Patah Hati
Dari awal, dia sudah mencuri hati saya.
Setahun lalu, dia baru saja bercerai. Usai mengambil akta cerai di pengadilan agama, dia temui saya. Kami kenal lewat aplikasi kencan. Saat berjumpa, perut saya seperti dipenuhi kupu-kupu melihatnya begitu tampan.
“Wah, kamu seperti ibu saya, suka Loewe,” ujarnya setelah kami bersalaman.
Laki-laki yang paham soal tas perempuan. Wow. Saya terpesona.
Kami langsung mengobrol akrab layaknya dua orang teman lama. Dia menertawakan saya yang baru sekali itu berani copy darat. Hmm… ada berapa perempuan yang pernah ia bawa dari dunia maya ke alam nyata?
Ketika esoknya ia menelepon mengajak makan malam, saya begitu girang hingga hendak meloncat ke bulan. Melegakan bahwa kekaguman saya tidak bertepuk sebelah tangan. Masa bodoh seandainya saya bukan perempuan pertama yang pernah hadir dalam hidupnya.
Dia tinggal di kota lain, sekitar 400km dari rumah saya. Jadi, kami jarang bertatap muka. Kami terkendala jarak untuk saling mengenal dan menyelami hati satu sama lain secara langsung. Saya juga paham dia masih perlu menyembuhkan luka hati dari pernikahan yang gagal. Namun jujur, harapan saya sangat tinggi bahwa hubungan ini akan berhasil.
Kemarin, dia berkunjung. Menjemput di kantor, sikapnya sangat manis, membuat saya jatuh cinta bertubi-tubi. Sungguh sulit menahan diri untuk tetap tenang dan tidak vulgar menunjukkan perasaan saya yang berbunga-bunga.
Duduk di restoran, dia buka daftar menu, langsung menunjuk satu masakan. “Kamu pasti mau pesan ini.”
Saya mengangguk sukacita, makin terpukau bahwa dia ingat makanan kesukaan saya.
Namun, ketika pesanan datang, bencana terjadi. Pelayan tanpa sengaja menggulingkan gelas. Airnya tumpah, mengenai sebagian celananya.
Refleks dia berdiri.
Sambil memaki. Kasar sekali.
Saya terkejut.
“Bangsat!” teriaknya lagi, kali ini ke arah pelayan yang tergopoh-gopoh membersihkan gelas yang jadi sumber keributan. Sekali lagi, dia memaki. Lebih kasar.
Seketika, saya patah hati.
Telinga saya pedih mendengar makian. Nurani saya nyeri melihat pelayan yang sudah mengucap maaf puluhan kali ia teriaki begitu keras. Toh, itu hanya air putih. Tidak akan meninggalkan noda dan bisa segera dia keringkan di mesin pengering tangan di toilet. Dia tak perlu marah tanpa kendali.
Tiba-tiba saya melihat kenyataan tentang sifat aslinya yang selama ini tidak bisa saya deteksi lewat percakapan-percakapan telepon yang nyaris tiap hari kami lakukan.
Saya membisu. Patah hati luar biasa.
Ketika sadar saya ada di sana dan menonton semua huru-hara, dia gumamkan maaf beberapa kali. Dia pasti melihat raut wajah saya yang kacau balau, mewakili perasaan saya saat itu. Suasana telanjur rusak. Saya minta diantar pulang.
Terus terang, saya kecewa. Sempat terlintas di benak, dialah pelabuhan terakhir. Tapi sungguh, sulit bagi saya membayangkan harus menyaksikan banyak keributan. Laki-laki pemarah bukan dambaan saya. Makian keji dan umpatan bengis tidak masuk daftar hal yang bisa saya toleransi dalam menjalin hubungan. Mengubah dia? Memangnya dia kayu yang bisa saya pahat sesuka hati?
Saya putuskan, semua selesai. Total sudah patah hati saya.
Saat ini, PR terbesar saya adalah membujuk perasaan agar sepakat menerima buah pikiran. Batin saya masih belum rela menjauh darinya, meski otak telah berkali-kali menampilkan tombol “off”.
Rasanya, menyelaraskan kepala dan hati tidak pernah sesulit sekarang.
Tulisan ini saya masukkan untuk tugas kelas menulis, weekend kemarin. Bu gurunya - penulis ternama- bilang, tulisan ini menarik dan dia ingin tulisan ini dikembangkan menjadi sesuatu. Ah... bangganya. Doakan ya beneran jadi sesuatu.