiriku yang lebih banyak diasah. Bagian kanan terlantar. Sampai dia hadir memolesnya.

Mencerdaskan bukan?

Aku harap sih dia pun mendapatkan tambahan kecerdasan dari komunikasi kami selama ini. Paling tidak secara spiritual. 

Jadi kurasa wajar kalau aku sekarang merasa kehilangan. Kehilangan sesuatu yang menyatukan kami dulu. Sesuatu yang harus kutemukan kembali. Entah di mana. Di dia? Mungkin sudah tidak bisa. Karena dia saat ini sedang mengarah dan mengharapkan sesuatu yang lain. Kuharap, sesuatu itu mudah-mudahan tetap mencerdaskannya.




A dear good friend sent this just a while ago. A very nice write up, which I know came from his heart. 

Thank you. You know who you are.

Wednesday, January 13, 2021

Wishing....

 I hope you can see that I care. I do. Really. 

Sunday, January 10, 2021

My Duty, Your Duty

Seminggu terakhir ini, linimasa media sosial saya lumayan menyesakkan dada. Salah satu teman dari lingkaran penulis wafat. Laki-laki, usianya 40 tahun. Teman-teman dekatnya curiga setelah dia dua hari tidak menyahuti semua pesan wa. Mereka lalu mendatangi kediaman almarhum, di salah satu apartemen di Jaksel. Didampingi satpam dan polisi setempat, mereka dobrak pintu. Almarhum masih bernyawa, namun sudah tidak sadarkan diri, tergeletak di samping tempat tidur. 

Beliau meninggal di RS. Di laporan kematian, penyebabnya adalah serangan jantung. 

Innalillahi wa innailaihi rojiuun. 

Salah satu komentar di beragam postingan yg saya sempat baca adalah mengapa dia tidak menghubungi siapa-siapa saat lemas? 

Lalu ada yg menjawab, "Mungkin karena dia melihat penjemputnya sudah hadir." Dan jawaban ini menuai ikon airmata cukup banyak. 

Mendiskusikan kejadian tersebut, teman saya berkomentar, "Kalau sudah ada di fase itu, memang rasanya yaaa... biasa saja. Tidak ada rasa sakit. Perasaan marah, dendam, terburu-buru juga nggak ada." 

Dia lalu cerita pengalaman berada di antara hidup dan mati, ketika kehabisan darah setelah berjibaku melawan perampok di rumahnya bertahun silam. 

"Luka saya cukup parah. Saya nyaris kehabisan darah. Tubuh saya dijahit di mana-mana. Total 70 jahitan kayaknya. Tapi saya tidak merasa sakit. Saya malah merasa nyaman. Eh... tahu-tahu saya bangun lagi. Sehat lagi. Ah... padahal sudah enak lho saat itu," katanya. 

"Tandanya tugasmu belum selesai."

"Dan sampai sekarang saya belum paham tugas saya apa...." 

Memang, banyak sekali yg bilang bahwa kita akan meninggalkan dunia fana begitu tugas kita tunai. Saya juga percaya itu. 

Kepastian hadirnya Aria (dari dua garis di test pack), saya terima saat saya sedang mengumpulkan surat-surat untuk gugatan perceraian. Lima tahun saya dan ayahnya menanti, anak itu tak kunjung tiba. Jadi, ketika dia akhirnya hadir saat saya sendiri, saya gagah berani bikin kesimpulan sepihak bahwa tugas saya  dalam hidup adalah menjadi ibu, dan bukan sebagai istri. 

Ketika sampai saat ini pun saya masih sendiri, semakin saya yakin bahwa memang saya harus fokus pada Aria saja. Sebaik-baiknya menjalankan tugas di dunia. Yuk lah.  

Kemarin pembicaraan tentang tugas ini muncul saat sahabat saya mengeluhkan soal pernikahannya. 

"Sulit ya, kehidupan pernikahan itu."

"Campur-campur pastinya, mbak. Namanya rumah tangga. Kalau enak semua... hmm... itu Rumah Makan Pagi Sore." 

"Trus harus gimana dong?"

"None said it is easy. Tapi jangan tanya gue. Gue kan drop out." 

"Ya tapi lu punya anak. Gue kan enggak."

"Mungkin jadi ibu nggak termasuk dalam daftar tugas lu, mbak." 

"Trus, tugas gue apa?"

Rasanya kita memang harus menemukan tugas kita di dunia. Apakah itu yang dinamakan tujuan hidup? Bisa jadi. Karena ketika kita tahu tujuan kita, akan lebih mudah bagi kita memetakan jalan menuju ke sana. Ya nggak sih? Passion... true calling... hayo... cari deh sampai ketemu. 

Saya jadi ingat lagi beberapa hal setelah bertahun lalu memastikan diri menjadi orang tua tunggal. Semua gonjang-ganjing hidup saya ternyata tujuannya memang hanya satu: Aria. Beli rumah, beli mobil, liburan... semua selalu arahnya untuk si semata wayang kesayangan itu. 

Yang terasa adalah hubungan antara tujuan hidup saya dengan pekerjaan. Selain bahwa saya bekerja untuk menafkahi Aria, saya selalu memasukkan dia dalam negosiasi jika mendapat tawaran pekerjaan baru. Soal asuransi kesehatan, misalnya. Dulu yang berhak dapat untuk keluarga hanya laki-laki, jadi saya selalu nego agar Aria juga kebagian asuransi dari kantor. Kalaupun tidak bisa, gaji saya harus ditambah supaya bisa membeli asuransi kesehatan sendiri. Lalu saya juga akan nego tentang waktu kerja yang fleksibel, terutama masalah kehadiran. Saya selalu mau menyiapkan sendiri bekal sekolah Aria, jadi saya perlu waktu buat beres-beres, yang karenanya bikin saya baru bisa berangkat paling pagi jam 8. Kalau jam kantor mulai jam 8 ya nggak mungkin.... 

Tiba saat jabatan menuntut saya harus sering bekerja di akhir pekan dan keluar kota atau keluar negeri. Saya selalu nego bahwa semua jadwal di luar jam kantor normal harus mengikuti kegiatan sekolah anak saya. Atau jika anak saya sakit, saya akan boleh menemaninya saja, dan menunjuk siapa pun agar menggantikan saya bertugas di luar kantor, lalu perusahaan tidak akan mengenakan sanksi apa pun. Semua detail macam itu, yang mungkin tidak jadi permintaan pegawai lain, buat saya penting. Jadi semua jelas hitam di atas putih. Alhamdulillah selalu berhasil. 

Pernah ada satu perusahaan yang menarik sekali dinamika kerjanya menawari saya untuk bergabung. Saya sudah bersemangat. Namun, ketika bertemu petingginya, ia bertanya, "Kalau anakmu sakit, dan saat itu ada event. Kamu pilih yang mana?" 

Tanpa harus menjawab pertanyaan itu, saya langsung memutuskan bahwa perusahaan itu bukan untuk saya. Seorang atasan, perempuan pula, yang mengajukan pertanyaan mancing-mancing kayak gitu menurut saya menunjukkan kantornya yg nggak jelas.... Saya kerja untuk anak saya. Saat anak saya sakit dan saya nggak bisa bareng dia, tujuan kerja saya nggak tercapai dong. Salah? Biarin. Hehehe.... Mohon maaf sini sih fokusnya sudah pasti, kan sudah paham tujuan hidupnya.... 

Saat ini, ketika saya punya beberapa anggota tim perempuan yang punya anak, saya pun selalu memberi mereka ruang seluasnya untuk lebih terlibat dengan buah hati mereka. Saya senang saat salah satu di antara mereka akhirnya memilih full WFH di Bandung setelah melalui diskusi panjang dengan saya. Dia legowo menerima gaji lebih kecil, tapi setiap hari bisa melihat perkembangan putri kecilnya. Pilihan yang saya pikir lebih masuk akal ketimbang gaji full tapi karena pandemi jadi susah commuting. Belum lagi harus tes swab setiap kali kembali ke kantor dan juga ada kecemasan dia membawa virus saat pulang.  

"Saya jadi ingat lagi, waktu di kondisi mau mati itu, rasanya enak betul lho. Mungkin karena nggak mikir kewajiban ya. Nggak ada pikiran lain selain damai." 

"Hmm... gitu ya?"

"Iya. Nggak percaya? Mau coba?" 

"Sambit nih, pakai bolu kukus." 

Lalu dia tertawa, kayaknya senang banget bisa godain saya. 

Ah... dengar suara tawanya, kok saya lalu berharap bahwa salah satu tugasnya di dunia adalah selalu mengajak saya tertawa :)  Gapapa lah modus dikit ya kan.... Hehehe. 

Saturday, January 09, 2021