Tanpa bisa dicegah... menulis lebih cepat dari bayangan... mengetik lebih cepat ketimbang bersin... kata2 itu terkirim. Jari gue mengetiknya untuk mengomentari foto seorang kawan di IG. Dalam foto, dia sedang ada di pantai yang lautnya biru sambil sarapan telur dadar yg nampak menul2... menggiurkan.
Telur dadar bisa gue bikin sendiri. Sepuluh kali lebih enak lebih besar lebih tebal pakai keju daun bawang full.... Gampang itu sih. Yg susah adalah sarapan di pantai. Iri. Banget.
Kapan terakhir ke pantai?
Hmm....
Boleh dong iri?
Boleh.
Tapi... nggak boleh lama-lama irinya. Karena... perjalanan ke pantai ini cuma satu saja fase hidup si teman. Hanya satu dari sekian banyak. Ada yg dia bagikan, tapi sepertinya lebih banyak yg dia simpan. Ditutupi rapat karena tidak menyenangkan dilihat. Siapa yg tahu bahwa sebelum dia ke pantai itu hidup dia susah? Gue tahu. Gue termasuk yg dia curhatin bahwa sejak PSBB, setelah pandemi... kira2 bulan April... si teman itu bingung ga punya pekerjaan. Nggak punya pekerjaan, artinya nggak ada penghasilan. Jadi dari hari ke hari dia mulai mengorek tabungan. Kira2 bulan kemarin, dia sudah kirim sinyal SOS: tabungan sdh mulai terlihat dasarnya, dan belum ada tanda2 datangnya pekerjaan.
Duh.
Itu pun dia sudah mencoba jual makanan. Gue modalin ikut kursus bikin menu siap saji supaya jualan dia bisa lebih variatif. Lumayan berjalan, tapi lagi2 terbentur modal. Dan juga pesaing makin banyak. Susah lagi.
Itu hanya contoh dari satu teman saja. Yg lain? Banyak. Terutama teman2 yg gagah berani meninggalkan zona nyaman kerja kantoran untuk mengejar mimpi punya usaha sendiri. Pandemi ini membuat mereka jungkir balik.
Artinya?
Tidak boleh iri. Tidak boleh dengki. Mari saling mendoakan semua sehat dan bisa terus bergembira. Nikmati apa yg di depan kita. Seringkali apa yg kita keluhkan sudah bisa mencukupi mimpi orang lain.
No comments:
Post a Comment