Kira2 16 tahun lalu, gue masih ngantor di Kuningan. Masih punya mertua kaya raya, jadi ke mana2 diantar mobil (yg bagus banget, seri yg lbh baru ketimbang yg dipakai CEO perusahaan gue waktu itu) dan supirnya. Tiap pagi rutin ngantor sambil menikmati kehamilan.
Sampai suatu hari di bulan Mei, pulang kantor spt biasa, sampai rumah seperti sudah ditunggu bapak dan ibu (mantan) mertua. Ada apa?
Setelah muter2 cukup lama, bicara ini itu, akhirnya mereka menyampaikan satu berita: bapaknya anak gue minggat.
He has gone.
Dia keluar rumah lewat pintu belakang kira2 tengah hari. Nggak ada yang tahu dia ke mana. Tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati.
Gue ingat sekali waktu itu hanya bisa diam. Memang gue agak lambat bereaksi untuk segala hal. Dan ternyata untuk hal sepenting "suami hilang" pun, reaksi gue cukup lama keluar.
Baru setelah gue mandi, diam di kamar, gue baru paham: I will be alone for then on. All alone.
Dan saat itulah gue baru bisa menangis. Lama. Nggak ada yg tahu. Bayangkan, gue hamil, dan nggak lama lagi akan melahirkan. Dan nggak ada suaminya.
Waktu itu gue sedang dalam tahap konseling ke psikolog. Tadinya buat konseling perkawinan. Tp krn "mempelai pria" melarikan diri... ya udah jadinya bu psikolog itu berubah haluan jadi support gue saja. Oh ya, gue masih ke sana, meskipun sendiri, karena sudah terlanjur bayar bbrp sesi. Kalau ga salah waktu itu masih ada 2 sesi yg tersisa. Gue inget banget, bu psikolog bilang, "Ibu harus segera gembira lagi. Kesedihan akan memicu hormon-hormon, salah satunya kortisol. Masih banyak penelitian tentang hormon ini, tapi saya curiga bahwa hormon kortisol yang masuk ke placenta bisa membuat bayi menyandang autism." Oh no.
Sejak saat itu, gue tidak lagi memikirkan kesendirian. Dan berhasil memecut diri untuk mulai berpikir bahwa ke mana pun ada anak gue yg anak menemani. I am not alone after all.
Semua pun berjalan sebagaimana seharusnya. Alhamdulillah anak gue lahir dengan sempurna. Sehat tak kurang suatu apa. Alhamdulillah wa syukurillah.
Yang ternyata tersimpan di bilik otak gue adalah trauma pada kehilangan. Dlm hal ini kehilangan seseorang. Ketika Bapak meninggal, gue nggak bisa pulang. Tapi gue sempat komunikasi lewat telepon, dan gue paham betul bahwa Bapak pergi. Gue tidak merasa kehilangan, karena gue tahu Bapak tidak hilang. Hanya tugas beliau sudah usai. Ketika (mantan) suami gue pergi, dia menghilang. Nggak bisa dihubungi dan nggak diketahui di mana keberadaannya. Ketika akhirnya sebulan kemudian dia bisa ditelepon, rasanya sih sudah telat. Dalam arti, gue sudah menyimpan kesedihan karena kehilangan di otak gue.
Apa akibatnya?
Sekarang2 ini gue sangat anxious ketika ada orang2 tertentu yg tiba2 hilang dari radar. Mantan pacar salah satunya. Kalau gue nggak bisa menghubungi dia, secara tiba2, gue akan sangat cemas. Dan kecemasan itu menyakitkan hati. Lalu ketika tempo hari ada seseorang yg gue pikir sudah dekat tapi gagal menjadi makin dekat... lalu nggak bisa lagi dihubungi dan tidak lagi menghubungi, gue juga merasakan sakit hati karena kehilangan.
Tapi kehilangan2 itu meskipun cukup meresahkan, bisa tertanggulangi. Biar bagaimana, mereka yang hadir, tetap saja hanya singgah. Selama apa pun, attachment terhadap mereka bisa dihilangkan (meskipun sulitnya setengah mati).
Bbrp hari lalu, Aria pamit mau main ke mall sepulang sekolah. Tapi ternyata sampai gue pulang jam 9, dia blm hadir di rumah. Ditelepon nggak bisa. WA nggak dibalas. Gue panik. Tumben reaksi gue kok lumayan cepat ya. Gue sangat takut kalau dia hilang. Trus gue nangis deh. Nggak tahu juga mau cari dia di mana. Waktu dia akhirnya bisa dihubungi, ternyata dia sudah dekat rumah, naik taksi.
Ya ampun... rasanya separuh nyawa kok sdh entah di mana. Akhirnya malam itu ada adegan drama deh. Ibu anak tangis2an. Lah beneran sedih amat sih membayangkan anak gue hilang (amit2 jabang bayi). Aria juga kayaknya menyesal banget bikin ibunya nangis. Mewek lah kami berdua....
Sejak itu, Aria nggak pernah lagi pergi tanpa bawa power bank yg full terisi.
Tapi gue pun merasa bahwa gue harus belajar detachment. Krn biar bagaimana, tidak ada yg abadi, semua ini titipan Tuhan. Bisa diambil kapan saja. Hmm... baiklah, gue akan belajar. Tp kalau boleh memohon, jangan menghilang, please....
Friday, February 21, 2020
Tuesday, February 11, 2020
Monday, February 10, 2020
Draft Berikutnya 6
"Perasaan progress-nya lama banget."
"Ya... gimana...."
"Sebenernya berminat enggak sih?"
"Kan sudah dibilang... gue enggak punya trauma apa-apa. Gue nggak pengen yang aneh-aneh. Gue nggak pengen yang gimana-gimana...."
"Tapi masak selama ini nggak ada yang nyangkut...."
"Macam-macam alasannya...."
"Pasti... pasti... karena benchmark yang sudah tinggi banget. Gara-gara cowok lu itu...."
"Ya enggak hanya karena itu sih... meskipun... mau nggak mau memang selalu dibandingkan sama dia."
"Nah kan...."
"Ya... tapi gimana...."
"Harusnya mungkin lu lebih... lebih apa ya.... Gimana, gitu?"
"Gimana?"
"Lu kan baik hati. Manis. Penyayang...."
"Rasanya sih bukan tugas gue membuktikan bahwa gue ini seperti yang lu bilang. Ya kan?"
"Ya... gimana...."
"Sebenernya berminat enggak sih?"
"Kan sudah dibilang... gue enggak punya trauma apa-apa. Gue nggak pengen yang aneh-aneh. Gue nggak pengen yang gimana-gimana...."
"Tapi masak selama ini nggak ada yang nyangkut...."
"Macam-macam alasannya...."
"Pasti... pasti... karena benchmark yang sudah tinggi banget. Gara-gara cowok lu itu...."
"Ya enggak hanya karena itu sih... meskipun... mau nggak mau memang selalu dibandingkan sama dia."
"Nah kan...."
"Ya... tapi gimana...."
"Harusnya mungkin lu lebih... lebih apa ya.... Gimana, gitu?"
"Gimana?"
"Lu kan baik hati. Manis. Penyayang...."
"Rasanya sih bukan tugas gue membuktikan bahwa gue ini seperti yang lu bilang. Ya kan?"
Sunday, February 09, 2020
The Devil is in Detail
So. Here. They. Are.
... and when every details lead me to you.... what can I do?
Saturday, February 08, 2020
Draft Berikutnya 5
"Ikut dating apps?"
"Nggak usah melotot. Coba aja. Siapa tahu berhasil."
"Nggak jelas siapa aja yang di situ."
"Di dunia ini memang ada yang jelas?"
"Duh pedes."
"Iya, karetnya dua."
"Bawel."
"Gue kasihan lihat elu sendirian ke mana-mana. Cakep-cakep kok nggak punya pasangan."
"Sialan."
"Seriuuuussss... ayolah daftar aja. Iseng-iseng berhadiah."
"Kalau ketemu scammer?"
"Ya jangan diladenin. Elu kan pinter. Masak nggak bisa bedain scammer sama mas ganteng."
"Matahari gimana?"
"Anak lu? Yah nanti aja dipikir kalau sudah ada mas gantengnya...."
"Nggak usah melotot. Coba aja. Siapa tahu berhasil."
"Nggak jelas siapa aja yang di situ."
"Di dunia ini memang ada yang jelas?"
"Duh pedes."
"Iya, karetnya dua."
"Bawel."
"Gue kasihan lihat elu sendirian ke mana-mana. Cakep-cakep kok nggak punya pasangan."
"Sialan."
"Seriuuuussss... ayolah daftar aja. Iseng-iseng berhadiah."
"Kalau ketemu scammer?"
"Ya jangan diladenin. Elu kan pinter. Masak nggak bisa bedain scammer sama mas ganteng."
"Matahari gimana?"
"Anak lu? Yah nanti aja dipikir kalau sudah ada mas gantengnya...."
Friday, February 07, 2020
I Wish, Over and Over Again
Dalam harapku
Dan inginku
Kau ada di sana
Di setiap langkahku
Dan mimpiku
Kau ada di sana
Mungkin suatu saat nanti
Kau dan aku bersama
Berdua kita jalin kasih
Dalam satu ikatan cinta
Kau dan aku bersama
Berdua kita jalin kasih
Dalam satu ikatan cinta
Tuhan tolong jaga dirinya di sana
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Tuhan tolong jaga dirinya di sana
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Kaulah hasratku
Dan cintaku
Kaulah segalanya
Izinkan diriku
Bersamamu
Karena sesungguhnya
Kurindukan dekapanmu
Kujanjikan setia
Berdua kita jalin kasih
Dalam satu ikatan cinta
Dan cintaku
Kaulah segalanya
Izinkan diriku
Bersamamu
Karena sesungguhnya
Kurindukan dekapanmu
Kujanjikan setia
Berdua kita jalin kasih
Dalam satu ikatan cinta
Tuhan tolong jaga dirinya di sana
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Tuhan tolong jaga dirinya di sana
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Meski ku dan dirinya terpisah jarak dan waktu
Namun kuyakin dirimu hanya untukku
Namun kuyakin dirimu hanya untukku
Tak perlu kau ragu kasih
Kuyakin cinta kita kan abadi dan indah pada waktunya
Kuyakin cinta kita kan abadi dan indah pada waktunya
Tuhan tolong jaga dirinya di sana
Jaga dirinya
Aku menunggu
Hingga dirimu dan diriku
Jaga dirinya
Aku menunggu
Hingga dirimu dan diriku
Tuhan tolong jaga dirinya di sana
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Aku di sini kan menunggu
Hingga diriku dan dirinya
Indah pada waktunya
Indah Pada Waktunya
Thursday, February 06, 2020
Draft Berikutnya 4
Debar dadaku sepertinya begitu kencang, hingga akan terdengar oleh orang yang berdiri di depanku. Aku berhenti di depan pintu restoran Indonesia di sebuah mal. Sekali lagi kubaca pesan singkat di ponselku.
"Saya di meja nomor 31. Baju putih, celana cokelat."
Mataku menyapu seluruh ruang dan dengan mudah menemukan meja yang dimaksud. Itu pasti dia. Dia menyebutkan bahwa tubuhnya tinggi besar. Dan ya, memang betul, sosok itu memenuhi satu kursi, kakinya terlihat terlalu panjang di bawah meja. Wajahnya tak tampak jelas karena penerangan restoran yang remang. Tapi hidung bagus dan kulit putih tetap terlihat dari kejauhan. Tampan.
Aku sedikit ragu. Kuteliti lagi penampilanku. Celana khaki dan atasan putih ini seharusnya tidak mengecewakan. Sneakers sudah kutinggal di mobil. Berganti sepatu tinggi warna pink muda, senada dengan tas tangan kecil dalam genggamanku. Sekilas kuintip pantulan wajahku di kaca pintu. Lumayan lah.
Ini akan menjadi kali pertama kami bertemu, setelah selama sekitar dua minggu hanya saling bertukar pesan pendek. Bagiku, ini juga kali pertama aku bertemu seseorang yang kukenal lewat aplikasi kencan. Belum pernah mengalaminya, aku tak yakin apa yang harus aku lakukan.
"Selamat malam," sapaku saat sudah cukup dekat dengan meja nomor 31. Bagaimana pun, aku berusaha keras terdengar ceria dan ramah, menyembunyikan resah hatiku yang sangat mengganggu.
Dia mengangkat wajah. Senyum lebar segera tersuguh. Duh... tampan sekali.
"Hai. Saya Prasetya. Okay... hmm... kamu sudah tahu nama saya, ya...," dia tampak tersipu, lalu segera berdiri dan mengulurkan tangan. Kami bersalaman. "Have a seat," katanya sambil menarik salah satu kursi untukku.
"Terima kasih," kataku sambil duduk. Setelah membetulkan kursiku, dia kembali ke kursinya. Samar, aroma parfum yang lembut membelai hidungku.
"Sudah pesan makanan?" aku kehilangan kata melihat wajahnya yang jauh lebih tampan ketimbang di foto profil yang selama ini kulihat. Resah, kubuka buku menu untuk menyalurkan debar di dadaku yang semakin kencang.
"Belum. Menunggu kamu," katanya ramah.
"Maaf menunggu. Saya tertahan sesuatu di kantor."
"No worries. Saya belum lama, kok," jawabnya sambil melambaikan tangan pada salah satu pelayan. "Kami mau pesan, mas." Lalu kepadaku, dia berkata, "Kamu jauh lebih cantik daripada fotomu."
Tiba-tiba lidahku seperti kelu.
"Saya di meja nomor 31. Baju putih, celana cokelat."
Mataku menyapu seluruh ruang dan dengan mudah menemukan meja yang dimaksud. Itu pasti dia. Dia menyebutkan bahwa tubuhnya tinggi besar. Dan ya, memang betul, sosok itu memenuhi satu kursi, kakinya terlihat terlalu panjang di bawah meja. Wajahnya tak tampak jelas karena penerangan restoran yang remang. Tapi hidung bagus dan kulit putih tetap terlihat dari kejauhan. Tampan.
Aku sedikit ragu. Kuteliti lagi penampilanku. Celana khaki dan atasan putih ini seharusnya tidak mengecewakan. Sneakers sudah kutinggal di mobil. Berganti sepatu tinggi warna pink muda, senada dengan tas tangan kecil dalam genggamanku. Sekilas kuintip pantulan wajahku di kaca pintu. Lumayan lah.
Ini akan menjadi kali pertama kami bertemu, setelah selama sekitar dua minggu hanya saling bertukar pesan pendek. Bagiku, ini juga kali pertama aku bertemu seseorang yang kukenal lewat aplikasi kencan. Belum pernah mengalaminya, aku tak yakin apa yang harus aku lakukan.
"Selamat malam," sapaku saat sudah cukup dekat dengan meja nomor 31. Bagaimana pun, aku berusaha keras terdengar ceria dan ramah, menyembunyikan resah hatiku yang sangat mengganggu.
Dia mengangkat wajah. Senyum lebar segera tersuguh. Duh... tampan sekali.
"Hai. Saya Prasetya. Okay... hmm... kamu sudah tahu nama saya, ya...," dia tampak tersipu, lalu segera berdiri dan mengulurkan tangan. Kami bersalaman. "Have a seat," katanya sambil menarik salah satu kursi untukku.
"Terima kasih," kataku sambil duduk. Setelah membetulkan kursiku, dia kembali ke kursinya. Samar, aroma parfum yang lembut membelai hidungku.
"Sudah pesan makanan?" aku kehilangan kata melihat wajahnya yang jauh lebih tampan ketimbang di foto profil yang selama ini kulihat. Resah, kubuka buku menu untuk menyalurkan debar di dadaku yang semakin kencang.
"Belum. Menunggu kamu," katanya ramah.
"Maaf menunggu. Saya tertahan sesuatu di kantor."
"No worries. Saya belum lama, kok," jawabnya sambil melambaikan tangan pada salah satu pelayan. "Kami mau pesan, mas." Lalu kepadaku, dia berkata, "Kamu jauh lebih cantik daripada fotomu."
Tiba-tiba lidahku seperti kelu.
Wednesday, February 05, 2020
Draft Berikutnya 3
Aku agak terkejut mendapati berkas-berkas di dalam tas yang ada di jok belakang mobilku. Di kepala suratnya, tertera nama klinik fertilitas ternama. Sekilas saja, aku tahu bahwa itu adalah rekam medis milik pasien. Yang membuatku nyaris tersedak adalah nama yang tertulis di sampulnya: Prasetya Andika. Kemarin, Pras memang meminjam mobilku.
"Jadi kamu masih berminat punya anak?"
"Kamu?"
"Nope."
"Hmm... karena kamu sudah punya...."
"Iya. Mungkin itu ya...."
"Maksudmu?"
"Saya paham kalau kamu masih ingin berusaha. Wajar."
"Memang tidak akan mudah...."
Kami pernah membicarakan hal ini sekilas. Bahkan di beberapa kesempatan. Di antara kopi dan kue keju dan tumpukan pekerjaan. Aku dan Pras memang tidak pernah serius membicarakan kebersamaan kami. Mengapa? Aku tidak tahu. Sepertinya karena kami paham bahwa sebetulnya tujuan perjalanan kami berbeda. Tapi kami sama-sama tak ingin kehilangan kesempatan berdua.
Salah satu perbedaannya adalah tentang keturunan. Dari awal perkenalan, kami tahu, masing-masing dari kami pernah menikah. Bedanya, aku punya Matahari. Sementara Pras belum memiliki anak.
"Saya tidak seberuntung kamu," katanya suatu kali.
"Atau mungkin malah lebih beruntung."
"Maksudmu?"
"Punya anak bukan perkara mudah. Tidak hanya tanggung jawab finansial yang harus dipikirkan, tapi juga perkara mendidik dan membesarkan dia. Lalu menerima dia apa adanya.... Kamu tahu? Anak tidak selamanya membahagiakan kita. Dia kadang melakukan hal-hal yang mengecewakan, membuat kita sedih, yang harus kita hadapi. Bukan hal yang sederhana."
"Saya tahu. Tapi bukankah manusiawi bahwa setiap orang ingin punya keturunan?"
"Ya. Dan saya tahu kamu pasti sudah berusaha."
"Ke klinik, maksudmu? Iya, tapi tahapan penyembuhannya belum selesai."
"Kamu ingin lanjutkan?"
"I don't know."
Menemukan rekam medis itu, aku paham bahwa Pras sedang melanjutkan proses pengobatan alat reproduksinya. Saat itu aku merasa ada sesuatu yang mencubit hatiku. Aku sangat sadar, bukan aku orang yang tepat mendampingi Pras di masa depan, jika ia masih menginginkan memiliki darah dagingnya sendiri.
"Jadi kamu masih berminat punya anak?"
"Kamu?"
"Nope."
"Hmm... karena kamu sudah punya...."
"Iya. Mungkin itu ya...."
"Maksudmu?"
"Saya paham kalau kamu masih ingin berusaha. Wajar."
"Memang tidak akan mudah...."
Kami pernah membicarakan hal ini sekilas. Bahkan di beberapa kesempatan. Di antara kopi dan kue keju dan tumpukan pekerjaan. Aku dan Pras memang tidak pernah serius membicarakan kebersamaan kami. Mengapa? Aku tidak tahu. Sepertinya karena kami paham bahwa sebetulnya tujuan perjalanan kami berbeda. Tapi kami sama-sama tak ingin kehilangan kesempatan berdua.
Salah satu perbedaannya adalah tentang keturunan. Dari awal perkenalan, kami tahu, masing-masing dari kami pernah menikah. Bedanya, aku punya Matahari. Sementara Pras belum memiliki anak.
"Saya tidak seberuntung kamu," katanya suatu kali.
"Atau mungkin malah lebih beruntung."
"Maksudmu?"
"Punya anak bukan perkara mudah. Tidak hanya tanggung jawab finansial yang harus dipikirkan, tapi juga perkara mendidik dan membesarkan dia. Lalu menerima dia apa adanya.... Kamu tahu? Anak tidak selamanya membahagiakan kita. Dia kadang melakukan hal-hal yang mengecewakan, membuat kita sedih, yang harus kita hadapi. Bukan hal yang sederhana."
"Saya tahu. Tapi bukankah manusiawi bahwa setiap orang ingin punya keturunan?"
"Ya. Dan saya tahu kamu pasti sudah berusaha."
"Ke klinik, maksudmu? Iya, tapi tahapan penyembuhannya belum selesai."
"Kamu ingin lanjutkan?"
"I don't know."
Menemukan rekam medis itu, aku paham bahwa Pras sedang melanjutkan proses pengobatan alat reproduksinya. Saat itu aku merasa ada sesuatu yang mencubit hatiku. Aku sangat sadar, bukan aku orang yang tepat mendampingi Pras di masa depan, jika ia masih menginginkan memiliki darah dagingnya sendiri.
Tuesday, February 04, 2020
Draft Berikutnya 2
"Jadi kami terpaksa berhenti di tempat itu, lalu susah payah memundurkan mobil yang terjepit. Ah... siapa bilang kompas digital memudahkan hidup? Beberapa kali kami disesatkannya!"
Pras tergelak. Mengenang kembali perjalanannya Jakarta-Bali mengendarai mobil.
Mengamatinya ketika bercakap, melihat matanya mengerjap berbinar... aku tak bisa membendung gembira akibat tertular keceriaannya. Sulit menahan rasa di dadaku. Apa nama rasa itu? Terasa seperti ribuan kupu-kupu terbang keluar dari dalam dada. Tiba-tiba aku merasa ujung-ujung jariku kebas. Ini apa?
Rasanya sudah lama sekali saat aku terakhir merasakan hal ini. Duduk bersisian. Tertawa bersama. Membiarkannya menggenggam tanganku. Hatiku terasa aman dan tenteram. Getar rasa ajaib itu lalu menjalari bahu, hingga punggungku. Membuatku ingin bersandar. Sambil tersenyum.
Tiba-tiba aku ingat lagi apa nama rasa itu: bahagia.
Pras tergelak. Mengenang kembali perjalanannya Jakarta-Bali mengendarai mobil.
Mengamatinya ketika bercakap, melihat matanya mengerjap berbinar... aku tak bisa membendung gembira akibat tertular keceriaannya. Sulit menahan rasa di dadaku. Apa nama rasa itu? Terasa seperti ribuan kupu-kupu terbang keluar dari dalam dada. Tiba-tiba aku merasa ujung-ujung jariku kebas. Ini apa?
Rasanya sudah lama sekali saat aku terakhir merasakan hal ini. Duduk bersisian. Tertawa bersama. Membiarkannya menggenggam tanganku. Hatiku terasa aman dan tenteram. Getar rasa ajaib itu lalu menjalari bahu, hingga punggungku. Membuatku ingin bersandar. Sambil tersenyum.
Tiba-tiba aku ingat lagi apa nama rasa itu: bahagia.
Sunday, February 02, 2020
Draft Berikutnya
Nomornya berpendar di layar ponsel. Segera kujawab dengan senyum lebar.
"Halo!"
"Mau makan siang sama saya?"
"Mau!"
Jawaban yang keluar dari mulutku lebih cepat dari kemampuan otakku berpikir dan mencerna pertanyaannya.
"Share location, ya. Saya jemput."
Dan tak berapa lama, hanya cukup memberi waktu bagiku mengganti baju saja, hadirlah dia di depan rumahku. Memarkir mobil dengan rapi, lalu turun tanpa mematikan mesin. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus kemeja warna hitam. Kacamata hitam bertengger di wajahnya. Tampan.
"Kamu mau masuk dulu?"
"Nggak. Kita langsung saja. Nggak ada Ibu, kan?"
"Nggak. Ya lalu kenapa turun?"
Pertanyaanku mengambang di udara.
Setelah memastikan aku mengunci pintu, dia gandeng tanganku. Membukakan pintu kendaraan, lalu menungguku masuk mobilnya sebelum menutup pintu dan berjalan ke balik kemudi.
"Itu kebiasaan saya."
Aku terpana. Hatiku tercuri sudah. Seluruhnya.
"Halo!"
"Mau makan siang sama saya?"
"Mau!"
Jawaban yang keluar dari mulutku lebih cepat dari kemampuan otakku berpikir dan mencerna pertanyaannya.
"Share location, ya. Saya jemput."
Dan tak berapa lama, hanya cukup memberi waktu bagiku mengganti baju saja, hadirlah dia di depan rumahku. Memarkir mobil dengan rapi, lalu turun tanpa mematikan mesin. Tubuhnya yang tinggi besar terbungkus kemeja warna hitam. Kacamata hitam bertengger di wajahnya. Tampan.
"Kamu mau masuk dulu?"
"Nggak. Kita langsung saja. Nggak ada Ibu, kan?"
"Nggak. Ya lalu kenapa turun?"
Pertanyaanku mengambang di udara.
Setelah memastikan aku mengunci pintu, dia gandeng tanganku. Membukakan pintu kendaraan, lalu menungguku masuk mobilnya sebelum menutup pintu dan berjalan ke balik kemudi.
"Itu kebiasaan saya."
Aku terpana. Hatiku tercuri sudah. Seluruhnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)