Seorang teman sedang menyelesaikan perceraian. Urusan sidang cerai beres, sekarang dilanjutkan dengan sidang pisah harta. Menikah 20 tahun lebih, tentu banyak yg harus dibagi. Saya hanya bisa mendoakan agar semua segera usai. Amin.
Saya pernah mengalami gonjang ganjing serupa, sekitar 16 tahun lalu. Saya yg sangat benci konflik, berupaya melakukannya macam operasi senyap, tanpa suara berusaha meminimalkan huru hara dengan mengondisikan ayahnya Aria menandatangani kesepakatan perceraian. Kami memang tidak punya harta benda yang layak diperebutkan. Yang penting, hak asuh Aria harus jadi milik saya. Dengan surat kesepakatan itu, hakim pengadilan tidak bisa banyak intervensi. Kalau pasangan sdh bulat tekad hendak bercerai, mau didamaikan dari sisi mana pun juga tidak akan bisa. Di kemudian hari, saya sangat bersyukur mencantumkan perihal hak asuh di dalam tuntutan perceraian sehingga pasal itu pun ada di akta cerai. Krn tanpa itu, saya akan diharuskan punya izin tertulis untuk hal-hal terkait Aria.
Perceraian memang tidak pernah jadi perkara mudah. Ketika secara hukum semua sudah beres, bisa saja masih ada hal di luar itu yg harus diselesaikan. Yang paling sulit tentu menyangkut perasaan, sesuatu yg intangible. Rasanya pengen garuk-garuk aspal tiap selesai sidang. Atau ngrawus hidung mantan saat dicecar pertanyaan hakim. Bahkan yang proses hukumnya berlangsung adem ayem pun, di dalam hatinya nggak tahu kan....
Saya baru merasa nyaman menghubungi (dan dihubungi) keluarga mantan setelah sekitar 10 tahun berpisah. Sebelumnya, selalu ada bayang-bayang entah apa, yang membuat saya resah justru karena pernah menjadi bagian keluarga. Meskipun tiap tahun saya akan berkunjung saat lebaran, saya tidak akan bisa berlama-lama di sana. Rasanya tidak ada posisi yang pas untuk saya di antara mereka, bahkan untuk anak saya yang punya hubungan darah dengan mereka. Kenyataan bahwa foto pernikahan saya masih terpasang gagah di salah satu rumah, ikut memengaruhi rasa campur aduk ini.
Setelah 10 tahun, anak saya bisa memahami situasi ayah dan ibunya. Saya minta dia memilih, mau tersambung atau tidak? Mau berkomunikasi atau tidak? Dia sudah cukup besar untuk bisa melakukan apa-apa sendiri, saya tidak perlu lagi jadi perantara. Kalaupun ia ingin berkunjung, saya bisa menyediakan kendaraan dan supir untuk mengantarnya. Kalau tidak, ya sudah. Ternyata Aria memilih yang terakhir. Dia tidak butuh keluarga selain yg membesarkannya. Saya mungkin perlu merasa beruntung bahwa secara finansial kami memang merdeka. Tidak ada campur tangan sedikit pun dari pihak ayahnya. Sehingga ketika Aria memutuskan untuk tidak lagi terkoneksi dengan keluarga ayahnya, saya seperti terbebas dari beban. Plong.
Pengalaman itulah yang membuat saya mudah berempati pada para ibu yang baru saja bercerai. Ada hal yang sulit dipahami oleh mereka yang tidak mengalami. Kondisi hati perempuan yang ditinggal menikah lagi dengan yang ditinggal meninggal pun berbeda. Sama-sama sedih, tapi dalam spektrum yang tidak sama. Jadi memang komunitas ibu tunggal menjadi tempat tepat untuk curhat. Tidak akan ada yang menghakimi. Kami semua akan saling menyediakan telinga.
Sebelum ini, saya tidak pernah terlibat dalam komunitas apa pun. Tapi di komunitas Ibu Tunggal Indonesia ini, saya seperti terpanggil untuk bertahan dan kadangkala ikut berperan. Banyak yang butuh bantuan. Dari mulai pertolongan melaporkan KDRT pada polisi, hingga sesederhana membelikan kado ulang tahun untuk anak yang baru saja kehilangan bapak.
Program empowerment juga macam-macam. Meskipun belum skala besar, beberapa kelas sudah terlaksana, membekali para ibu tunggal kemampuan untuk mencoba mandiri. Misalnya sebagai pengusaha makanan atau penulis.
Yang membanggakan adalah ketika ada ibu yang dulu pernah terpuruk, sekarang bisa tegak berdiri menjadi tonggak kuat bagi anaknya. Salah satunya pernah menelepon saya di pagi buta, suaranya dilatarbelakangi deru air sungai. Saat itu, dia sudah berencana hendak terjun, bunuh diri. Kami lalu berbicara. Ngobrol ngalor ngidul tanpa tema, sedapat yg bisa saya bicarakan untuk menenangkan dia dan yang penting mengurungkan niat mengakhiri hidup. Lega sekali ketika dia akhirnya mau pulang ke rumah. Saya ingat, saya bilang, "Kalau kamu bisa melewati ini, kamu akan bisa melewati apa pun dalam hidupmu di masa depan."
Tak lama, si ibu memutuskan untuk sekolah lagi. Dia titipkan anak pada orang tua, dan menjalani weekend commuting home, karena ia harus bekerja sambil menyelesaikan sekolah di kota yang jaraknya 6 jam berkendara dari tempat tinggal orang tuanya. "I did what you told me, mbak. Terima kasih," katanya suatu kali. Saya terus terang tidak ingat jelas bagian mana yang mengesankan dia. But it didn't matter. Her happiness today is what matters the most.
Sekarang, dia sudah membuka kantor konsultan sendiri. Masih terpisah jarak dengan anaknya, tapi karena secara finansial sudah membaik, ia lebih leluasa mengajak buah hatinya piknik. Kedekatan antarmereka selalu menyenangkan dilihat. Masa lalu betul-betul sudah terkubur dan hanya masa depan cerahlah yang harus disongsong dengan bahagia. Kebahagiaan mereka yang saya lihat dari foto-foto, senantiasa berhasil menghangatkan hati saya. Sekali lagi saya percaya, semua orang memang berhak bahagia.
1 comment:
JACKPOT yang besar hanya di AJOQQ :D
WA : +855969190856
Post a Comment