Thursday, April 28, 2022

Standard & Expectation

Di posting yang lalu, saya sudah menyebut soal beberapa orang yang saya kenal dari dating site dan menjadi teman ngobrol sampai saat ini. Tidak sekadar ngobrol, ada yang akhirnya jadi freelancer untuk kantor saya dan ada juga yang bersedia membantu Aria saat perlu mentor untuk tugasnya. Intinya, masih ada kok orang-orang baik di sana. 

Percakapan dengan mereka sangatlah random. Tapi baru-baru ini, ada yang bertanya, apakah saya memang masih butuh pendamping? Saya tanya alasannya bertanya. 

"Karena sepertinya lu ga butuh siapa-siapa. Lu dipuji aja nggak mempan. Ngerayu lu pasti susah minta ampun."

Saya ngakak. 

Bisa jadi, itu gara-gara dia. Selama saya menjadi singlemom, mungkin separuh perjalanan ada dia yang menemani saya. Seseorang yang baik hati. Tak hanya manis budi, dia pun cerdas luar biasa, taat beragama, dan selalu mau membantu saya. Saya bisa bilang bahwa dialah yang menuntun karier saya hingga seperti sekarang. Tanpa basa-basi berlebihan, dia akan datang dan membereskan hal-hal yang sekiranya memberatkan hidup saya, di kantor atau di rumah. Bantuannya sering hadir tanpa diminta. Belum lagi kejutan, kecil atau besar, yang sering dia buat. Intinya dia sudah mencuri hati saya habis-habisan. 

Si pencuri hati ini sekaligus juga membuat sebuah standard soal laki-laki yang saya pikir sepatutnya ada di sisi saya. 

Ketika akhirnya kami tidak bisa bersama, dia pergi. Tapi, standard yang dia susun tertinggal di kepala saya. 

Sejak itu, belum pernah saya menemukan lagi seseorang yang bisa memenuhi semua standard yang saya buat gara-gara dia. Bisa dibilang, misalnya di daftar ada 7... nilai tertinggi yang bisa dicapai laki-laki setelahnya -sampai hari ini- paling hanya 4. Hehehe.... 

"Tapi, lu mesti nurunin ekspektasi kalau masih mau cari suami."

"Setuju. Gue udah gak berharap apa-apa kok. Tapi kalau misalnya nih, ada yang deketin gue, trus nggak oke. Ya masak gue terusin? Ekspektasi boleh turun... standard sih kayaknya jangan yaaa...." 

"Harus milih sampai segitunya?"

"Ya... gue beli sepatu aja lama, apalagi pilih suami."

Gantian dia yang tertawa ngakak susah berhenti. 

"Cah edan, suami disamain sama sepatu."


No comments: