Friday, November 20, 2020

My Man

Kemarin, saat hari ayah nasional, banyak pesan beredar di grup Single Mom Indonesia yang intinya memberi semangat pada para ibu yang "sekaligus menjadi ayah" bagi anak-anak. Saya tulis dalam tanda kutip, karena saya pikir hal itu kok mustahil. Mana bisa ibu sekaligus jadi ayah? 

Saya kok mikirnya, ibu ya ibu. Ayah ya ayah. Satunya perempuan, satunya laki-laki. Jadi, konsep "ibu yang juga menjadi ayah" buat saya kok kurang pas. Apa karena ibu tunggal bekerja dan menafkahi anaknya, ia lalu menjadi ayah? Rasanya kok tidak begitu juga ya. Bekerja toh bukan cuma teritori ayah. Menafkahi anak memang kewajiban seorang ayah. Tapi jika hal itu dilakukan oleh si ibu, tentu bukan otomatis ibu lalu jadi ayah, kan? 

Dan yang buat saya penting, ayah itu nggak bisa digantikan oleh apa pun atau siapa pun. Ayah ya ayah. 

Membesarkan Aria, seingat saya, saya hanya menyiramkan cinta sebanyak-banyaknya. Saya berharap dia akan melihat bahwa perempuan dan laki-laki setara, dari contoh yang ada di rumah. Laki-laki di rumah kami kebetulan semua bekerja (berkarier) sekaligus tak segan masuk dapur untuk memasak dan cuci piring. Kakak saya, laki-laki, bahkan sangat jago bikin kue. Saya, ibunya, juga bekerja, luwes di kantor dan di dapur. Manjat tangga untuk ambil koper ketika hendak bepergian, bisa dilakukan siapa saja yang memerlukan. Mencuci, setrika, belanja... oke saja. Menyetir? Semua bisa. Jadi, sampai usia tertentu, Aria memahami bahwa tidak ada gender dalam hal aktivitas sehari-hari. 

Ketika dia remaja, saya mulai tanamkan bahwa dia harus menghormati perempuan, meski setara. Dia lahir dari perempuan, adalah hal yang dia tidak boleh lupa. Kita setara, tapi saya juga bilang bahwa dalam lingkungan sosial, laki-laki diharapkan akan melindungi perempuan. Saya ingat sekali, saya beri dia contoh sederhana, "If you ask a girl out on a date, don't let her touch the door, nor the bill. Itu namanya menghormati perempuan." Kenapa saya bilang begitu, karena itulah yang saya harapkan dilakukan laki-laki pada saya. Hahahaha.... 

Sering kami ngobrol soal afeksi antara laki-laki dan perempuan, dan saya selalu jelaskan dari sisi saya yang perempuan. Saya ceritakan apa yang diharapkan perempuan (saya) dari laki-laki, termasuk kesetiaan dan rasa sayang. 

Sekarang, dia sudah 16 tahun. Sudah besar. Kalau ikut saya belanja, dia akan otomatis membereskan belanjaan di kasir, lalu membawa barang-barang itu sampai ke bagasi mobil. Kemarin, waktu saya tunjukkan bahwa jam dinding mati, dia cari baterai lalu ambil tangga untuk membetulkannya. Dia sudah menolak dicium atau dipeluk, jadi saya sering kaget-kaget waktu dia tiba-tiba peluk saya sekadar ingin peluk saja (tapi seringnya untuk mengucapkan terima kasih setelah ia dapat notifikasi ada transferan uang saku hahahaha). Meskipun masih sering memilih duduk di belakang (kebiasaan dia sejak bayi), dia sudah minta diajari menyetir mobil. Jadi saya berharap dalam waktu dekat bisa leyeh-leyeh saja di sebelahnya kalau ke mana-mana.

Saya tetap hanya ibunya. Tidak akan pernah menjadi ayahnya. 

Aria mungkin tidak merasakan dibesarkan oleh ayahnya. Tapi mudah-mudahan ia tetap bisa belajar caranya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan penuh kasih sayang. Semoga cinta saya yang begitu besar padanya, unlimited and endless, bisa menuntunnya menjadi laki-laki yang berbudi. I can only hope and pray. Amin. 


No comments: