Friday, March 17, 2017
Missing You
I may not be a missing piece looking for others to take me rolling. But it doesn't mean I don't need you in my life. I need you to roll closer, balancing my step, so together we can pass the crookedest path. If any.
Thursday, March 16, 2017
The Missing Piece Meets the Big O
Ceritanya ada sebuah segitiga yg pengen sekali menggelinding. Dia mencari teman yg kira2 perlu kepingan segitiga, supaya bisa menyatu, jadi bola sempurna, lalu mereka menggelinding bersama. Setelah gagal beberapa kali, ada satu bola yg salah satu sisinya koyak. Pas dengan bentuk segitiga. Klop. Menyatulah mereka, lalu menggelindinglah bersama.
Dalam perjalanan, si segitiga ternyata berkembang. Ia membesar, hingga celah di bola menjadi sesak. Akhirnya mereka berpisah. Si segitiga sedih sekali. Ia putus asa, sudut2nya membuat dia merasa nggak bisa menggelinding. Dia kangen bola.
Tapi lalu, dia mencoba menyemangati diri. Ia coba berguling. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Bisa. Tapi tentu tidak mulus karena bentuknya segitiga. Dia nggak putus asa. Terus berguling... berguling... berguling... sampai akhirnya tubuhnya berubah, sudut2nya jadi tumpul... lama2 membulat. Dia bisa lancar menggelinding. Dalam perjalanan, dia bertemu bola2 lain. Dan menggelindinglah mereka bersama. Tapi, ketika tiba di persimpangan, kadang ada bola yang memisahkan diri, ada juga yang tetap di sampingnya.
Itu cerita yg nulis Shel Silverstein. Jenius, karena itulah yg terjadi dalam kehidupan. Sometimes we think we cannot function because we need other people to help us. And when we found someone, we stick to him or her, thingking about not moving nowhere had we weren't with him or her. Do we really?
Kita masing2 bertumbuh. Ketika menyatu dengan orang lain, seharusnyalah kita tetap bertumbuh menjadi lebih baik. Ketika orang lain tidak bisa menerima perkembangan kita, ya... mungkin sudah saatnya kita tidak bersama dia lagi. Tugasnya sudah selesai. Silakan melanjutkan perjalanan sendiri2. Dalam perjalanan, pasti kita akan menemukan orang2 lain lagi. Yg akan bersama kita dalam suatu waktu. Untuk kemudian mencari jalan sendiri2.
Itu pula kayaknya yg terjadi dalam dunia pekerjaan sekarang ini. Media cetak sudah seperti barang mewah. Mahal sekali, hanya sedikit orang yg mampu memiliki dan mengerjakannya. Lalu bagaimana? Harus apa? Bergerak. Bertumbuh. Berkembang. Harus terus melangkah, jangan berhenti. Kalau memang hrs berpindah ke digital. Kenapa tidak? Awalnya mungkin sulit beradaptasi dengan trend media sekarang yang sangat cepat. Tapi, perjalanan akan membuat kita menemukan fleksibilitas.
So, let's go.
Dalam perjalanan, si segitiga ternyata berkembang. Ia membesar, hingga celah di bola menjadi sesak. Akhirnya mereka berpisah. Si segitiga sedih sekali. Ia putus asa, sudut2nya membuat dia merasa nggak bisa menggelinding. Dia kangen bola.
Tapi lalu, dia mencoba menyemangati diri. Ia coba berguling. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Bisa. Tapi tentu tidak mulus karena bentuknya segitiga. Dia nggak putus asa. Terus berguling... berguling... berguling... sampai akhirnya tubuhnya berubah, sudut2nya jadi tumpul... lama2 membulat. Dia bisa lancar menggelinding. Dalam perjalanan, dia bertemu bola2 lain. Dan menggelindinglah mereka bersama. Tapi, ketika tiba di persimpangan, kadang ada bola yang memisahkan diri, ada juga yang tetap di sampingnya.
Itu cerita yg nulis Shel Silverstein. Jenius, karena itulah yg terjadi dalam kehidupan. Sometimes we think we cannot function because we need other people to help us. And when we found someone, we stick to him or her, thingking about not moving nowhere had we weren't with him or her. Do we really?
Kita masing2 bertumbuh. Ketika menyatu dengan orang lain, seharusnyalah kita tetap bertumbuh menjadi lebih baik. Ketika orang lain tidak bisa menerima perkembangan kita, ya... mungkin sudah saatnya kita tidak bersama dia lagi. Tugasnya sudah selesai. Silakan melanjutkan perjalanan sendiri2. Dalam perjalanan, pasti kita akan menemukan orang2 lain lagi. Yg akan bersama kita dalam suatu waktu. Untuk kemudian mencari jalan sendiri2.
Itu pula kayaknya yg terjadi dalam dunia pekerjaan sekarang ini. Media cetak sudah seperti barang mewah. Mahal sekali, hanya sedikit orang yg mampu memiliki dan mengerjakannya. Lalu bagaimana? Harus apa? Bergerak. Bertumbuh. Berkembang. Harus terus melangkah, jangan berhenti. Kalau memang hrs berpindah ke digital. Kenapa tidak? Awalnya mungkin sulit beradaptasi dengan trend media sekarang yang sangat cepat. Tapi, perjalanan akan membuat kita menemukan fleksibilitas.
So, let's go.
Friday, March 10, 2017
Next: Contemplating Session
Sesi berpikir2 lama kembali terjadi di tengah minggu. Dengan semakin banyak pertanyaan dan kegalauan. Hahahaha....
Banyak pemicunya. Salah satunya grup wa ibu2 single. Anggota grup itu macam2 banget kisahnya. Dari yg lucu sampai yg pilu... semua ada. Dan semua dituturkan oleh pelaku atau korban lho. Jadi itu kisah nyata.
Entah mulainya gimana, salah satu topik kemarin adalah "suami selingkuh." Macem2 cerita langsung hadir. Gue yg di kantor kyk kepontalan "ngejar" chatting. Gimana nggak, ditinggal meeting 30 menit, sudah ada 762 notifikasi. Edun.
Macam2 cerita perselingkuhan itu (aduh mak sumpah gue parno bacanya), menimbulkan pertanyaan: kenapa mereka selingkuh. Apa ada yang salah dengan si perempuan? Perempuan yg istri atau yg selingkuhan? Tapi kenapa? Dan tentunya nggak ada yang terjawab dengan jelas. Malah membawa gue ke masa silam, jadi tanya lagi... kok dulu suami gue selingkuh kenapa? Nggak terjawab juga, malah diikuti kesadaran kalau ternyata tidak semua istri mengenal suaminya dengan baik.
Masih kepikiran sama topik wag itu, tiba2 malamnya terjadi percakapan wa dgn OmD. Tp sialnya ngomong di wa kan nggak kelihatan wajah, nggak ada ekspresi, nggak jelas apakah penjelasan gue dibaca atau nggak. Menurut gue sih akhirnya nggak gitu menarik karena terlihat perbedaan pandangan yang jelas. Sampai dalam perjalanan pulang gue mikir keras banget: kami ini sebenarnya mau apa?
Terjadi selisih paham soal perempuan bekerja. OmD masih berpikiran bahwa bekerja itu ya secukupnya saja. Sementara gue yg suka seru sendiri ini kadang2 perlu keriaan. Waktu ada undangan meeting jam 22.00, masih tergoda utk ikut karena materi meeting terdengar seru. Buat OmD, meeting jam 22.00 nggak masuk akal. Tanpa pernah mengalami langsung situasi runyam traffic ibukota, jadwal padat merayap pejabat, juga meeting back to back non stop yg bikin kesepatan meeting tengah malam.... buat OmD yg nggak umum itu jadi nggak layak. Sementara buat gue? Laaah... meeting sampai jam 1 pagi juga pernah kok. Dan nggak tiap hari sih. Paling pol 2 tahun sekali... jadi... it was not a big deal at all. Lha kalau memang kerjanya begitu ya gimana? Dan gue suka2 aja.
Meskipun kami sdh lama sekali sama2, tapi nggak pernah ada masa kami bareng. Dia nggak tahu apa yg gue alami on site. Dia nggak lihat gimana gue dari redaktur kroco trus bisa jadi spt skrg. Dia nggak lihat langsung gimana gue merintis karier gue sambil gonjang ganjing ngurus rumah. Dia nggak paham dunia gue karena selama ini toh dia juga nggak pernah ada di situ. Buat gue, nggak ada kamus: mengorbankan karier untuk anak. Atau menelantarkan anak demi karier. No. I have to have both. Dan yg penting, gue toh nggak menelantarkan anak gue. Anak gue itu demikiran gembira dan ceria, sungguh jauh dari gambaran anak terlantar. Nggak mungkin? Kata siapa?
Hal yg sama... gue jg nggak tahu apa yg dia alami. Day to day. Gue nggak lihat bagaimana lingkungannya bisa membentuk pola pikir dia sekarang. Gue nggak paham dasar penilaian dia, karena gue juga nggak pernah ada di dunia dia.
Yg kami punya selama ini adalah saling tukar cerita. Sudah, cuma itu. Kalau ceritanya ngawur atau nggak sesuai kenyataan, yg tahu hanya yg bercerita. Pikir sendirilah jadinya.
Do I love him? Of course I do. Tapi apakah cinta itu bisa membuat gue tenang2 saja seandainya gue harus ikut dia? Apakah cinta itu cukup besar untuk gue bisa berkompromi pada hal2 yang tidak gue sukai? Apakah cinta itu nggak terbatas, sampai gue bisa mengikuti cara hidupnya tanpa frustrasi?
Bagaimana juga dengan dia? Gue nggak tahu.
Selama ini yg terjadi dengan kami adalah LDR tak kunjung henti. Pertemuan2 cuma sebentar, nggak mungkin diisi berantem. Berantem jarak jauh ya udah gitu aja. Nggak bikin kita makin saling kenal dgn baik. Apakah semua bekal ini cukup untuk melangkah lebih jauh?
Gue nggak tahu.
Yg gue tahu, ada rasa yg gue nggak nyaman. Ada sesuatu yg mengatakan ada hal yg nggak bener. Dan tentunya gue nggak boleh diam saja. Kali ini gue akan mengikuti kata hati gue.
Banyak pemicunya. Salah satunya grup wa ibu2 single. Anggota grup itu macam2 banget kisahnya. Dari yg lucu sampai yg pilu... semua ada. Dan semua dituturkan oleh pelaku atau korban lho. Jadi itu kisah nyata.
Entah mulainya gimana, salah satu topik kemarin adalah "suami selingkuh." Macem2 cerita langsung hadir. Gue yg di kantor kyk kepontalan "ngejar" chatting. Gimana nggak, ditinggal meeting 30 menit, sudah ada 762 notifikasi. Edun.
Macam2 cerita perselingkuhan itu (aduh mak sumpah gue parno bacanya), menimbulkan pertanyaan: kenapa mereka selingkuh. Apa ada yang salah dengan si perempuan? Perempuan yg istri atau yg selingkuhan? Tapi kenapa? Dan tentunya nggak ada yang terjawab dengan jelas. Malah membawa gue ke masa silam, jadi tanya lagi... kok dulu suami gue selingkuh kenapa? Nggak terjawab juga, malah diikuti kesadaran kalau ternyata tidak semua istri mengenal suaminya dengan baik.
Masih kepikiran sama topik wag itu, tiba2 malamnya terjadi percakapan wa dgn OmD. Tp sialnya ngomong di wa kan nggak kelihatan wajah, nggak ada ekspresi, nggak jelas apakah penjelasan gue dibaca atau nggak. Menurut gue sih akhirnya nggak gitu menarik karena terlihat perbedaan pandangan yang jelas. Sampai dalam perjalanan pulang gue mikir keras banget: kami ini sebenarnya mau apa?
Terjadi selisih paham soal perempuan bekerja. OmD masih berpikiran bahwa bekerja itu ya secukupnya saja. Sementara gue yg suka seru sendiri ini kadang2 perlu keriaan. Waktu ada undangan meeting jam 22.00, masih tergoda utk ikut karena materi meeting terdengar seru. Buat OmD, meeting jam 22.00 nggak masuk akal. Tanpa pernah mengalami langsung situasi runyam traffic ibukota, jadwal padat merayap pejabat, juga meeting back to back non stop yg bikin kesepatan meeting tengah malam.... buat OmD yg nggak umum itu jadi nggak layak. Sementara buat gue? Laaah... meeting sampai jam 1 pagi juga pernah kok. Dan nggak tiap hari sih. Paling pol 2 tahun sekali... jadi... it was not a big deal at all. Lha kalau memang kerjanya begitu ya gimana? Dan gue suka2 aja.
Meskipun kami sdh lama sekali sama2, tapi nggak pernah ada masa kami bareng. Dia nggak tahu apa yg gue alami on site. Dia nggak lihat gimana gue dari redaktur kroco trus bisa jadi spt skrg. Dia nggak lihat langsung gimana gue merintis karier gue sambil gonjang ganjing ngurus rumah. Dia nggak paham dunia gue karena selama ini toh dia juga nggak pernah ada di situ. Buat gue, nggak ada kamus: mengorbankan karier untuk anak. Atau menelantarkan anak demi karier. No. I have to have both. Dan yg penting, gue toh nggak menelantarkan anak gue. Anak gue itu demikiran gembira dan ceria, sungguh jauh dari gambaran anak terlantar. Nggak mungkin? Kata siapa?
Hal yg sama... gue jg nggak tahu apa yg dia alami. Day to day. Gue nggak lihat bagaimana lingkungannya bisa membentuk pola pikir dia sekarang. Gue nggak paham dasar penilaian dia, karena gue juga nggak pernah ada di dunia dia.
Yg kami punya selama ini adalah saling tukar cerita. Sudah, cuma itu. Kalau ceritanya ngawur atau nggak sesuai kenyataan, yg tahu hanya yg bercerita. Pikir sendirilah jadinya.
Do I love him? Of course I do. Tapi apakah cinta itu bisa membuat gue tenang2 saja seandainya gue harus ikut dia? Apakah cinta itu cukup besar untuk gue bisa berkompromi pada hal2 yang tidak gue sukai? Apakah cinta itu nggak terbatas, sampai gue bisa mengikuti cara hidupnya tanpa frustrasi?
Bagaimana juga dengan dia? Gue nggak tahu.
Selama ini yg terjadi dengan kami adalah LDR tak kunjung henti. Pertemuan2 cuma sebentar, nggak mungkin diisi berantem. Berantem jarak jauh ya udah gitu aja. Nggak bikin kita makin saling kenal dgn baik. Apakah semua bekal ini cukup untuk melangkah lebih jauh?
Gue nggak tahu.
Yg gue tahu, ada rasa yg gue nggak nyaman. Ada sesuatu yg mengatakan ada hal yg nggak bener. Dan tentunya gue nggak boleh diam saja. Kali ini gue akan mengikuti kata hati gue.
Subscribe to:
Posts (Atom)