Wednesday, October 07, 2020

On Remarriage part 3

Menikah lagi jadi materi diskusi yang nggak pernah basi. 

 

Sama-sama pernah bercerai, sadar atau tidak, saya dan teman saya jadi sering bahas topik pernikahan. Kadang sambil lalu, lebih sering sambil nggak jelas alias sekadar curhat saja. 

 

Jika pernikahan diibaratkan ruangan berpintu, kami saat ini memang ada di luarnya. Dan berada di luar, memudahkan kami melihat hal-hal yang dulu tidak kami lihat. Biasa kan, penonton selalu lebih jeli ketimbang pemain. Atau penontonnya yang sok tahu, ya? 

 

“Satu yang saya sesali adalah tidak pernah membantah pasangan saya dulu. Saya tidak mendidik dia dengan baik. Padahal, itu tanggung jawab saya,” katanya separuh menyesal separuh emosional. 

“Iya memang. Nggak bisa kamu berharap begitu saja dapat sosok yang sempurna sebagai istri dan sebagai ibu. Kan nggak ada sekolahnya.”

“Nah iya. Saya pikir, dia bisa jadi seperti ibu saya, lho. Cantik dan pintar. Tapi saya salah.”

“Jadi, kita memang nggak boleh berasumsi, ya. Semua harus didiskusikan. Dibicarakan. Masing-masing mau apa, bisa kompromi di mana… gitu?”

“Mungkin.”

 

Komunikasi adalah salah satu kata sakti dalam pernikahan. Saya sekarang sangat percaya itu. Diskusi jadi hal penting. Bahkan meskipun sambil cakar-cakaran - maaf lebay-  tetap harus dilakukan. Tidak boleh ada ganjalan. Hal lain yang saya masih harus terus latih adalah bertoleransi. Karena mau nggak mau, kompromi jadi jalan tengah yang harus diambil pasangan jika berbeda pendapat. Namanya dua orang dengan latar belakang berbeda, kemungkinan beda pendapatnya akan besar sekali. Seberapa jauh saya mau berkompromi? Sampai saat ini, terus terang saya belum bisa menjawab. 

 

Salah satu ironi dalam hidup saya adalah punya ijazah master komunikasi dari sekolah di Amerika, tapi gagal membangun komunikasi yang baik dengan (saat itu) suami. Ini menjadi catatan yang sangat penting, yang tentunya tidak boleh saya abaikan jika kelak (insya Allah) ada jodoh lagi untuk saya. 

 

Memang, saya belajar tentang pernikahan sehat dengan cara yang pahit dan sangat menyakitkan hati. Pelajaran yang sangat mahal. Meskipun begitu, boleh dong saya tetap berangan tentang pasangan di masa depan? Saya masih berharap menemukan pasangan yang sukarela mendampingi saya, bisa bertukar pikiran tentang segalanya, tidak terintimidasi karier saya, mendukung saya sepenuhnya, dan jatuh cinta pada saya setiap hari. Klise? Biarin. Saya juga paham kok, untuk mendapatkannya, saya pun harus siap bertindak resiprokal. 

 

“Pengen juga sih ada pasangan. Hmm… tapi saya maunya dapat pasangan yang mengalah, terus-terusan,” katanya tiba-tiba. 

“Eh… gimana….”

“Ya pokoknya semua tergantung maunya saya. Ide saya saja yang dikerjakan. Terserah saya. Dia nggak boleh punya suara.”

“Bisa gitu, ya? Mana dong, kesetaraan dan konsep-konsep ideal yang lain?”

“Ideal itu buat siapa, sih? Bayangkan, kalau hanya ada satu suara, rumah tangga pasti aman damai. Langgeng.”

 

Saya sebetulnya nggak setuju. Tapi karena nggak mau berbantahan tanpa ujung, saya kok merasa sebaiknya saya pilih makan es krim saja.  




Tulisan ini ditayangkan di blog Single Mom Indonesia

1 comment:

Anonymous said...

Kadang angan
Terbang jauh ke awan
Rasa sedih, kian menawan
Dingin dan kelam
Remukanku di dalam

Kadang murung
Meluap tak terbendung
Rasa sesal s'makin mengurung
Sejak kau pergi
Berlari dan menangis

Meski t'lah jauh
Ke mana kau coba 'tuk sembunyi
Satu saat nanti akan kembali jua, jua, jua
Oleh cinta

Telah lama kabar menghampa
Namun kisah kita, takkan mudah terlupa
Meski t'lah jauh
Ke mana kau coba 'tuk sembunyi (sembunyi, sembunyi, sembunyi)
Satu saat nanti akan kembali jua, jua, jua
Oleh cinta

Meski t'lah jauh
Ke mana kau coba 'tuk sembunyi
Satu saat nanti akan kembali jua

Meski t'lah jauh
Ke mana kau coba 'tuk sembunyi
Satu saat nanti akan kembali, akan kembali jua, jua, jua

Oleh cinta

(Meski T'lah Jauh - KLA Project)