Saturday, October 31, 2020

Another Marriage Story

"I was just being sarcastic," katanya setelah membaca tulisan saya. 

Saya memang suka usil. Beberapa kali percakapan kami jadi topik tulisan di medsos. Dia, yg bukan aktivis medsos, kadang saya bagi link untuk akses tulisan saya. Kalau saya ingat. Seringnya sih saya lupa jadi kemungkinan dia nggak baca. Hahaha.... 

Tulisan tempo hari itu salah satunya. Percakapan sambil jalan pagi yang entah bagaimana awalnya saya lupa, tapi akhirnya jadi membahas soal preferensi pasangan (kalau ada) di masa depan. 

"Ya masak ada pasangan yang mau mengalah terus-terusan?"

Ada. Tapi pasangan yg begitu kemungkinan besar akan kena kanker, sih. Hahahahaha....

Itulah. Menikah seharusnya membuat nyaman kedua pihak yg menjalankan pernikahan. Tidak boleh ada yg sedih. Ya kalau sedih, buat apa? Apalagi bagi saya, yg tujuan pernikahannya jelas untuk melengkapi kebahagiaan yg sekarang sudah saya punya. Saat ini saya sudah merasa cukup. Secara finansial Alhamdulillah aman. Punya anak sehat (dan pintar serta manis, baik hatinya). Ada keluarga yg mendukung. Ngapain saya mau kawin (lagi) kalau hanya bikin ruwet hidup? 

Saya sadar, tidak pernah ada yg bilang bahwa menikah itu mudah. Saat ini, saat sudah tidak ada di dalam pernikahan, saya bisa melihat di mana kiranya ada "lubang" di pernikahan saya dulu. Pembuat lubangnya bisa saya, bisa juga ayahnya anak saya. Yg jelas, lubang itu kami biarkan tidak terurus, hingga akhirnya membesar dan tidak bisa ditambal lagi. 

Jadinya, jika kelak (insya Allah) menikah lagi, tentu saya harus berusaha keras menjaga agar tidak ada yg berlubang. Buat saya, semakin tidak mudah, karena setahu saya pernikahan kedua (dan seterusnya) lebih rentan bercerai. 

Apa iya? Sayangnya begitu.... 

Angka statistik dari biro kependudukan Amerika menyebutkan bahwa pada 2018, 60% pernikahan kedua gagal. Oops. Saya belum dapat data akurat tentang nasib pernikahan kedua di Indonesia, tapi pengalaman beberapa kawan di sekitar saya... ada yg nggak terlalu menarik juga sih. Oh ya, ini ceritanya untuk yg pernikahan pertamanya gagal, ya, bukan yang single karena ditinggal meninggal. Kenapa gagal lagi? Karena ada kecenderungan menganggap menikah lagi (segera ataupun setelah lama bercerai) sebagai pelipur lara dari perceraian sebelumnya. Kondisinya akan semakin rumit ketika masing-masing membawa anak dari pernikahan terdahulu. Bukan hal mudah menyatukan elemen masing-masing ini.  

Saya pernah dekat dengan duda beranak tiga. Dan memang sempat merasakan sulitnya menyatukan pikiran kami kalau menyangkut masalah anak-anak. Jika dalam hubungan pernikahan dengan ayah anak saya, yang harus menyesuaikan diri hanya saya dan mantan suami, dalam hubungan dengan mas duda ini, semakin banyak yang harus didekati terkait penyesuaian ini. Anak saya dan anak-anaknya tentu harus terlibat, sementara kami berdua pun sering sulit sepaham. 

Saya tahu dia sering tidak setuju pada perlakuan saya yang cenderung memanjakan Aria. Sementara, saya juga sering tak sekata dgn yg dia lakukan ketika mengarahkan anak-anaknya. Boleh tidak, mengasuh anak masing-masing? Ya boleh saja. Tp kok gatel juga kalau dengar ada yg nggak sejalan dengan yg saya percaya....  Ah, rumit sekali, ya. Padahal itu baru tentang anak, belum membicarakan anggota keluarga lain, misalnya ibu saya, orang tuanya, kakak dan adik saya, paman dan bibinya.... Intinya, saya jadi yakin bahwa untuk pernikahan kedua memang harus ada usaha ekstra.   

Urusan aset bisa dipagari dengan perjanjian pranikah. Tapi ya masak mau memborgol perasaan anak-anak dan keluarga?

Entahlah benar atau tidak. Tetapi, kesulitan pernikahan kedua bisa timbul karena selama ini lembaga pernikahan dianggap sebagai wadah untuk membentuk keluarga yg dalam hal ini bertujuan membesarkan anak. Jadi ketika menikah lagi dan hubungan anak dengan orang tua baru tidak sejalan... runyamlah pernikahan itu. Dalam kasus saya, pernikahan kami belum terjadi, jadi nggak runyam-runyam amat. Hanya sempat bikin sakit kepala....

Salah satu kenalan ada yg baru saja bercerai setelah menikah untuk kedua kalinya. Keputusan bercerai ini sama gegap gempitanya dgn waktu dia memutuskan menikah lagi. Mau cepat-cepat, seperti nggak bisa menunggu. Kenapa cinta yg dulu datang bagai kejutan itu akhirnya menghilang juga secara tiba-tiba? "Ternyata dia jorok. Huh. Kayaknya gue pernah hidup sendiri dan oke aja, nggak perlu mikirin orang jorok," katanya ketus. Oh baiklah. 

Betul, toleransi bisa jadi kata kunci. Ketika kita mau berkompromi, bisa saja segalanya menjadi lebih mudah. Sejauh apa bisa saling menerima dan berkompromi... kembali pada pasangan yg menjalani. Ada yang bilang cinta akan memuluskan segalanya. Bisa jadi. Cinta bisa bikin kita mudah kompromi, mungkin saja terjadi. Karena saya mengalami bahwa frasa "terbutakan cinta" itu benar adanya, kok. 

Bukan selalu berarti bahwa cinta kenalan saya yg baru bercerai itu tidak terlalu besar ya... Tapi... entahlah, kalau dia bisa berkompromi, mungkin perceraian (lagi) tidak perlu terjadi. Yaaa... bisa saja cintanya yg besar membuat dia jadi bisa bertoleransi saat (mantan) suaminya agak nggak rapi? Jadi jorok tapi cuma dikit-dikit gitu.... Siapa tahu?

Pernah ada pengusaha sukses yg menasehati saya, "Kalau nanti ketemu jodoh lagi, asal orangnya tidak mukul dan tidak pelit, sudahlah... cocok-cocokin saja! Punya teman berbagi lebih penting ketimbang mikirin mau menang sendiri."

Tidak semudah itu, Ibu. Eh... hmmm.... tapi mungkin juga tidak sesulit itu? 

Banyak teori bisa dipelajari, dan tentunya dijalankan, untuk menyukseskan pernikahan kedua. Saya pikir, yg paling penting adalah menyembuhkan luka batin diri sendiri dulu. Kita harus bereskan perasaan kita, dibersihkan dari semua rasa warisan masa lalu. Kita juga harus benahi hati anak (anak) kita, sebelum memulai hubungan baru. Kita harus sembuh seutuhnya, sehingga ketika cinta yg baru hadir, kita bisa percaya bahwa itulah cinta, lalu menerimanya. Dengan bahagia.

Bahkan jika kita harus mengalah terus, kita akan tetap bahagia melakukannya dengan landasan cinta pada pasangan kita. Kesal menjadi biasa bila kita terlanjur cinta.... Kita tidak akan merasa sedang mengalah. Kita hanya sedang mencintai. Tidak ada yg kalah, dan tidak ada yg menang. Yg ada adalah saling menyayangi setulusnya. Sepenuh hati, jiwa, dan raga.  

"Jadi, ada ya yg beneran mau ngalah terus?"

"Ya kalau sudah sangat sangat cinta... bisa saja... yg penting harus ikhlas, biar nggak jadi kanker...." 



2 comments:

Anonymous said...

So you're being prepared now...
(#membacadankomentarsecepatkilat)

Wish you all the best luck..
Hanya jangan tinggalkan sholat dan ibadah2mu yg lain meskipun "imam"-mu tidak mengajak dan mengajarkannya..
Tidak akan ada lagi pemberantas kejahatan..

Take care..

miao sai said...


banyak game yang menarik di IONQQ
ayo segera daftarkan diri anda :D
WA : +855 1537 3217