Thursday, July 04, 2019

Tentang Rumput Tetangga

Semalam ada percakapan menarik antara gue dan adik ipar… yg sampai skrg masih satu2nya hahahaha… OOT…. 

Jadi si adik ini bekerja untuk orang yg gue kenal baik. Hmm… namanya Susi aja ya. Dan gue kenal Susi sudah lama… jd gue lumayan paham kondisi dia, bahkan kenal personal dgn anggota keluarganya, yg ya nggak banyak sih, hanya dia, suami, dan anak. 

Gue kenal anaknya, anggap namanya Citra, anak tunggal, perempuan, sejak anak itu SD. Masih kecil sekali. Spt juga gue dan Aria, Citra sering diajak ibunya ke tempat kerja, atau menyelesaikan pekerjaan. Dan kebetulan ibunya banyak berhubungan dengan seni, klop sama minat Citra. Gue ga terlalu heran waktu Citra lalu masuk kelas menggambar. Lalu suatu saat gue lihat dia menggambar manga yang bagus banget. Bahwa akhirnya dia masuk sekolah seni rupa terbaik di Indonesia, gue merasa sudah seperti seharusnya begitu. 

Sementara Susi juga semakin bersinar… masuk dunia politik dan berpendar luar biasa di sana. Gue pernah diajak utk bergabung dgn tim Susi. Baru coba2 aja rasanya gue ga tertarik. Pernah ikut sampai ketemu bapak (waktu itu) capres. Nunggu dari jam 8 malam, baru bisa jumpa jam 12. Dan waktu ketemu itu kok menurut gue cuma ngomong utara selatan nggak ada tujuan hidup. Hmm… apa krn gue sdh terlanjur ngantuk? Intinya, gue nggak tertarik dgn kondisi itu. Jadwal kerja kok nggak jelas. Ya mungkin duitnya banyak… it is just not for me.

Kemarin bahasan masuk ke kondisi finansial Susi yang semakin membaik sejak terlibat dalam politik. Lalu krn Jokowi menang lagi, Susi pun “menang” lagi. 

“Wis mulyo, Mercy ganti anyar… byar…,” kata adik ipar gue. 

Weleh… sementara gue ganti si kentang dgn yg mudaan aja seneng bukan main, gimana rasanya ganti Mercy? 

Tapiiiii… lalu terbukalah cerita lbh lengkap… . 

Jadi bbrp tahun terakhir, Susi bekerja keras atau dituntut bekerja lebih keras, yg ternyata berimbas pd anaknya. Mendampingi remaja tumbuh dewasa memang nggak mudah. Dan dgn kesibukan yg segudang, semakin sulit lagi bagi Susi utk pegang anaknya. 

Lalu anak ini pacaran dgn orang asing. Dan pergi ke negara pacarnya. Aman? Sampai sini tampaknya ya. 

Masalah baru ada ketika Citra putus dari pacarnya. Dia patah hati. Berkepanjangan. Sampai nyaris depresi. 

Dan… Citra minggat. 

Susi tentu panik. Mau cari ke mana? Trus mau nyari juga gimana caranya, sementara klien sedang rusuh2nya. Suami berusaha juga. Maksimal. Mengerahkan semua sumber daya yg dipunya. Kisruh. Rusuh. 

Alhamdulillah akhirnya ketemu, setelah bbrp lama. Dan skrg Citra hrs rutin konsultasi ke psikiater untuk menenangkan jiwanya. 

Kalau denger yg begini… gue akan settle dgn apa pun yg gue punya skrg.  Anak sehat selamat. Nggak usahlah pakai Mercy kalau hrs melewati acara anak hilang segala macam. Cukup. Sampun. Matur nuwun Gusti Allah. How it is true that most of the time we only see something just as we see an iceberg. We see only the beauty of it afloat, while what we don’t see beneath is something bigger and –might be- crazier and dangerous. 

Maybe the grass in greener in other's house, but trust me, we do not know how much the owner of that house spent for the grass. And it might be too expensive. 

No comments: