Tuesday, April 20, 2021

Makan Buah Biar Sehat

“Mas, mau pepaya satu, yang ukuran sedang. Lalu jeruk yang kecil-kecil… berapa harganya per kilogram?”

“Jeruk kecil sedang mahal, Non. Lima puluh ribu!”
“Ya ampun, mahalnya…. Ya sudah. Jeruk satu kilo, pepaya satu buah….”
“Buah naga, nggak mau?”
“Ya boleh. Satu saja, ya.
”Apa lagi? Semangka?”
“Oh ya. Mau!”
“Siap!”
Aku segera memilih buah-buah yang diminta. Khusus untuk pelanggan satu ini, kantong plastik hanya boleh satu saja, yang besar. Seringkali bahkan dia membawa kantong belanja sendiri.
“Jangan kebanyakan pakai plastik, Mas! Polusi!” katanya suatu hari.
Hari ini dia sepertinya lupa membawa tas belanja, akhirnya pasrah menerima kantong plastik dariku.
“Total Rp120 ribu ya, Non. Bonus jambu kristal buat Non.”
“Wah, terima kasih, Mas!”
Dia mengulurkan uang. Tersenyum. Mengucapkan terima kasih lagi, dan menutup jendela. Lalu menjalankan mobil merahnya. Aku selalu suka caranya berbelanja: tidak turun dari kendaraan, tapi juga tidak ribut menawar ini itu. Dia hanya menyebutkan yang dia mau, menunggu, lalu membayar. Beres. Sesekali dia berkomentar soal harga buah-buahanku yang menurutnya mahal. Tapi toh dia tetap bayar tanpa menawar. Sambil tertawa-tawa pula.
“Orang kaya itu,” kata Sakera.
“Atau orang baik hati,” sanggahku.
“Orang baik hati yang kaya,” Sakera tertawa.
“Cantik lagi…,” tanpa sadar aku melanjutkan.
“Oalah Mo… Padmo… ojo nganti kowe tresno. Iso sengsoro awakmu!”
“Tresno opo to?”
“Haaaa kuwi… matamu mengatakannya…, “ Sakera menirukan syair lagu dangdut. “Kemarin kamu kasih dia bonus apel. Tadi jambu kristal. Jaaaan… cinta memang buta… rugi dikit nggak apa-apa….”
“Hus!”
Sakera tertawa panjang. Sialan. Aku cuma tertawa masam, mengeplak kepalanya dengan karton kemasan buah pir. Soalnya memang hatiku rasanya beda. Setelah melayani si Nona, aku pasti gembira.
Tadi, mobil merah itu berhenti lagi di depan warung buah kami.
“Padmo! Padmo!”
“Opo to?”
“Itu… kekasihmu… Nona manis pujaan hatimu,” Sakera kedip-kedip menyebalkan.
“Wasuuuuu,” teriakku sambil buru-buru memakai sandal. Aku siapkan senyum paling menawan sambil menghampiri jendela yang terbuka. Wah, tumben dia tidak menyetir sendiri.
“Mas! Mau pisang ambon.”
“Apa lagi, Non? Sawo lagi bagus-bagus, lho.”
“Oh ya? Ya deh, sawo satu kilo ya.”
“Siap. Apa lagi, Non?”
Dia menengok ke yang di belakang kemudi. Ada sosok laki-laki tampan. “Sayang, kamu mau apa?”
Tiba-tiba hatiku nyeri. Aku tidak mendengar jelas apa yang mereka percakapkan. Dari tempatku berdiri, kulihat laki-laki itu tertawa sambil mengelus tangan kiri si Nona. Yang lalu tertawa senang. Saat wajahnya berbalik ke arahku, sisa tawanya masih ada. Aduh. Sakit hatiku.
“Tambah belimbing, Mas. Satu kilo, ya. Ada yang mau nurunin tensi he-he-he.”
Aku seperti menjelma robot. Tidak menyahutinya, langsung berbalik menyiapkan pesanannya. Apa tadi? Pisang ambon? Sawo? Belimbing? Hmm… belimbing untuk “si sayang”, apa perlu aku ambilkan yang busuk saja?
“Ini, Non. Semua Rp85 ribu.”
“Ok. Tunggu, Mas.”
“Nanti dulu. Coba hitung ulang dulu, Mas. Kok mahal sekali, buah hanya sedikit begitu?” Suara laki-laki itu. Kaku.
Aku jadi emosi. Dia pikir aku menipu? “Gimana, Non?”
Kulihat perempuan itu sudah mengeluarkan uang dari dompet. Gerakannya terhenti. Ragu.
“Mas, hitung dulu! Sepertinya salah, deh.” Suara laki-laki itu lagi. Galak. Penuh perintah.
Tanpa sadar, aku melotot.
“Tolong hitung lagi ya, Mas, takut salah…,” yang di depanku berkata sambil tersenyum. Senyumnya seperti seember air yang diguyurkan ke kepalaku. Mendinginkan hati. Meredakan marah.
“Pisang ambon Rp30 ribu. Sawo Rp25 ribu. Belimbing Rp30 ribu.”
“Ok. Pas Rp85 ribu,” katanya sambil mengulurkan uang. Senyumnya masih tetap ada. “Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama, Non.”
Jendela mobil menutup pelan-pelan. Aku menunggu mobil berlalu.
“Buah begitu saja kok mahal sekali. Kamu harus belajar menawar. Kalau kamu diam saja, percaya saja sama harga dari penjual, suamimu ini bisa melarat tiba-tiba. Jangan-jangan bulan depan penjualnya naik haji. Kok dia panggil kamu ‘non’… dia pikir kamu masih anak kuliahan apa ya?”
Ooohh…. “si sayang” itu suaminya. Sibuk menasihati istrinya. Samar. Tapi aku dengar. Apa katanya? Dia jatuh miskin dan aku naik haji? Hanya gara-gara membayar buah daganganku Rp85 ribu? Lalu, aku tidak boleh panggil “non”? Huh.
Kubanting uang Rp85 ribu di depan Sakera. “Nyoh! Asem tenan!”
“Opo to, kok nesu-nesu?”
“Wong edan. Itu tadi orang gila yang beli buah.”
“Halah itu tadi langgananmu. Kenapa to? Cintamu ditolak?”
“Cinta… cinta… telek pitik! Itu tadi suaminya.”
“Ha-ha-ha-ha… Padmo cemburuuuu….”
Kutinggalkan Sakera yang masih tertawa seperti mabuk miras. Linglung, aku berjalan menjauh dari warung. Entah ke mana. Dadaku sesak. Perempuan baik hati. Kuingat lagi tawanya yang selalu hadir saban kali berbelanja. Perempuan yang manis budi. Selalu tertawa kalau aku mencandainya, mengatakan buah-buahanku dari surga, berkualitas prima. Tawanya menyenangkan. Menghangatkan hati. Lalu aku terngiang lagi ucapan suaminya. Tidak seharusnya laki-laki seperti itu dipanggil “sayang” oleh perempuan sebaik itu. Hatiku seperti beku. Mungkin aku memang cemburu. Rasanya, aku patah hati.

No comments: