Sunday, April 12, 2020

Granted Wish?

What if God grant you with whatever you ever wish?

Ada seorang teman dekat yg sudah beberapa tahun ini punya masalah dalam pernikahannya. Sebetulnya, masalah sudah ada sejak awal sekali. Kebetulan gue kenal dia (& pasangannya) sebelum mereka menikah. Dan memang dari dulu juga sdh terlihat bahwa ada "ketimpangan" di antara mereka, tp yaaa... rasanya cinta kan bisa mengalahkan apa saja ya?

Bener juga sih, masalah demi masalah dilewati dengan cinta itulah. Si mas ini seperti menggenapi stereotipe suku tertentu yg demen pesta dan punya pacar di mana. Duh. Tp yaaa... entah kenapa si mbak nrimo aja. Mereka punya anak banyak... seperti membuktikan bahwa mereka tetap saling cinta no matter what. Meskipun kalau buat gue sih... infidelity yg berkali2 bisa malesin juga... tp orang kan beda2 yaaaa....

Sepanjang pernikahan, setahu gue, si mbak yg menjadi bread winner. Menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak2. Kadang gembira, kadang cemas nggak punya uang, seringnya pasrah kalau cerita ke gue. Termasuk kalau dia lagi gemes krn nggak punya duit trus suaminya minta uang rokok.  Sebisanya gue hanya menenangkan. Mengingatkan dia pada cintanya....

Sampai pd suatu hari si suami sakit. Kena serangan jantung ketika sedang tugas ke luar kota. Istri menyusul dong. Gedubrakan ke Rumah Sakit. Mendapati si suami belum sadarkan diri, ditemani pacarnya-yg-entah-siapa-lagi. Duh Gusti....

Mbak Istri nggak peduli. Tetap dengan manis menjalankan tugasnya sbg istri (yg sah). Mengurus suami yg sakit. Menunggui sampai sembuh. Lalu mereka kembali ke Jakarta.

Sejak itu, konon... mas suami menjadi lebih manis. Merasa bersalah dll dll... lagu lama sih. Krn dulu2 juga ketahuan selingkuh kok. Ini krn sampai masuk RS aja jd merasa bersalah banget? Semprul.

Yak betooolll... gue yg emosi duluan. "Gapapa... sudah takdir gue," kata si mbak. Dan mereka pun melanjutkan hidup (pernikahan).

Tp memang ya... kalau sdh dasarnya ngaco... ya ngaco aja. "Bertahan" setahun ayem2... selingkuh lagi dong mas suami. Tuhanku....

Si mbak sempat tanya2 soal perceraian ke gue. Yg jawaban gue sih standard aja: "Nggak enak prosesnya. Setelahnya juga nggak tahu ya. Gue menikmati, tapi bisa aja beda di kamu, mbak."

Akhirnya niat bercerai dilupakan. Dijalani saja, katanya. Syukurlah. Meskipun tetep selintas2 ada kata2, "Bodo amat... gue tinggalin aja." Yg intinya si mbak mempertimbangkan untuk lebih baik sendiri saja daripada berdua tapi nggak jelas. Atau kadang kalau sdh gemes banget, dia akan bilang, "Duh Gusti, monggo dipun pundhut mawon...."

Kalau gue sih, sudah jelas lah akan sangat mendukung misalnya si mbak mau berpisah. Secara finansial juga nggak ada masalah krn selama ini pun dia yang cari uang kok. Mereka tinggal di rumah warisan orang tua si mbak yg dulunya pejabat. Aman lah. Tapi sekali lagi... bukan gue yg berhak menyarankan apa2....

Kemudian siklus hidup si mbak dan si mas itu jadi semacam gini: selingkuh - berantem - masuk rumah sakit - insaf - damai - selingkuh - berantem - masuk rumah sakit - insaf - damai... gitu aja terus.... Gue tahu. Krn setiap sampai di "berantem", si mbak pasti cerita. Yang lalu dia akan bilang, "Bentar lagi pasti masuk RS. Percaya deh sm gue." Dan selalu tebakan itu benar. Melelahkan.

Bulan ini, si mbak ulang tahun. Dan tadi pagi gue dikabari kalau si mas meninggal dunia. Dalam tidur. Dengan tenang. Innalillahi wa innailaihi rojiuun.

Krn sedang hrs social distancing, si mbak bikin pengumuman bhw dia sangat paham jika kami2 para sahabat tidak datang ke rumah duka. Bahkan dia khusus wa gue utk "Nggak usah ke sini ya Di. Udah, doakan saja. Maafkan masmu. Aku ikhlas. Aku cukup keras kepala ternyata, jadi bisa menemani dia smp akhir. Wis bar saiki, wis dipundhut sing kagungan."

Bikin mewek.

Gue semakin percaya bahwa Tuhan Maha Lucu. Komedian yang tiada tandingannya, yg memberi hadiah ulang tahun yang sangat luar biasa buat si mbak.



No comments: