Monday, November 09, 2020

Those Sparks in Your Eyes....

Teman kesayangan ada yg kehilangan ibunya awal tahun ini. Sebagai anak laki-laki pertama, dia sangat dekat dengan ibunya. Apalagi, menurutnya, sifat dan kegemaran ibu dan anak ini saling melengkapi satu sama lain. Mereka jadi dekat sekali. Semacam klik. Menarik banget. 

Berbulan setelah ibunda mangkat, ia masih saja merasa kehilangan. Apalagi, ibunya pergi ketika rencana tinggal bersama sudah nyaris terwujud. Paviliun untuk sang ibu sudah selesai dibangun. Dan, ibunda berpulang ketika waktu pindah telah tiba, si teman dalam perjalanan menjemput. Sayang, ada penjemput lain, yang lebih penting dan tak bisa ditunda. Penjemput yang meninggalkan duka sekaligus memaksa semua ikhlas pada ajal. 

Saya jumpa dia ketika ibunya sudah tiada. Beberapa kali, saat membicarakan sesuatu, perbincangan akan sampai pada almarhumah sang ibu. Ceritanya sering lucu, apalagi membayangkan cara bicara ibunya yang mirip ibu saya, punya logat dan dialek khas Madiun. Dari ceritanya, ibunya "lebih seru" karena sering ambrol remnya jika sedang berdua saja. Artinya: banyak misuh yang saru. Hahaha... lumayan akrab dengan makian-makian gaya jawa timuran, saya membayangkan kalau kata-kata ibunya pasti sering bikin ngakak. 

Buat saya, yang paling menarik adalah ekspresi dia ketika berbicara tentang ibunya. Tidak hanya nada suaranya yg berubah jadi ceria, tapi wajahnya pun mendadak seperti orang yang berbeda. Dia yang biasa serius dan "lurus" cenderung galak, seketika berubah menjadi lembut dan manis. Dan yang membuat pemandangan semakin indah adalah matanya yang seakan penuh jutaan bintang. Berpendar-pendar. So lovely. 

Binar mata itulah yang membuat saya, mau tak mau, membayangkan raut macam apa yang akan ada di wajah Aria jika kelak bercerita soal saya. Saya juga punya anak laki-laki. Sedikit banyak, saya paham rasa sayang ibu pada teman saya itu. Cinta ibu pada anak laki-laki sepertinya khas. Saya bisa mengerti juga kedekatan seperti apa yang bisa memahat memori hingga membentuk dia menjadi seperti sekarang. Alangkah bangga saya kelak (meskipun sudah tidak ada), jika Aria bercerita tentang saya dengan binar mata seperti yang ditampilkan teman saya saat bercerita tentang ibunya. 

Beberapa hari terakhir, beredar di wag pesan untuk para ibu yang memiliki anak laki-laki. Inti pesannya kira-kira agar si ibu bisa menyiapkan anak menjadi "suami yang tidak menyebalkan." Suami seperti apa sih, yg tidak menyebalkan buat istri? Saya berharap punya suami yg setia, mau membantu saya dalam rumah tangga dan karier. Jadi tentu saya ingin anak saya menjadi laki-laki seperti idaman saya itu. Betul sekali, tugas saya mengajarkannya, kan? PR saya masih banyak, tentu saja. Mudah-mudahan dengan besarnya cinta yang saya miliki untuknya, Aria bisa belajar menjadi laki-laki yang penuh cinta kasih juga. 

"Seingat saya, Ibu kok nggak mengajarkan saya menyapu dan bergiat di dapur. Saya dulu diajari jadi raja, lho," kata teman saya. 

"Hmm... kamu nggak sadar ya, kalau Ibu mengajari kamu menjadi laki-laki penyayang?" kata saya. 

Dia terdiam, lalu tersenyum. Manis sekali. 

Saya pikir, di surga, sang ibu pasti bahagia. 





No comments: