Monday, January 14, 2019

Draft 3

Dari jauh, senyummu terlihat mengembang. Aku melihat binar matamu. Mungkin, hal yang sama kamu lihat terjadi juga padaku ya. Mata berbinar ketika bertemu dengan yang disayang. Wajah yang seketika menjadi lebih cerah.

"Hey you...." Kecupan di dahi. Lembut. Hangat. Hal yang pernah sangat kurindukan. "So... how are you?"

Aku tidak menjawab karena kamu belum melihatku sepenuhnya. Pada waiter yang mengantarmu ke mejaku, kau mendiktekan beberapa pesanan. Udang goreng tepung. Brokoli cah jamur. Es jeruk. Pasti. Menu yang kuhapal karena sudah kau pesan ribuan kali bersamaku. Lalu kau duduk.

"Ok... how are you?" Kau ulang lagi pertanyaan itu.

Aku tersenyum.

"Oh my God... that smile, your smile...," kamu mendesah. Aku salah tingkah.
"Anything new?"

"Hmmm... how can I say this...," aku sungguh mencari kata-kata yang tepat. "Thank you for giving me the advice so I took that offer." Aku memilih menceritakan perihal pekerjaan lebih dulu.

Beberapa bulan lalu, aku mendapat tawaran ini. Tentu saja kau menjadi yang pertama kali tahu. Dan mendukung sepenuhnya. Justru aku yang ragu. Apa aku mampu? Lalu tak lama, melalui video call, karena kau sedang di negara lain,  kau ajari aku bernegosiasi. Agar tempat baru mau memberi kompensasi ini itu, termasuk beasiswa pendidikan di tempat bermutu. Jadi, kepindahanku ke tempat baru sungguh sangat menguntungkan kedua belah pihak. Dan kau benar, aku sangat menikmati pekerjaan ini. Menyenangkan.

"See... they should value you more. Aku senang kalau kamu lebih gembira sekarang."
"Tapi pekerjaannya banyak sekali, membuatku sulit bernapas."
"Ya... itulah perusahaan rintisan... di mana-mana akan seperti itu."

Lalu kau ceritakan pengalamanmu. Di perusahaan Jepang. Perusahaan Jerman. Perusahaan Inggris. Seru. Berbincang denganmu selalu menambah pengetahuan. Kamu memang selalu seperti ensiklopedia berjalan.

Aku ingat ketika pertama kali mengenalmu. Kapan ya itu? 14 tahun lalu?
Tiba-tiba namamu muncul di jendela percakapan yang baru saja aku unduh. Ahaha... ternyata kita pun "korban" dunia digital. Kamu dan aku yang tidak saling kenal pada awalnya, toh akhirnya bisa menjadi dekat dan kemudian bersama-sama melangkah.

Masa awal mengenalmu, aku kau buat jatuh hati habis-habisan. Bagaimana tidak? Kau seperti sumber ilmu yang tidak ada habisnya. Apa saja yang kau ketahui? Ketika aku kebingungan mencari materi untuk sebuah tulisan tentang kesehatan, kau datang dengan ide dan masukan yang sangat berguna. Ah.... Ide tulisan hanya satu saja dari kelebihanmu. Yang lain? Masih banyak! Dari urusan pekerjaan hingga pengasuhan anak. Atau masalah bos lemes dan kolega gembel... semua seperti bisa kau bereskan. Termasuk mengajakku menjadi lebih relijius mendalami agama.

Sungguh membuatku benar-benar terpikat.

Tapi memang rupanya, kau bukan untukku. Rasanya seperti disambar petir ketika mendengarmu ternyata pada akhirnya tidak memilih aku. Hmm... aku bukan orang yang suka memaksa. Kalau kamu memang tidak mau, ya tidak apa-apa.... Aku kecewa? Tentu saja. Tapi siapa pun yang kau pilih, aku bisa apa?

Herannya, kamu seolah enggan beranjak. Kamu tetap hadir, meski secara fisik tak lagi sesering dulu. Kamu tetap mengirim bunga di saat-saat istimewa. Kamu tetap memberi kejutan-kejutan sebagai penggembira, meski tidak hadir secara nyata. Dan... kamu tetap cemburu ketika aku dekat dengan seseorang. Maksudmu apa?

"Will you leave me?"
"As you wish."
"Tapi kok datang lagi?"
"Nggak boleh?"

Tapi sepertinya, kali ini harus berbeda. Harus ada grand closure. Karena kita tahu, yang kita lakukan tidak akan ada ujungnya. Dan hanya semakin menyakitkan hati saja. Lalu kau pun memenuhi permintaanku untuk berjumpa. Tanpa kau tahu, aku merencanakan bahwa inilah pernjumpaan terakhir kita.

"And how is life?" Sepertinya kamu tahu bahwa aku akan menceritakan sesuatu.
"Life is good."
"In terms of...."
"I met someone."
"Oh... ok...."
"And I think I like him."
"You think?"
"He helped me solve some problems at new office."
"Hmm...."
"And he knows everything... he has answers to all of my questions."
"Hmm...."
"Romantic in his own way. Caring and so on."
"Ok... so... those flowers... those were from him?"
"Haha... lihat di Instagram, ya? Isn't that cute? You used to be the one sending me flowers, and now he continues what you did...."

Aku tiba-tiba teringat bunga-bunga yang kau kirim ke kantor. Bertubi-tubi. Membuatku merasa jadi perempuan paling penting di dunia. Menjadi yang paling dicinta. Harus aku akui, rasa itu masih sama. Tapi aku tahu, perasaan itu harus aku bunuh perlahan.

"Do you meet him regularly?"
"Nope. He works in remote area. Somewhere in the east. We always joke that he lives a life of Crocodile Dundee. He is only able to go home once in every other month and he needs to divide the break time he has between visiting me and visiting his sons."
"Seems familiar...."
"Yeah... you know... the life of a site engineer..."
"Been there, done that."
"What? The work? Or the date?
"Both...."
"Hehehe... I knew. He is just like you.... years ago.... Still remember the midnite driving, huh?"
"And those stops at a coffee joint? How can I forget that?"
"Those were our past...."
"Those were proof of love."
"Still...."
"Hmmm...."
"But seriously, I am thinking of trying to make this work with him."
"Maksudmu?"
"Yaaaa.... aku mau coba... untuk memikirkan ini secara serius."
"Did he propose?"
"Ah... ya belum...."
"He will...."
"Maybe...."
"You already decided...."
"I did."

Kamu hanya menatap. Aku tidak mau melihat luka di matamu. Tahukah kamu jika aku pun susah payah menyembunyikan luka hatiku? Sudah cukup. Ini saatnya aku melanjutkan perjalananku. Tanpa kamu. Ini tidak ada hubungannya dengan rasa yang kupunya untukmu. Aku hanya ingin melangkah.

"So, what do you want from me?"
"I think you know what to do."
"Boleh nggak sih, berlagak bego saja?"
"Jangan. Nanti bego beneran."

Lalu kita tertawa bersama. Menertawai luka di hati kita masing-masing. Luka yang mungkin tak tersembuhkan. Yang sakitnya justru kita nikmati sebagai milik kita yang berharga. Bukti cinta yang tiada habisnya. Tapi kupikir, aku juga perlu memberi diriku kesempatan lain. Dan kupikir, juga kurasa, dia adalah orang yang tepat untuk diberi kesempatan.





1 comment:

Anonymous said...

Read... Repeat... Read... Repeat...
Scarry that the story was telling what would happen, so it must be scripted to happen ..., except the last part. There's no laughter..
Only pinch in the heart, and another pinch.... Continuous pain...