Beberapa orang yang keluar dari mesjid usai sholat Subuh menganggukan kepala pada kami.
"Bade tindak pundi, Bu?" seseorang menyapa kami dengan ramah.
Ketika saya katakan bahwa kami sedang mencari tempat sembahyang, segera dia antar kami ke mesjid kecil. Satu-satunya di wilayah itu, bersebelahan dengan gereja. Dia tunjukkan pula tempat wudhu, dengan melepaskan sumbat yang tertempel di sebuah guci besar. Dia lalu mengatupkan tangan di dada, pamit.
"Matur nuwun."
Saya nikmati kesegaran pagi di tempat itu. Air wudhu yang membasuh kepala bisa mengusir kepenatan saya. Kesegaran udara memenuhi paru-paru saya. Selesai berdoa, kesunyian di ketinggian 1720 meter melingkupi saya.
"Tempat ini luar biasa." Suaranya memecah hening. "Coba lihat ke luar. Kalau langit cerah, akan tampak bayangan gunung di sekitar. Ada enam. Atau tujuh, ya? You have to see, it is magical," tambahnya.
Saya kenakan alas kaki sebelum menyambut gandengan tangannya. Dia bimbing saya menuju jalur pendakian terdekat. Sebagai pecinta alam, kawasan di dalam Taman Nasional ini tentu ia akrabi.
Betul katanya, pemandangan sekitar kampung kecil itu luar biasa mencengangkan. Matahari terbit mengantar sinar cemerlang ke langit. Pagi itu, saya melihat Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Telomoyo. Tiga lainnya tampak mengintip dari balik kabut yang perlahan pudar.
"Tunggu sampai semua kabut terangkat...."
Ketika kami duduk di sebuah luasan tanah, menghadap salah satu gunung, matahari sudah naik seutuhnya. Seluruh gunung di sekitar kami menampakkan diri. Megah. Saya dengar dentang lonceng dari gereja di sebelah mesjid, menunggu jemaah ibadah Minggu. Gema lonceng terdengar hingga jauh. Gaung yang terbawa angin, meninggalkan suasana syahdu dalam kalbu.