Wednesday, September 23, 2020

My Personal Coach

Meskipun jarang tatap muka, kami rutin berkomunikasi. Tentunya dengan bantuan segala alat dan cara. Kecuali metode asap Hiawata....
Setiap hari kami pasti berkomunikasi. Mengobrol ketika waktu mengizinkan, atau paling tidak bertukar pesan pendek. Email juga. Tidak melalui sosmed, karena dia bukan pengguna (hanya punya akun untuk stalking saya hahahaha he admitted it. Dan komplen berat kalau ada foto yg dia cemburui).
Notifikasi di ponsel, yg isinya sekadar menanyakan kabar, mengingatkan untuk tidak lupa makan dan sholat, juga pesan untuk hati-hati di jalan... nampak simpel sekali tapi menjadi sesuatu yg selalu ditunggu. Biasa, sedang jatuh cinta. Tapi ternyata setelah bertahun2 juga rasanya tetap sama, kok.
Ketika awal jumpa, saya masih editor level cupu... posisi terbawah yg pernah ada... hahaha.... Dan dialah yg membuka wawasan untuk meraih kemajuan. Mendorong untuk melihat kesempatan yg lain. Ketika ada tawaran untuk naik jabatan, dia membantu mengatur "skenario" supaya semua lancar sesuai apa yg saya butuhkan.
Dalam saat seperti ini, ia menjadi personal coach yg siaga 24 jam. Di tempat masing2, kami sama2 memegang "tabel untung-rugi" lalu mendiskusikan tiap isinya. Dia akan menyemangati dan memberikan saran supaya saya bisa melewati tahapan interview. Dengan suka rela dia membaca semua kontrak yang ditawarkan pada saya, lalu menandai bagian-bagian yg bisa saya negosiasikan, juga bagian yg harus diubah agar saya tak dirugikan di masa depan. Dia akan memberi tips & trik (yg sangat jitu) agar saya mendapat yg saya mau.
Dan itu masih terus ia lakukan. Tidak ada yg berubah.


1 comment:

Anonymous said...

I guess I'll be your coach... for life,.... no matter what.