What if God grant you with whatever you ever wish?
Ada seorang teman dekat yg sudah beberapa tahun ini punya masalah dalam pernikahannya. Sebetulnya, masalah sudah ada sejak awal sekali. Kebetulan gue kenal dia (& pasangannya) sebelum mereka menikah. Dan memang dari dulu juga sdh terlihat bahwa ada "ketimpangan" di antara mereka, tp yaaa... rasanya cinta kan bisa mengalahkan apa saja ya?
Bener juga sih, masalah demi masalah dilewati dengan cinta itulah. Si mas ini seperti menggenapi stereotipe suku tertentu yg demen pesta dan punya pacar di mana. Duh. Tp yaaa... entah kenapa si mbak nrimo aja. Mereka punya anak banyak... seperti membuktikan bahwa mereka tetap saling cinta no matter what. Meskipun kalau buat gue sih... infidelity yg berkali2 bisa malesin juga... tp orang kan beda2 yaaaa....
Sepanjang pernikahan, setahu gue, si mbak yg menjadi bread winner. Menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak2. Kadang gembira, kadang cemas nggak punya uang, seringnya pasrah kalau cerita ke gue. Termasuk kalau dia lagi gemes krn nggak punya duit trus suaminya minta uang rokok. Sebisanya gue hanya menenangkan. Mengingatkan dia pada cintanya....
Sampai pd suatu hari si suami sakit. Kena serangan jantung ketika sedang tugas ke luar kota. Istri menyusul dong. Gedubrakan ke Rumah Sakit. Mendapati si suami belum sadarkan diri, ditemani pacarnya-yg-entah-siapa-lagi. Duh Gusti....
Mbak Istri nggak peduli. Tetap dengan manis menjalankan tugasnya sbg istri (yg sah). Mengurus suami yg sakit. Menunggui sampai sembuh. Lalu mereka kembali ke Jakarta.
Sejak itu, konon... mas suami menjadi lebih manis. Merasa bersalah dll dll... lagu lama sih. Krn dulu2 juga ketahuan selingkuh kok. Ini krn sampai masuk RS aja jd merasa bersalah banget? Semprul.
Yak betooolll... gue yg emosi duluan. "Gapapa... sudah takdir gue," kata si mbak. Dan mereka pun melanjutkan hidup (pernikahan).
Tp memang ya... kalau sdh dasarnya ngaco... ya ngaco aja. "Bertahan" setahun ayem2... selingkuh lagi dong mas suami. Tuhanku....
Si mbak sempat tanya2 soal perceraian ke gue. Yg jawaban gue sih standard aja: "Nggak enak prosesnya. Setelahnya juga nggak tahu ya. Gue menikmati, tapi bisa aja beda di kamu, mbak."
Akhirnya niat bercerai dilupakan. Dijalani saja, katanya. Syukurlah. Meskipun tetep selintas2 ada kata2, "Bodo amat... gue tinggalin aja." Yg intinya si mbak mempertimbangkan untuk lebih baik sendiri saja daripada berdua tapi nggak jelas. Atau kadang kalau sdh gemes banget, dia akan bilang, "Duh Gusti, monggo dipun pundhut mawon...."
Kalau gue sih, sudah jelas lah akan sangat mendukung misalnya si mbak mau berpisah. Secara finansial juga nggak ada masalah krn selama ini pun dia yang cari uang kok. Mereka tinggal di rumah warisan orang tua si mbak yg dulunya pejabat. Aman lah. Tapi sekali lagi... bukan gue yg berhak menyarankan apa2....
Kemudian siklus hidup si mbak dan si mas itu jadi semacam gini: selingkuh - berantem - masuk rumah sakit - insaf - damai - selingkuh - berantem - masuk rumah sakit - insaf - damai... gitu aja terus.... Gue tahu. Krn setiap sampai di "berantem", si mbak pasti cerita. Yang lalu dia akan bilang, "Bentar lagi pasti masuk RS. Percaya deh sm gue." Dan selalu tebakan itu benar. Melelahkan.
Bulan ini, si mbak ulang tahun. Dan tadi pagi gue dikabari kalau si mas meninggal dunia. Dalam tidur. Dengan tenang. Innalillahi wa innailaihi rojiuun.
Krn sedang hrs social distancing, si mbak bikin pengumuman bhw dia sangat paham jika kami2 para sahabat tidak datang ke rumah duka. Bahkan dia khusus wa gue utk "Nggak usah ke sini ya Di. Udah, doakan saja. Maafkan masmu. Aku ikhlas. Aku cukup keras kepala ternyata, jadi bisa menemani dia smp akhir. Wis bar saiki, wis dipundhut sing kagungan."
Bikin mewek.
Gue semakin percaya bahwa Tuhan Maha Lucu. Komedian yang tiada tandingannya, yg memberi hadiah ulang tahun yang sangat luar biasa buat si mbak.
Sunday, April 12, 2020
Saturday, April 11, 2020
The Differences
Ini WFH... diperpanjang terus... dan lagi... dan lagi.... Seketika krisis ekonomi membayangi di ujung belokan.... Denger2 bbrp kantor mulai "efisiensi" yg seringkali artinya potong gaji. Yaaa... yg dipotong duluan gaji bos-nya pastinya....
Ok... masih bersyukur Alhamdulillah punya gaji. Berapa pun jumlahnya, ada yg bisa diharapkan hadir secara kontinyu. Berempati sm para pebisnis yg terpaksa mengurangi karyawan, krn kurang pemasukan. Semoga badai segera berlalu. Aamiiinnn....
Spt biasa, membiasakan diskusi, hal ini juga dibicarakan sm si ganteng Aria. Krn dia pun sdh mulai paham belanja, jadi hrs ada konsensus bhw tahun ini nggak beli2 tas/sepatu/baju lagi. Kok ya ibu dan anak kesukaannya sama....
Jadi gue jelaskan efek pandemi korona ini pada perekonomian global. Lalu apa pengaruhnya ke ekonomi Indonesia, dan gimana kondisi dompet ibu. Gue tenangkan bahwa dia nggak perlu cemas, krn ibu masih punya gaji, dan juga ada tabungan yg Insya Allah cukup untuk kebutuhan primer. Apa saja yg primer? Sekolah dia, kebutuhan bulanan, makan dan transport... Insya Allah aman. Rumah ini pun baru saja lunas, jadi nggak perlu jadi pikiran lagi. Hanya mungkin rencana renovasi besar perlu dipertimbangkan lagi urgensinya. Gue bilang juga bhw uang saku dia jumlahnya akan tetap, tp sebaiknya dia hemat krn we never know how long this rainy days going to be.
Aria diam aja. Angguk2. Krn memang selama ini kebutuhan dia jg nggak banyak sih (selain belanja sepatu yg aduhai deh...).
Trus tiba2 setelah diam cukup lama, dia bilang, "Ayah gimana ya, Bu?"
Hmm... selain hanya bisa menjawab "I don't know" ... tiba2 seperti ada yg mencubit hatiku. Anak gue yg tampaknya cuek dan ga peduli... ternyata tetap memikirkan ayahnya. Dan itu menyadarkan gue soal perbedaan dlm hal ini. Buat gue, masalah dgn ayahnya anak gue mungkin sdh (gue anggap) selesai. Gue jg nggak mau lagi berurusan ttg apa pun sm dia. Tapi buat anak gue, ayahnya akan selalu ada, entah dia mau atau tidak. Buat anak gue, masalah ayahnya akan menjadi hal yg tidak pernah usai, bahkan mungkin meskipun urusan duniawi sudah selesai. Dan gue merasa berkewajiban mendampingi dia, membantunya saat dibutuhkan, tetap support.... Yah... akhirnya urusan gue sama mansu ga boleh kelar juga dong. Sigh.
Ok... masih bersyukur Alhamdulillah punya gaji. Berapa pun jumlahnya, ada yg bisa diharapkan hadir secara kontinyu. Berempati sm para pebisnis yg terpaksa mengurangi karyawan, krn kurang pemasukan. Semoga badai segera berlalu. Aamiiinnn....
Spt biasa, membiasakan diskusi, hal ini juga dibicarakan sm si ganteng Aria. Krn dia pun sdh mulai paham belanja, jadi hrs ada konsensus bhw tahun ini nggak beli2 tas/sepatu/baju lagi. Kok ya ibu dan anak kesukaannya sama....
Jadi gue jelaskan efek pandemi korona ini pada perekonomian global. Lalu apa pengaruhnya ke ekonomi Indonesia, dan gimana kondisi dompet ibu. Gue tenangkan bahwa dia nggak perlu cemas, krn ibu masih punya gaji, dan juga ada tabungan yg Insya Allah cukup untuk kebutuhan primer. Apa saja yg primer? Sekolah dia, kebutuhan bulanan, makan dan transport... Insya Allah aman. Rumah ini pun baru saja lunas, jadi nggak perlu jadi pikiran lagi. Hanya mungkin rencana renovasi besar perlu dipertimbangkan lagi urgensinya. Gue bilang juga bhw uang saku dia jumlahnya akan tetap, tp sebaiknya dia hemat krn we never know how long this rainy days going to be.
Aria diam aja. Angguk2. Krn memang selama ini kebutuhan dia jg nggak banyak sih (selain belanja sepatu yg aduhai deh...).
Trus tiba2 setelah diam cukup lama, dia bilang, "Ayah gimana ya, Bu?"
Hmm... selain hanya bisa menjawab "I don't know" ... tiba2 seperti ada yg mencubit hatiku. Anak gue yg tampaknya cuek dan ga peduli... ternyata tetap memikirkan ayahnya. Dan itu menyadarkan gue soal perbedaan dlm hal ini. Buat gue, masalah dgn ayahnya anak gue mungkin sdh (gue anggap) selesai. Gue jg nggak mau lagi berurusan ttg apa pun sm dia. Tapi buat anak gue, ayahnya akan selalu ada, entah dia mau atau tidak. Buat anak gue, masalah ayahnya akan menjadi hal yg tidak pernah usai, bahkan mungkin meskipun urusan duniawi sudah selesai. Dan gue merasa berkewajiban mendampingi dia, membantunya saat dibutuhkan, tetap support.... Yah... akhirnya urusan gue sama mansu ga boleh kelar juga dong. Sigh.
Thursday, April 09, 2020
From the WFH Experience
Kemarin dibagi screen shot chat ibu2 yg emosi jiwa karena harus mengajari anaknya selama di rumah. Nemenin belajar, sambil sendirinya juga kerja, belum lagi beresin rumah, dll, dll, dll... memang bikin tekanan darah naik sih.
Gue bukan orang yang bisa kerja di rumah (dulunya). Rumah seperti sdh diatur untuk bergembira, leyeh2, dan bersenang2. Kebiasaan juga sampai rumah sdh teler banget utk bekerja, jadi memang hrs ada tingkat urgensi tinggi banget sampai gue bisa buka laptop di rumah. Pdh sebetulnya gue sdh siapkan meja merah di depan rak buku, yg enak banget untuk bekerja. Dekat jendela besar yg mengantar sinar matahari dan angin sepoi2....
Bahkan waktu Jakarta huru hara dan kantor tutup, gue memilih gotong laptop ke cafe. Biasanya sih ngajak2 temen bertengger setiaku... *wink*. Jadi sambil gelar laptop bisa gosip2 plus aleman dikit2 laaaah.... Kenapa harus keluar rumah? Krn bukan cuma gue yg nggak bisa kerja di rumah, orang2 rumah pun (oke... be specific... Eyang...) akan mengira bahwa kalau gue di rumah artinya gue nggak bekerja. Yg jadinya "boleh diganggu" benerin hp, rapihin lemari tv, atau bongkar gudang. Hmmm....
Tp ketika pandemi 2020 dan semua orang hrs social distancing lalu #dirumahaja.... ya mau nggak mau gue hrs gelar laptop di rumah. Perlu penyesuaian? Iya banget... juga perlu membiasakan bhw gue ini kerja... jadi please jangan tiba2 ada yg teriak minta tolong angkat jemuran....
Bisa kerja di rumah? Akhirnya bisa juga. Trus menemukan bahwa kalau lagi capek sekali bisa dapat hiburan lucu2 macam masuk dapur klutekan atau baca2 buku yg segudang ini yekaaaannn.... Kemarin malah ekstrim banget, krn di luar terlihat panas terang benderang... di antara dua zoom meeting, gue putuskan untuk nyuci sprei....
Akhirnya bisa efektif juga kok ini kerja di rumah. Meeting ini itu... termasuk bungkus perjanjian baru lewat zoom. Kemarin sempat assessment test juga 2 orang. Memang, lebih melelahkan krn selama meeting hrs melototin layar laptop dan kalau mau ngomong hrs nunggu giliran dgn sabar dan manis nggak bisa langsung jerit. Padahal kadang2 pengen langsung noyor.... hahaha....
Di ruangan lain, ada Aria yg juga SFH. Wah udahlah... kalau dia sih gue bebasin aja deh. Yg penting gurunya nggak colek2 gue krn anak gue lupa absen... dan yg penting tugas selesai. Mau bikinnya sambil telungkup, miring2 atau sambil ndlosor di perosotan... bebas. Sdh cukup ini gue rusuh dgn urusan kantor yg semacam neverending... nggak usahlah gue jadi berantem sm anak segala... apalagi sampai stress kyk ibu2 yg marah2 sm guru. Hahahaha.....
Pandemi korona kapan kelarnyaaaaa......
Gue bukan orang yang bisa kerja di rumah (dulunya). Rumah seperti sdh diatur untuk bergembira, leyeh2, dan bersenang2. Kebiasaan juga sampai rumah sdh teler banget utk bekerja, jadi memang hrs ada tingkat urgensi tinggi banget sampai gue bisa buka laptop di rumah. Pdh sebetulnya gue sdh siapkan meja merah di depan rak buku, yg enak banget untuk bekerja. Dekat jendela besar yg mengantar sinar matahari dan angin sepoi2....
Bahkan waktu Jakarta huru hara dan kantor tutup, gue memilih gotong laptop ke cafe. Biasanya sih ngajak2 temen bertengger setiaku... *wink*. Jadi sambil gelar laptop bisa gosip2 plus aleman dikit2 laaaah.... Kenapa harus keluar rumah? Krn bukan cuma gue yg nggak bisa kerja di rumah, orang2 rumah pun (oke... be specific... Eyang...) akan mengira bahwa kalau gue di rumah artinya gue nggak bekerja. Yg jadinya "boleh diganggu" benerin hp, rapihin lemari tv, atau bongkar gudang. Hmmm....
Tp ketika pandemi 2020 dan semua orang hrs social distancing lalu #dirumahaja.... ya mau nggak mau gue hrs gelar laptop di rumah. Perlu penyesuaian? Iya banget... juga perlu membiasakan bhw gue ini kerja... jadi please jangan tiba2 ada yg teriak minta tolong angkat jemuran....
Bisa kerja di rumah? Akhirnya bisa juga. Trus menemukan bahwa kalau lagi capek sekali bisa dapat hiburan lucu2 macam masuk dapur klutekan atau baca2 buku yg segudang ini yekaaaannn.... Kemarin malah ekstrim banget, krn di luar terlihat panas terang benderang... di antara dua zoom meeting, gue putuskan untuk nyuci sprei....
Akhirnya bisa efektif juga kok ini kerja di rumah. Meeting ini itu... termasuk bungkus perjanjian baru lewat zoom. Kemarin sempat assessment test juga 2 orang. Memang, lebih melelahkan krn selama meeting hrs melototin layar laptop dan kalau mau ngomong hrs nunggu giliran dgn sabar dan manis nggak bisa langsung jerit. Padahal kadang2 pengen langsung noyor.... hahaha....
Di ruangan lain, ada Aria yg juga SFH. Wah udahlah... kalau dia sih gue bebasin aja deh. Yg penting gurunya nggak colek2 gue krn anak gue lupa absen... dan yg penting tugas selesai. Mau bikinnya sambil telungkup, miring2 atau sambil ndlosor di perosotan... bebas. Sdh cukup ini gue rusuh dgn urusan kantor yg semacam neverending... nggak usahlah gue jadi berantem sm anak segala... apalagi sampai stress kyk ibu2 yg marah2 sm guru. Hahahaha.....
Pandemi korona kapan kelarnyaaaaa......
Subscribe to:
Posts (Atom)