Halo kamu, ayahnya anakku....
Apa kabarmu, di mana pun kamu berada? Semoga kamu baik2 saja. Aku selalu mendoakan yg baik2 untuk kamu. Karena bukankah doa seharusnya begitu? Hanya berpikir yg baik2... supaya semua juga baik2.
Bahwa doa yang baik2 itu jugalah yang menguatkan aku, menjalankan kewajiban mengurus anakmu selama ini, tanpa ada kamu. 15 tahun bukan waktu yg singkat. Lama sekali atau cepat sekali, semua relatif. Yg jelas, banyak hal terjadi. Pahit dan manis silih berganti. Dan... kamu ada di mana? Tapi terima kasih... bahwa kamu tidak ada, memberi banyak sekali kebebasan dalam menentukan langkah yg harus ditempuh untuk membesarkan anak kita. Bahkan namanya pun kupilih tanpa melalui perdebatan apa2 denganmu. Cukup aku yg memutuskan. Sendiri. Maaf, kamu tidak aku beri hak untuk itu. Kamu juga tidak berhak menentukan sekolahnya, bahkan caraku membesarkannya. Karena kamu tidak ada di sana.
Aku bangga menjadi bagian penting dalam hidup anakku, anakmu itu. Aku menikmati semuanya. Sebisaku menjalani 15 tahun ini dgn bahagia. Entah bagaimana caranya, yg jelas... ternyata aku bisa. Melihat anak kita tumbuh dari hari ke hari adalah hal yang membuat bahagia itu menjadi nyata. Tertawanya akan membuat aku ikut tertawa. Pelukan eratnya akan membuat aku merasa luar biasa berharga. Ciumannya selalu berhasil membuat aku berpikir bahwa bahagia memang takdir setiap manusia. Dan aku tahu bahwa rasa bahagia ini akan selalu hadir. Tidak hanya untuk 15 tahun yg telah berlalu, tapi juga untuk masa2 yg akan datang. Karena anakku, anakmu itu, kupercayai memang datang hanya untuk menyebarkan kebahagiaan. Meski dia lahir kala badai menerpa hati dan jiwa ibunya, dia tetap bagai serpihan bintang cemerlang yang menyala, menunjukkan jalan terang menuju bahagia. Dan dia menghalau badai itu. Menggantikannya dengan langit cerah nyaris tanpa awan, yang penuh sinar mentari kala siang dan dipercantik benderang bulan saat malam. Bahagia senantiasa.
Jika kamu tidak bahagia, atau belum bahagia, mungkin karena kamu belum mengenalnya dengan baik. Cobalah mengenali anakmu lebih dekat. Maka kamu akan tahu: dia adalah kebahagiaan. Tapi percayalah, aku selalu berdoa bahwa kamu pun bahagia, di mana pun kau berada.
Memang, beberapa kali melihatmu berdekatan dengan anakku, anakmu itu, aku melihat tidak ada ikatan apa pun antara kalian berdua. Kalian seperti orang asing, yg bahkan tidak tahu cara memulai pertemanan. Mungkin salahku? Karena sejak dia lahir kamu tidak hadir, aku merasa tidak berhak memaksa anakku, anakmu itu, untuk mencari tahu tentangmu. Padahal, bukankah dgn cara begitu dia akan mengenalmu? Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjawab semua pertanyaannya tentangmu. Semuanya. Betapa pun jawabannya mungkin akan menyakiti hatiku.
Tapi dia tidak pernah bertanya.
Dia seolah tidak mau tahu. Tidak ada hal tentangmu yg menarik hatinya. Benci? Tidak. Kurasa dia bahkan tidak cukup mengenalmu untuk sampai menyimpan rasa tidak suka. Maafkan aku bahwa sampai saat ini aku tidak bisa memaksakan kehadiranmu bahkan di sisi paling terpencil di dalam kepalanya. Percaya atau tidak, aku berkali-kali mencoba menghadirkan kamu dalam percakapan kami. Namun, bagi anakku, anakmu itu, kamu tidak pernah ada. Tidak ada tempat bagimu dalam pikirannya, dalam hatinya, apalagi di dalam jiwanya. Meski kamu ada di darahnya, tapi ia tidak merasakan keberadaanmu. Baginya, kamu hanyalah nama yang ada di akte kelahiran. Bahkan nama itu pun sangat ingin dia hapus, tanpa alasan (doa anak2 sering manjur. Tiba2 namamu hilang dari paspor anakku, anak kita itu. Pada suatu hari, anakku tidak lagi menyandang namamu di dokumen resmi negara itu. Jangan tanya bagaimana bisa begitu, aku pun tak paham).
Seingatku, ketika dia lahir dulu, wajahnya mirip sekali denganmu. Dengan mata sipit yg akan membuat siapa saja jatuh cinta. Namun, lihatlah dia kini. Semua orang akan melihat anakku, anak kita, sebagai versi mini dari aku, ibunya. Matanya masih sipit, tentu saja, tapi kilatnya adalah yg ia pelajari dariku. Raut wajahnya yg bisa seketika sangat keras kepala, nampaknya dia warisi dari sikapku sehari-hari. Bahkan cara dia bergerak dan bertutur akan selalu mengingatkan siapa pun yang mengenalku pada sosokku saat seusianya. Aku bangga, bukan saja karena dia dan aku kini nyaris tanpa beda, tapi karena aku tahu dia akan setangguh aku menghadapi dunia.
Lima belas tahun bukan masa yg singkat. Dan selama itu pula aku sudah berusaha semampuku menghadirkan kamu. Pintu rumahku selalu terbuka untuk kamu. Sayang, tidak pernah kamu manfaatkan. Karena kamu seolah tidak pernah mau ada dalam hidup kami, aku rasa sudah saatnya usahaku akan aku hentikan juga. Boleh ya, aku buat janji pada diriku sendiri untuk tidak lagi membicarakan kamu pada anakku. Aku juga tidak akan berusaha membawanya mendekat padamu. Bagiku, semua sudah selesai. Kalau kamu merasa penting bagimu untuk menjadi bagian dari anakku, anakmu itu, silakan kamu usahakan sendiri segalanya. Aku berdoa, upayamu belum terlambat.
Anak kita sudah besar. Kamu tentu setuju bahwa dia bisa menentukan yg ia inginkan. Bahkan jika dia memutuskan untuk tidak mau mengenalmu lagi sama sekali, kita tidak akan bisa memaksanya. Doakan saja yg terbaik baginya.
Aku percaya kamu adalah ayah yang baik. Tapi mungkin bukan untuk anakku. Selamat Hari Ayah.
No comments:
Post a Comment