Ketika tahu mama akan naik haji... banyak sekali yang titip doa. Dari mulai doa sehat, doa rejeki yang beragam banget mulai dari sukses usaha sampai sukses bayi tabung... dan yg nggak kalah banyak adalah titipan doa supaya pernikahan langgeng.
Waktu dengar ada yg titip doa pernikahan langgeng, pap hanya komentar pendek, "Langgeng tapi nggak bahagia, buat apa?"
Baiklah mengaminkan saja doa2 yg dititip ke mama... hanya jadi pengen bahas soal bahagia dalam companionship.
Dulu itu, ketika keputusan gue untuk bercerai sdh "bisa diumumkan" ke keluarga... reaksi pertama sebagian besar anggota keluarga di sana... nyaris sama. Mereka menolak. Alasannya macam2. Dari mulai kecemasan soal finansial sampai soal nama baik. Herannya, jarang banget yg memikirkan masalah kebahagiaan gue yg menjalani pernikahan itu. Dan yg lebih hrs ditanya adalah ... tokoh satunya mau apa nggak menjalani terus?
Gini, gue ditinggal. Trus gue memaafkan, menerima kembali. Tapi tetep ditinggal. Dan nggak ada yg peduli apakah gue bahagia atau enggak, yg penting jangan cerai. Huehehehehe... tidak demikian ceritanya, Fulgoso! Kenapa ya nggak ada yg kepikiran hal happy itu (terutama dari keluarga sana). Seolah kebahagiaan gue nggak ada urusannya dalam pernikahan gue sendiri, nggak penting. Yg penting status, yg penting materi. Sepertinya ada keyakinan kalau bahagia akan datang sendiri setelah ada status istri dan dihujani materi. Hmm....
Dan pikiran itu pun sempat meracuni gue, dalam arti, gue "sempat tergoda" buat mencoba tetap berstatus istri yg terjamin kehidupan finansialnya. Hahaha.... Bayangin aja, pegawai kroco di kantor, tapi ke mana2 naik mercy seri tebaru yg supirnya pakai baju safari, dan pulang pergi dari rumah yg ukurannya seluas SD Inpres. But then I understood that happiness comes from inside my heart. Jadi semua atribut itu nggak penting banget. Sejujurnya... naik turun mercy itu malah bikin gue merasa spt perempuan simpanan pejabat hahahaha....
Ketika gue sadar soal bahagia yg harus diwujudkan, gue memutuskan pulang ke rumah nyokap, kembali ke kamar mungil gue. Mengganti kasur ukuran queen dengan kasur single plus satu boks bayi (krn kamarnya sempit banget) ternyata lebih membahagiakan. Pulang pergi kantor naik mikrolet juga nggak apa2... apalagi kalau hari2 gajian masih bisa kok bayar taksi. Oke2 aja. Mungkin krn gue paham apa pun yg gue pakai dan manfaatkan beneran punya gue tanpa embel2 apa pun, bukan pinjaman bukan pemberian yang akan membuat gue spt punya utang... gue merasa lebih tenang. Dan ketenangan itu bikin gue merasa lebih happy. Saat itulah gue yakin bahwa merasa bahagia sangat penting buat kesehatan jiwa. Dalam kondisi gue yg hamil saat itu, bahagia ini ternyata menjaga anak gue dari menyandang sindrom2 macam2.
Dari pengalaman finding happiness... kalau skrg ada teman yg cerita ttg nggak bahagia dalam pernikahan tp juga nggak bisa memutuskan untuk melangkah bertindak.... gue nggak habis pikir. Nggak harus selalu cerai lho ya. Kan bisa diurai dulu di sebelah mana yang nggak bahagia, lalu dicarilah cara supaya menemukan kembali bahagia. Ya mbok ngobrol sm pasangannya, curhat gitu... masak nggak didengerin.... Kalau sama pasangan udah nggak didengerin... pernikahannya pasti udah ga bener. Ya itu dulu yg dibenerin. Easier said than done? Ya memang siapa yg bilang menikah itu gampang?
Nah... patokan bahagia ini jugalah yg bikin gue hati2 kalau dekat sm seseorang. Seberapa besar pun keinginan gue menikah lagi, ketika kenal orang baru, gue akan sangat ngitung ini itu. Begitu ada satu hal aja yg "nyangkut" ... gue akan langsung back off dan berkontemplasi. Bukan nggak mau berusaha ya, hanya mencoba menakar sejauh mana gue bisa berkompromi. Beberapa kali sih batas komprominya memang tipis banget hahahaha... Apakah gue akan sebahagia ini kalau ada dia tiap hari? Dan... selama ini terbukti, kalau di awal ada tanda2 yg gue abaikan, pasti akhirnya ketahuan juga bahwa kami nggak compatible. Denial mmg bukan rumus yg tepat untuk semua hal... terutama urusan cinta2an ini.
Akhirnya, gue akan dan harus tetap mengedepankan kebahagiaan gue. Gue akan dan harus mendengar kata hati, mencermati jika ada yg tidak setuju, sepelan apa pun suaranya.
No comments:
Post a Comment