Tuesday, March 15, 2005

Aku dan Malaikat Kecilku

Kumatikan mesin mobil, kututup garasi dan pagar. Setelah melepas sepatu aku masuk rumah. Pengasuh anakku tampak di depan televisi. Sudah pukul sembilan.

"Dia sudah tidur?"
"Sudah."
"Hari ini minumnya banyak?"
"Cukup banyak. Dan tidak muntah."

Aku segera mandi. Melepaskan penat setelah seharian bekerja dengan kucuran air hangat dan buih sabun lembut. Entah mengapa situasi kantor akhir-akhir ini sangat tidak bersahabat. Nampaknya ada saja yang harus aku bereskan. Makan waktu hingga senja makin pekat, membuatku harus berlama-lama meninggalkan permataku di rumah. Belum lagi kemacetan lalu lintas yang seringkali tak tertahankan, nyaris membuatku putus asa.

Mandi membuatku merasa lebih segar. Sekaligus juga merasa ingin segera beristirahat. Kuambil buku yang sedang kubaca. Rasanya sudah berminggu-minggu aku tak menyentuhnya. Hmm... aku mulai agak lupa jalan ceritanya. Kusambar segelas air, lalu masuk ke kamar yang kutempati berdua bayiku. Perlahan-lahan kurebahkan tubuh, takut mengganggu buah hatiku yang terlelap sambil telungkup. Sejujurnya aku ingin memeluk dan menciumnya. Setelah seharian berpisah, rasanya aku ingin mendekapnya dan tak melepasnya lagi. Tapi aku tak ingin mengganggu mimpi indahnya.

Kunyalakan lampu baca. Namun sebuah gerakan halus menuntun mataku melihat ke tempat tidur bayiku. Ternyata dia sedang melihat ke arahku. Matanya yang kecil bulat menatap tak berkedip. Kepalanya disangga dua tangannya yang gemuk. Aku merasa bersalah karena ternyata gerakan pelanku tetap membuatnya terjaga. Namun rupanya ia bangun bukan karena itu. Perlahan-lahan bibir mungilnya merekah, membentuk senyum manis. Menampilkan gusi tanpa gigi. Wajahnya segar, tidak mengantuk. Menularkan kesegaran kepadaku. Kantukku menguap. Penatku mendadak lenyap. "Uh... uh...," terdengar suaranya yang lembut.

Segera kuhampiri dia, kuangkat tubuh mungilnya. Kupeluk sepenuh hati. Tangan montoknya melingkar di leherku. Pipinya melekat di pipiku. "Uh...," gumamnya lagi.

"Halo, sayang."
"Huh huh huh."
"Kok bangun?"
"Huh huh huh."
"Maaf ya Ibu pulang malam."
"Huh huh huh."
"Mau bobok lagi?"
"Huh huh huh."
"Bobok di kasur Ibu atau di kasurmu sendiri?"
"Huh huh huh."

Kucoba mengembalikan dia ke tempat tidurnya. Tapi pelukannya makin erat. Akhirnya kubiarkan ia tetap rebah di bahuku. Kugumamkan lagu -entah apa- sambil mengayun perlahan, sekedar menimangnya. Masih sempat kudengar gumamnya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia terlelap lagi. Tangannya tetap melingkar erat di leherku, seolah khawatir kutinggalkan. "Ibu sayang Aria," bisikku. Seolah mendengar, reaksinya adalah makin erat memeluk. Kepalanya makin lena.

Tak berapa lama, nafas anakku mulai terdengar teratur. Memompakan oksigen ke paru-parunya, juga meniupkan semangat ke tubuhku. Membuatku percaya diri menyambut hari esok, yang kutahu bakal melelahkan. Pekerjaan yang menguras tenaga, tapi sedikit pun aku tak keberatan melakukannya demi malaikat kecilku. "Sleep tight, my angel. I love you."

8 comments:

Anonymous said...

how sweet...

mommy-doll said...

adu dian, mata gue sampe berair. hiks.
kiss buat aria ya...take care!

neenoy said...

sweet :)

Nauval Yazid said...

si kecil aria sudah dalam lindungan dan pelukan ibu nya yang penuh cinta dan kasih sayang.
betapa beruntungnya dia :)

tukangpot said...
This comment has been removed by a blog administrator.
tukangpot said...

aku hampir nangis bacanya.. jadi pengen punya... hiks...

-chrysalic- said...

aria, maaf ya bundanya tante culik sampai malam hari jum'at. lain kali kita jalan jalan bareng ya.

selamat pelesir ke Singapore, sayang... :)

Anonymous said...

moenk:
hiks...terharu...what a sweet moment...