Saturday, November 28, 2020
Love
Friday, November 27, 2020
Happy Heart for a Healthy You
Ndalem prosotan sedang direnovasi. Setelah 12 thn ditinggali... perlu dirawat spy tetap cantik. Dan memang sdh diprediksi kerusuhan dan debu yg akan terjadi. Sebetulnya, karena gue banyak WFH, Aria sedang SFH... gue lebih pengen kami ngungsi sebentar ke manaaa gitu. Ada apartment adik gue yg kosong, dan di tengah Jakarta. Menarik sih. Tp eyang menolak ide untuk pindah sementara.
Kenapa?
Karena beliau sulit berpisah dari ingon2.
Jadi, setiap hari, setelah sholat subuh, jadwal beliau adalah jalan pagi keliling kompleks. Kira2 satu jam. Sampai rumah lagi jam 6... mulai deh inspeksi halaman. Dari sudut ke sudut. Dari depan ke belakang. Semua pot dan semak akan disapa. Kalau ada yg layu, dicari masalahnya. Kurang matahari? Dipindah ke depan. Kepanasan jadi daunnya menguning? Dipindah ke belakang. Halaman ini nggak luas2 amat... tp ya kalau semua daun dipegang... butuh 2 jam. Habis itu beliau akan duduk di samping kolam ikan... ngasih makan sambil "ngobrol".
Tanaman di rumah semua subur. Ikan2 nggak berhenti beranak pinak sampai tiap 2 bulan akan dibagikan ke siapa saja yg mau. Eyang juga sehat2, selama pandemi ini sama sekali nggak ke dokter, yg dulu biasanya sebulan sekali, paling nggak untuk kontrol tensi dan asam urat. Ternyata kuncinya itu: komunikasi sama semua penghuni rumah. Setiap pagi.
Baiklah. Tetep di rumah selama renovasi.
Tuesday, November 24, 2020
Sawang Sinawang
Friday, November 20, 2020
My Man
Thursday, November 19, 2020
Begitulah....
Tadi pagi bangun tidur dengar gusar. Agak bingung kenapa kok rasanya kesal. Ternyata setelah tenang dan ingat2... ooh... mimpinya kisruh. Mimpi apa sih? Mimpi lihat dia jalan sama orang lain. Dengan mesra. Huh. Jadi selama tidur, gue cemburu. Astaga. Ini pasti karena kangen. Sementara kayaknya yang dikangenin nggak sadar. Yo wis. Nasib.
Tuesday, November 17, 2020
Thursday, November 12, 2020
Menyambut Hari Ayah
Aku tidak pernah mencari ayah. Tapi toh, aku menemukannya.
Sejauh ingatanku, hanya ada aku dan Ibu. Sempat ada eyang putri. Tapi saat aku berumur tujuh tahun, eyang putri meninggal dunia. Aku ingat mengantar jenazah beliau ke sebuah makam di Salatiga. Semua orang menangis. Beberapa saudara memeluk erat Ibu dan menepuk bahuku. Tetangga bergantian datang , melakukan pengajian. Tiga hari. Tujuh hari. Sebulan.
100 hari setelah eyang putri dimakamkan, Ibu menjual rumah eyang lalu pindah ke Jakarta.
Sejak itu, kami hanya berdua. Kami pindah ke sebuah kompleks kecil. Ini perumahan yang aman, dilengkapi satpam yang bergantian menjaga gerbang. Jadi bisa dibilang ada yang menjaga kami 24 jam.
Aku ingat Ibu memulai kariernya dengan bekerja di sebuah majalah perempuan. Setiap pagi aku diantar ke sekolah, lalu pulang naik mobil jemputan. Di rumah, ada bibi tukang cuci yang menemaniku sampai Ibu pulang. Ibu mendidikku dengan tegas dan tertib. Dan bibi pun mematuhi perintah Ibu untuk mengawasiku mengerjakan PR, makan, dan mandi, dengan rapi dan teratur. Tidak hanya teratur, bibi memastikan aku mengerjakan semuanya tepat waktu.
Ibu dengan segala upaya mengajariku menjadi laki-laki serba bisa. Tak hanya sekadar membereskan tempat tidur, tapi juga menjadi laki-laki yang bisa diandalkan ketika beliau perlu seseorang untuk disuruh ke pasar atau menyetor uang ke bank. Saat aku berusia sembilan, disuruhnya aku memperhatikan tukang listrik, agar tahu cara mengganti bohlam yang putus. Lalu aku juga ikut tukang kebun belanja tanah dan batu, untuk mempercantik taman kecil di rumah kami. Ketika libur sekolah, saat Ibu tak harus ke kantor, ia mengajakku ke pasar, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Aku diajari menawar belanjaan. Sesekali Ibu membekaliku uang, menyuruhku belanja ini itu, tak lupa dengan pesan, "Catat semua pengeluaran." Akhirnya aku pun paham pembukuan sederhana.
Berkat Ibu, aku bisa menangani segala hal. Memasak. Membersihkan rumah. Mengatur uang. Kemudian setelah lebih besar: mengemudi. Dan tentu saja bersekolah dengan lancar. Sekali aku bertanya pada Ibu tentang ayah. Jawabnya, "Ayahmu adalah petualang yang hilang dalam perjalanan." Wajah Ibu nampak sangat tertekan saat mengatakannya. Sejak itu, kuputuskan untuk tak bertanya-tanya lagi.
Seiring naiknya karier ibu, tugasnya makin banyak. Ibu sering luar kota, meninggalkanku berhari-hari. Saat itu, aku sudah duduk di bangku SMP. Ibu menasehati bermacam-macam, terutama soal keamanan di rumah. Saat demikian, bibi tukang cuci akan bermalam. Tukang kebun juga tetap datang secara rutin. Aku akhirnya terbiasa mengatur rumah. Termasuk tepat waktu memberikan gaji bibi dan tukang kebun, jika tanggal gajian bertepatan dengan Ibu masih di luar kota. Saat itu usiaku lima belas tahun, tapi aku sudah bisa mengurus diriku sendiri. Berangkat sekolah. Pergi pulang ke tempat les biola naik ojek. Sibuk di dapur. Belajar. Semua beres, sesuai didikan Ibu.
***
Sejak aku ulang tahun ke tujuh belas, Ibu keluar masuk rumah sakit. Berkali-kali aku dikejutkan berita bahwa beliau tak sadarkan diri saat di kantor, lalu dilarikan ke rumah sakit. Sekali ia kutemukan terduduk lemas di meja dapur. Kali lain terjatuh di kamar mandi. Aku tak sempat panik. Ibu mendidikku dengan benar hingga saat melihat Ibu sakit, aku bisa segera menghubungi rumah sakit, meminta ambulance (nomor teleponnya sudah ditempel oleh Ibu di dinding dekat pesawat telepon).
Pemandangan sama selalu terjadi saat pulang dari rumah sakit. Wajah Ibu pucat tapi bahagia melihat rumahnya tetap tertata, seolah ia tak pernah pergi. Aku yang menjaga agar semua tetap rapi. Lalu Ibu mengelus kepalaku. "Aku bangga. Kamu memang anakku," bisiknya pelan.
Aku cium pipinya. Dan Ibu tertawa tanpa suara. "Rumah ini memang tak berubah tatanannya, Ibu. Tapi Ibu jangan pergi lama-lama. Aku kangen lihat Ibu berangkat dan pulang dari kantor. Kalaupun aku bisa masak sendiri, tapi masakan Ibu tetap yang paling lezat di dunia," sahutku. Selalu begitu.
Ibu lagi-lagi pasti tertawa. Tangannya terbentang lebar, mengundangku ke pelukannya. Kami akan berpelukan. Lama sekali. Demikian berulang-ulang.
Sekali waktu, saat aku SMA, Ibu masuk rumah sakit saat pembagian rapor di sekolah. Ketika aku menunjukkan raporku, Ibu sempat tercenung.
"Siapa yang mengambilkan?"
"Ayah Manda."
"Siapa Manda?" senyum Ibu terlihat menggoda.
"Nanti juga Ibu akan kenal," aku merasa pipiku merah.
Senyum Ibu makin lebar. Ia pasti tahu bahwa Manda adalah teman spesial.
Sejak itu, Manda kadangkala datang menemani Ibu. Apakah kami berpacaran? Ya. Tapi tidak lama. Kami lebih nyaman berteman saja. Manda menjadi sahabat terbaik di dunia. Dan menjadi semacam kurator untuk gadis-gadis yang kukencani. Dia memang lebih cocok menjadi saudaraku. Ibu pun senang karena seperti mempunyai anak perempuan yang datang mengunjunginya sekali waktu.
Ibu masih tetap menjadi pelanggan rumah sakit. Kadang kutemani, kadang bersama Manda.
Dua hari setelah aku berulang tahun ke-23, aku yang hendak berangkat bekerja mendapati Ibu tak bisa dibangunkan. Tubuhnya dingin, wajahnya memutih, tapi bibirnya tersenyum. Seketika aku tahu, Ibu benar-benar pergi. Setelah enam tahun, kanker itu mengalahkannya.
***
Ibu telah tiada, tapi hidupku berjalan terus.
Hampir setahun setelah Ibu meninggal, bersama Manda kubongkar kamar Ibu, berniat menyumbangkan baju-bajunya ke rumah jompo. Sepatu dan tas juga pasti bisa dimanfaatkan penghuni penampungan. Ibu pasti setuju. Terutama, aku tak ingin tenggelam lama-lama dalam kenangan yang menyedihkan gara-gara melihat barang-barang Ibu yang masih ada di mana-mana. Aku ingin mengingat Ibu dengan gembira, melalui kenangan-kenangan di hatiku saja.
"Aku kagum, kamu tabah sekali menerima kenyataan kehilangan Ibu," kata Manda sambil melipat setumpuk baju dan memasukkannya ke dalam koper. "Kamu tegar."
"Ibu yang mendidikku seperti ini," jawabku. "Jujur, kadangkala aku tak tahu bedanya antara tegar, atau tidak berperasaan."
Manda menatapku heran. Tapi aku tak sempat memperhatikannya. Aku sedang memanjat kursi untuk menjangkau sisi atas lemari, agar bisa mengeluarkan setumpuk kotak dari sana. Entah apa saja yang disimpan Ibuku selama hidupnya. Satu per satu kotak itu kubuka. Ada surat-surat dari kantornya. Ada yang berisi foto-fotoku saat bayi. Ada yang berisi surat-surat tagihan lama. Satu kotak agak besar menarik perhatianku. Tidak seperti kotak lain yang bekas sepatu, kotak ini tampak istimewa, meski telah usang. Hatiku berdesir ketika membukanya.
"Apa itu?" tanya Manda. Ia tentu melihat perubahan raut wajahku.
"Ini surat-surat ayah, untuk Ibu."
***
Akhirnya aku menemukanmu, Ayah.
Di antara surat-surat yang dikirim ayahku untuk Ibu, terdapat secarik pemberitahuan duka cita. Alamat di pemberitahuan tersebut membawakau ke pemakaman ini.
Di salah satu nisan, terbaca nama: Ryan Andika. Meninggal 2003. Nama belakangnya sama seperti nama belakangku, Andika. Aku usap rumput hijau yang melapisi makam itu. Nampak terawat dan subur. Syukurlah makam ayah tidak tersia-sia. Dan ternyata petualangan yang menghilangkan nyawa ayah tidak seperti yang kubayangkan selama ini. Ia bukan hilang di laut, atau diserang binatang buas kala di hutan. Bukan begitu ceritanya. Dari surat-surat itu, aku paham bahwa cinta ayah dan Ibu tak bisa bersatu.
"Halo, kamu siapa?" sebuah suara ceria menyapaku, membuyarkan lamunanku tentang ayah. Pemilik suara ternyata seorang anak perempuan lucu berbaju warna merah dan kuning. Rambutnya dikuncir dua.
"Maafkan. Dia tidak bermaksud mengganggu," seorang Ibu muda menarik tangan anak itu. Wajah mereka mirip, pasti ibunya.
"Om siapa? Kenapa ada di makam kakek?" anak itu masih bertanya.
Kakek?
"Ini makam ayah saya," tutur sang ibu. Matanya mengamatiku lekat-lekat. "Apakah kita pernah bertemu sebelum ini?"
Seorang ibu paruh baya yang berlindung di bawah payung tampak berjalan di belakang mereka. Aku seketika bisa menebak. Merekalah yang beberapa kali diceritakan Ayah di surat-surat untuk Ibu.
"Ia ayah saya juga," suaraku tercekat di tenggorokan. "Saya Rudy Andika."
Nyata-nyata ia terkejut, sebelum berbisik sangat pelan, "Saya Desiana Andika."
Ibu yang memegang payung sekarang ada di hadapanku, terpaku tak bisa berkata-kata, menatap wajahku yang juga membisu. Aku tahu, ia pasti terkejut melihatku. Berulang kali Ibu mengatakan aku sangat mirip dengan ayah di masa muda.
Ah Ayah, bukan saja aku menemukanmu, tapi aku juga menemukan keluargamu. Merekalah yang tak kau tinggalkan meski dalam perjalanan hidupmu kau bertemu lalu jatuh cinta pada Ibu.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Femina dengan judul JEJAK PETUALANG.
Monday, November 09, 2020
Those Sparks in Your Eyes....
Teman kesayangan ada yg kehilangan ibunya awal tahun ini. Sebagai anak laki-laki pertama, dia sangat dekat dengan ibunya. Apalagi, menurutnya, sifat dan kegemaran ibu dan anak ini saling melengkapi satu sama lain. Mereka jadi dekat sekali. Semacam klik. Menarik banget.
Berbulan setelah ibunda mangkat, ia masih saja merasa kehilangan. Apalagi, ibunya pergi ketika rencana tinggal bersama sudah nyaris terwujud. Paviliun untuk sang ibu sudah selesai dibangun. Dan, ibunda berpulang ketika waktu pindah telah tiba, si teman dalam perjalanan menjemput. Sayang, ada penjemput lain, yang lebih penting dan tak bisa ditunda. Penjemput yang meninggalkan duka sekaligus memaksa semua ikhlas pada ajal.
Saya jumpa dia ketika ibunya sudah tiada. Beberapa kali, saat membicarakan sesuatu, perbincangan akan sampai pada almarhumah sang ibu. Ceritanya sering lucu, apalagi membayangkan cara bicara ibunya yang mirip ibu saya, punya logat dan dialek khas Madiun. Dari ceritanya, ibunya "lebih seru" karena sering ambrol remnya jika sedang berdua saja. Artinya: banyak misuh yang saru. Hahaha... lumayan akrab dengan makian-makian gaya jawa timuran, saya membayangkan kalau kata-kata ibunya pasti sering bikin ngakak.
Buat saya, yang paling menarik adalah ekspresi dia ketika berbicara tentang ibunya. Tidak hanya nada suaranya yg berubah jadi ceria, tapi wajahnya pun mendadak seperti orang yang berbeda. Dia yang biasa serius dan "lurus" cenderung galak, seketika berubah menjadi lembut dan manis. Dan yang membuat pemandangan semakin indah adalah matanya yang seakan penuh jutaan bintang. Berpendar-pendar. So lovely.
Binar mata itulah yang membuat saya, mau tak mau, membayangkan raut macam apa yang akan ada di wajah Aria jika kelak bercerita soal saya. Saya juga punya anak laki-laki. Sedikit banyak, saya paham rasa sayang ibu pada teman saya itu. Cinta ibu pada anak laki-laki sepertinya khas. Saya bisa mengerti juga kedekatan seperti apa yang bisa memahat memori hingga membentuk dia menjadi seperti sekarang. Alangkah bangga saya kelak (meskipun sudah tidak ada), jika Aria bercerita tentang saya dengan binar mata seperti yang ditampilkan teman saya saat bercerita tentang ibunya.
Beberapa hari terakhir, beredar di wag pesan untuk para ibu yang memiliki anak laki-laki. Inti pesannya kira-kira agar si ibu bisa menyiapkan anak menjadi "suami yang tidak menyebalkan." Suami seperti apa sih, yg tidak menyebalkan buat istri? Saya berharap punya suami yg setia, mau membantu saya dalam rumah tangga dan karier. Jadi tentu saya ingin anak saya menjadi laki-laki seperti idaman saya itu. Betul sekali, tugas saya mengajarkannya, kan? PR saya masih banyak, tentu saja. Mudah-mudahan dengan besarnya cinta yang saya miliki untuknya, Aria bisa belajar menjadi laki-laki yang penuh cinta kasih juga.
"Seingat saya, Ibu kok nggak mengajarkan saya menyapu dan bergiat di dapur. Saya dulu diajari jadi raja, lho," kata teman saya.
"Hmm... kamu nggak sadar ya, kalau Ibu mengajari kamu menjadi laki-laki penyayang?" kata saya.
Dia terdiam, lalu tersenyum. Manis sekali.
Saya pikir, di surga, sang ibu pasti bahagia.
Friday, November 06, 2020
Apa?
Cukup mendengar, lalu langsung menulis. Bisa. Sering terjadi. Ini trik yang biasanya sangat membius para klien rewel. Mereka cukup puas kalau penulis bisa merumuskan sesuatu dengan sangat cepat dalam tulisan yang enak dibaca. Seperti berlomba dengan bayangan (dan jadi pemenangnya). Dan hasil tulisannya juga bermutu, lho. Pilihan diksinya juara, tata bahasanya tanpa cela.
Seandainya mereka tahu, ada kalanya penulis merasa buntu. Kata-kata bagai tercekat, mampat tak bisa dikeluarkan. Seperti jalan tol yang macet total: parkir.
Mungkin memang harus begitu. Supaya semakin paham bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuka hati. Di tengah-tengah jalan cepat, tetap harus ada masa menunggu. Bersabar tanpa pernah tahu batas akhirnya. Menjalani yang di depan mata karena nggak punya pilihan lainnya.
Cukup bersyukur bahwa buntu-buntu itu terjadi kadang-kadang saja. Biasanya kalau banyak sekali gangguan di kepala, atau di hati. Di kepala karena tugas-tugas yang masih antri. Kalau hati biasanya sih karena rindu yang nggak kunjung pergi.
Ah, alasan bisa selalu dicari, ya.
Thursday, November 05, 2020
Merindu Kamu
Di tengah deraan deadline hari ini, tiba2 aku ingat kamu. Ini pasti gara2 playlist spotify.... Hahaha....
Kamu sedang apa?
Sungguh aku ingin kamu ada di sini juga. Membuka laptop di depanku. Bekerja. Ada kamu, selalu seru. Menyenangkan. Krn aku bisa mencuri pandang ke arahmu. Aku tahu... kamu pun sesekali melihatku dari sudut matamu. Kadang mata kita bertemu, lalu kita saling senyum, tersipu.... Ahaha....
Selamat hari ini, hey you.... Sehat selalu, ya.
Wednesday, November 04, 2020
In My Life (With You)
There are places I'll remember
All my life, though some have changed
Thank you for sending this song to me the other day. You know who you are.
Tuesday, November 03, 2020
Your Life, Your Decision
It is okay to forgive people but in the same time deny their access to you. You can do whatever you want in your own territory. You have all the rights. No worries.