Bagaimana bisa bahagia, kalau sedih aja nggak tahu rasanya?
Kira2 begitulah kesimpulan (dan ada sih dialognya) dari film Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini yg kemarin gue tonton sm Aria. Film yg bagus, adaptasi dari buku yg juga bagus. Sutradara juara banget. Angle kamera jempolan. Nonton di premiere. Puas.
Film ini akhirnya membuka diskusi yg lumayan serius (tp kocak) dgn anak gue. Terutama tentang cara keluarga handling things.
"What if someday your dad comes and says he is sorry for all the mess?"
"Hmmm... if he ever comes, I'll ask about my right."
"What is that?"
"You know, my right. I am entitled of certain amount of money he should provide. So that will be my first question."
"Matre, kamu."
"Itu hakku, mamiiiiiii...."
"But do you think it is a mess? This situation?"
"Hmm... it will be a mess when you can't provide me with things. I am okay, so far."
Alhamdulillah kalau Aria baik2 saja. Memang kata seorang teman, kalau anak satu, standardnya akan beda. Ya juga sih. Toh semua resource tersedia buat dia seorang saja. Tujuan utamanya: dia bahagia.
Intinya, seringkali memang orang mengabaikan perasaan. Sedih. Marah. Luka. Bahagia. Semua diperlakukan sama saja. Ketika sedih, bukannya dirasakan lalu dikenali perasaannya, tapi dipendam. Ketika marah, bukan dicarikan solusi, tapi diabaikan. Ketika luka, bukan dicari sumbernya lalu diberesin, tapi ditutupi. Bahkan ketika bahagia, tidak dirasakan dengan sukacita, tapi dibiarkan berlalu seolah itu hal biasa. Jadinya hidup terasa datar saja. Kayak nggak ngapa2in.
Padahal, semestinya hidup itu dirayakan.
Mungkin gue memang harus mempelajari lagi perasaan2 gue. Sama ketika dulu ngajarin Aria tentang emosi. Sedih itu gimana? Harus diapain? Gembira itu apa? Harus ngapain? Karena skrg ini gue mulai merasa hidup yg datar saja. Lurus tanpa ekspresi.
Beberapa hari lalu, Aria selesai internship nggak pulang ke rumah, tapi ke kantor Palmerah. Dia cerita nggak dapat TransJ dan cari jalan ke stasiun Kebayoran. Tp lalu commuter line penuh sekali, jadi dia naik yg ke Palmerah. Oh how I was so proud he could find his way commuting by himself. Pilihan ke Palmerah memang nyenengin sih... wifi kenceng dan banyak ransum. Cocok buat ABG yg dalam masa pertumbuhan hahaha.... Yg juga menyenangkan adalah di jalan pulang kami bisa bercerita macam2. Dari mulai Korean wave sampai curhat percintaan yawlaaaaa.... "Ibu, jangan lupa bahwa peraturan masih sama, ibu punya pacar, atau menikah lagi, berarti aku ganti handphone." Tobat.
But I was beyond happy to find time to talk to him. Pulang bareng Aria itu meyakinkan gue bahwa bahagia itu nggak harus dicari di mana2. Cukup bisa bareng sama yg disayang aja, juga sudah bahagia. Semua kesempatan hrs disyukuri. Lalu segala kemudahan dan kegembiraan juga hrs diterima dengan syukur. Semoga bisa lebih mudah berbahagia. Alhamdulillah.
No comments:
Post a Comment