Sunday, January 10, 2021

My Duty, Your Duty

Seminggu terakhir ini, linimasa media sosial saya lumayan menyesakkan dada. Salah satu teman dari lingkaran penulis wafat. Laki-laki, usianya 40 tahun. Teman-teman dekatnya curiga setelah dia dua hari tidak menyahuti semua pesan wa. Mereka lalu mendatangi kediaman almarhum, di salah satu apartemen di Jaksel. Didampingi satpam dan polisi setempat, mereka dobrak pintu. Almarhum masih bernyawa, namun sudah tidak sadarkan diri, tergeletak di samping tempat tidur. 

Beliau meninggal di RS. Di laporan kematian, penyebabnya adalah serangan jantung. 

Innalillahi wa innailaihi rojiuun. 

Salah satu komentar di beragam postingan yg saya sempat baca adalah mengapa dia tidak menghubungi siapa-siapa saat lemas? 

Lalu ada yg menjawab, "Mungkin karena dia melihat penjemputnya sudah hadir." Dan jawaban ini menuai ikon airmata cukup banyak. 

Mendiskusikan kejadian tersebut, teman saya berkomentar, "Kalau sudah ada di fase itu, memang rasanya yaaa... biasa saja. Tidak ada rasa sakit. Perasaan marah, dendam, terburu-buru juga nggak ada." 

Dia lalu cerita pengalaman berada di antara hidup dan mati, ketika kehabisan darah setelah berjibaku melawan perampok di rumahnya bertahun silam. 

"Luka saya cukup parah. Saya nyaris kehabisan darah. Tubuh saya dijahit di mana-mana. Total 70 jahitan kayaknya. Tapi saya tidak merasa sakit. Saya malah merasa nyaman. Eh... tahu-tahu saya bangun lagi. Sehat lagi. Ah... padahal sudah enak lho saat itu," katanya. 

"Tandanya tugasmu belum selesai."

"Dan sampai sekarang saya belum paham tugas saya apa...." 

Memang, banyak sekali yg bilang bahwa kita akan meninggalkan dunia fana begitu tugas kita tunai. Saya juga percaya itu. 

Kepastian hadirnya Aria (dari dua garis di test pack), saya terima saat saya sedang mengumpulkan surat-surat untuk gugatan perceraian. Lima tahun saya dan ayahnya menanti, anak itu tak kunjung tiba. Jadi, ketika dia akhirnya hadir saat saya sendiri, saya gagah berani bikin kesimpulan sepihak bahwa tugas saya  dalam hidup adalah menjadi ibu, dan bukan sebagai istri. 

Ketika sampai saat ini pun saya masih sendiri, semakin saya yakin bahwa memang saya harus fokus pada Aria saja. Sebaik-baiknya menjalankan tugas di dunia. Yuk lah.  

Kemarin pembicaraan tentang tugas ini muncul saat sahabat saya mengeluhkan soal pernikahannya. 

"Sulit ya, kehidupan pernikahan itu."

"Campur-campur pastinya, mbak. Namanya rumah tangga. Kalau enak semua... hmm... itu Rumah Makan Pagi Sore." 

"Trus harus gimana dong?"

"None said it is easy. Tapi jangan tanya gue. Gue kan drop out." 

"Ya tapi lu punya anak. Gue kan enggak."

"Mungkin jadi ibu nggak termasuk dalam daftar tugas lu, mbak." 

"Trus, tugas gue apa?"

Rasanya kita memang harus menemukan tugas kita di dunia. Apakah itu yang dinamakan tujuan hidup? Bisa jadi. Karena ketika kita tahu tujuan kita, akan lebih mudah bagi kita memetakan jalan menuju ke sana. Ya nggak sih? Passion... true calling... hayo... cari deh sampai ketemu. 

Saya jadi ingat lagi beberapa hal setelah bertahun lalu memastikan diri menjadi orang tua tunggal. Semua gonjang-ganjing hidup saya ternyata tujuannya memang hanya satu: Aria. Beli rumah, beli mobil, liburan... semua selalu arahnya untuk si semata wayang kesayangan itu. 

Yang terasa adalah hubungan antara tujuan hidup saya dengan pekerjaan. Selain bahwa saya bekerja untuk menafkahi Aria, saya selalu memasukkan dia dalam negosiasi jika mendapat tawaran pekerjaan baru. Soal asuransi kesehatan, misalnya. Dulu yang berhak dapat untuk keluarga hanya laki-laki, jadi saya selalu nego agar Aria juga kebagian asuransi dari kantor. Kalaupun tidak bisa, gaji saya harus ditambah supaya bisa membeli asuransi kesehatan sendiri. Lalu saya juga akan nego tentang waktu kerja yang fleksibel, terutama masalah kehadiran. Saya selalu mau menyiapkan sendiri bekal sekolah Aria, jadi saya perlu waktu buat beres-beres, yang karenanya bikin saya baru bisa berangkat paling pagi jam 8. Kalau jam kantor mulai jam 8 ya nggak mungkin.... 

Tiba saat jabatan menuntut saya harus sering bekerja di akhir pekan dan keluar kota atau keluar negeri. Saya selalu nego bahwa semua jadwal di luar jam kantor normal harus mengikuti kegiatan sekolah anak saya. Atau jika anak saya sakit, saya akan boleh menemaninya saja, dan menunjuk siapa pun agar menggantikan saya bertugas di luar kantor, lalu perusahaan tidak akan mengenakan sanksi apa pun. Semua detail macam itu, yang mungkin tidak jadi permintaan pegawai lain, buat saya penting. Jadi semua jelas hitam di atas putih. Alhamdulillah selalu berhasil. 

Pernah ada satu perusahaan yang menarik sekali dinamika kerjanya menawari saya untuk bergabung. Saya sudah bersemangat. Namun, ketika bertemu petingginya, ia bertanya, "Kalau anakmu sakit, dan saat itu ada event. Kamu pilih yang mana?" 

Tanpa harus menjawab pertanyaan itu, saya langsung memutuskan bahwa perusahaan itu bukan untuk saya. Seorang atasan, perempuan pula, yang mengajukan pertanyaan mancing-mancing kayak gitu menurut saya menunjukkan kantornya yg nggak jelas.... Saya kerja untuk anak saya. Saat anak saya sakit dan saya nggak bisa bareng dia, tujuan kerja saya nggak tercapai dong. Salah? Biarin. Hehehe.... Mohon maaf sini sih fokusnya sudah pasti, kan sudah paham tujuan hidupnya.... 

Saat ini, ketika saya punya beberapa anggota tim perempuan yang punya anak, saya pun selalu memberi mereka ruang seluasnya untuk lebih terlibat dengan buah hati mereka. Saya senang saat salah satu di antara mereka akhirnya memilih full WFH di Bandung setelah melalui diskusi panjang dengan saya. Dia legowo menerima gaji lebih kecil, tapi setiap hari bisa melihat perkembangan putri kecilnya. Pilihan yang saya pikir lebih masuk akal ketimbang gaji full tapi karena pandemi jadi susah commuting. Belum lagi harus tes swab setiap kali kembali ke kantor dan juga ada kecemasan dia membawa virus saat pulang.  

"Saya jadi ingat lagi, waktu di kondisi mau mati itu, rasanya enak betul lho. Mungkin karena nggak mikir kewajiban ya. Nggak ada pikiran lain selain damai." 

"Hmm... gitu ya?"

"Iya. Nggak percaya? Mau coba?" 

"Sambit nih, pakai bolu kukus." 

Lalu dia tertawa, kayaknya senang banget bisa godain saya. 

Ah... dengar suara tawanya, kok saya lalu berharap bahwa salah satu tugasnya di dunia adalah selalu mengajak saya tertawa :)  Gapapa lah modus dikit ya kan.... Hehehe. 

1 comment:

monyet said...

ada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
WA : +855969190856