Friday, February 21, 2020

Jangan Menghilang....

Kira2 16 tahun lalu, gue masih ngantor di Kuningan. Masih punya mertua kaya raya, jadi ke mana2 diantar mobil (yg bagus banget, seri yg lbh baru ketimbang yg dipakai CEO perusahaan gue waktu itu) dan supirnya. Tiap pagi rutin ngantor sambil menikmati kehamilan.

Sampai suatu hari di bulan Mei, pulang kantor spt biasa, sampai rumah seperti sudah ditunggu bapak dan ibu (mantan) mertua. Ada apa?

Setelah muter2 cukup lama, bicara ini itu, akhirnya mereka menyampaikan satu berita: bapaknya anak gue minggat.

He has gone.

Dia keluar rumah lewat pintu belakang kira2 tengah hari. Nggak ada yang tahu dia ke mana. Tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati.

Gue ingat sekali waktu itu hanya bisa diam. Memang gue agak lambat bereaksi untuk segala hal. Dan ternyata untuk hal sepenting "suami hilang" pun, reaksi gue cukup lama keluar.

Baru setelah gue mandi, diam di kamar, gue baru paham: I will be alone for then on. All alone.

Dan saat itulah gue baru bisa menangis. Lama. Nggak ada yg tahu. Bayangkan, gue hamil, dan nggak lama lagi akan melahirkan. Dan nggak ada suaminya.

Waktu itu gue sedang dalam tahap konseling ke psikolog. Tadinya buat konseling perkawinan. Tp krn "mempelai pria" melarikan diri... ya udah jadinya bu psikolog itu berubah haluan jadi support gue saja. Oh ya, gue masih ke sana, meskipun sendiri, karena sudah terlanjur bayar bbrp sesi. Kalau ga salah waktu itu masih ada 2 sesi yg tersisa. Gue inget banget, bu psikolog bilang, "Ibu harus segera gembira lagi. Kesedihan akan memicu hormon-hormon, salah satunya kortisol. Masih banyak penelitian tentang hormon ini, tapi saya curiga bahwa hormon kortisol yang masuk ke placenta bisa membuat bayi menyandang autism." Oh no.

Sejak saat itu, gue tidak lagi memikirkan kesendirian. Dan berhasil memecut diri untuk mulai berpikir bahwa ke mana pun ada anak gue yg anak menemani. I am not alone after all.

Semua pun berjalan sebagaimana seharusnya. Alhamdulillah anak gue lahir dengan sempurna. Sehat tak kurang suatu apa. Alhamdulillah wa syukurillah.

Yang ternyata tersimpan di bilik otak gue adalah trauma pada kehilangan. Dlm hal ini kehilangan seseorang. Ketika Bapak meninggal, gue nggak bisa pulang. Tapi gue sempat komunikasi lewat telepon, dan gue paham betul bahwa Bapak pergi. Gue tidak merasa kehilangan, karena gue tahu Bapak tidak hilang. Hanya tugas beliau sudah usai. Ketika (mantan) suami gue pergi, dia menghilang. Nggak bisa dihubungi dan nggak diketahui di mana keberadaannya. Ketika akhirnya sebulan kemudian dia bisa ditelepon, rasanya sih sudah telat. Dalam arti, gue sudah menyimpan kesedihan karena kehilangan di otak gue.

Apa akibatnya?

Sekarang2 ini gue sangat anxious ketika ada orang2 tertentu yg tiba2 hilang dari radar. Mantan pacar salah satunya. Kalau gue nggak bisa menghubungi dia, secara tiba2, gue akan sangat cemas. Dan kecemasan itu menyakitkan hati. Lalu ketika tempo hari ada seseorang yg gue pikir sudah dekat tapi gagal menjadi makin dekat... lalu nggak bisa lagi dihubungi dan tidak lagi menghubungi, gue juga merasakan sakit hati karena kehilangan.

Tapi kehilangan2 itu meskipun cukup meresahkan, bisa tertanggulangi. Biar bagaimana, mereka yang hadir, tetap saja hanya singgah. Selama apa pun, attachment terhadap mereka bisa dihilangkan (meskipun sulitnya setengah mati).

Bbrp hari lalu, Aria pamit mau main ke mall sepulang sekolah. Tapi ternyata sampai gue pulang jam 9, dia blm hadir di rumah. Ditelepon nggak bisa. WA nggak dibalas. Gue panik. Tumben reaksi gue kok lumayan cepat ya. Gue sangat takut kalau dia hilang. Trus gue nangis deh. Nggak tahu juga mau cari dia di mana. Waktu dia akhirnya bisa dihubungi, ternyata dia sudah dekat rumah, naik taksi.

Ya ampun... rasanya separuh nyawa kok sdh entah di mana. Akhirnya malam itu ada adegan drama deh. Ibu anak tangis2an. Lah beneran sedih amat sih membayangkan anak gue hilang (amit2 jabang bayi). Aria juga kayaknya menyesal banget bikin ibunya nangis. Mewek lah kami berdua....

Sejak itu, Aria nggak pernah lagi pergi tanpa bawa power bank yg full terisi.

Tapi gue pun merasa bahwa gue harus belajar detachment. Krn biar bagaimana, tidak ada yg abadi, semua ini titipan Tuhan. Bisa diambil kapan saja. Hmm... baiklah, gue akan belajar. Tp kalau boleh memohon, jangan menghilang, please....

No comments: