Thursday, September 27, 2012

Tujuanmu Apa?

Pecandu jagat twitter pasti kenal gaya nge-twit Ligwina Hananto. Perencana keuangan itu selalu tanya kepada siapa pun yang mau konsultasi soal tabungan atau asuransi dengan kalimat: tujuan lo apa?
Wina selalu berusaha membuat orang berpikir dalam sebelum memulai investasi. Bukan hanya karena "dapat return besar" atau "mumpung punya duit." Dia selalu menyarankan, sebelum menabung, atau beli asuransi, pastikan dulu tujuannya apa. Kalau tujuannya mau menyiapkan dana sekolah anak, asuransi pendidikan bukan yang jadi pilihan, karena return kecil. Mendingan reksadana. Kalau mau menabung untuk beli rumah, tentukan dulu harga rumahnya, trus cari sumber2 dana (investasi) yang bisa memberi bunga spy rumah idaman itu tercapai dalam waktu sekian lama. Gitu deh kira2.

Pertanyaan soal tujuan ini sebenarnya memang hrs kita tanyakan dalam setiap hal dalam hidup yang ingin kita lakukan. Ya nggak sih?

Beberapa minggu lalu sempat ngobrol -via bbm- sama seorang PR produk terkenal. Exchanging updates sambil salam2 perpisahan krn ybs dapat posting di luar Indonesia untuk bbrp tahun ke depan. Gue selalu menganggap dia sebagai PR andal. Trus masih muda, cantik, sukses... event yang dia rancang diadopsi di negara lain karena dianggap sangat berhasil menaikkan image brand yang dia usung. Dua jempol. Eh laaaah... dalam obrolan dia juga memuji sampai gue malu2 kucing karena menurutnya gue ini sangat oke. Jadi pemred majalah lisensi sekian tahun dan (konon) berhasil menaikkan readership (jadi ingel lagi si semprul krn data valid-nya nggak ada). Katanya banyak hal di majalah itu yang blm pernah dilakukan sblm gue hadir. Ah, jadi malu deh ih. Hidup memang sawang sinawang yessss.... yg sana kagum sama sini, yg sini kagum sama sana.

Trus, di tengah obrolan haha hihi, muncul pertanyaan, "Kenapa sih mbak, berhenti jadi pemred majalah itu? Kan saat ditinggal sedang bagus sekali?"

Waktu ngobrol itu sih gue jawab 'seadanya': karena sdh kehabisan ide, manajemen juga lagi nggak menyenangkan dst dst dst.

Tapi ternyata pertanyaan itu jadi kepikiran. Karena terus terang bukan hanya dia yang bertanya soal itu. Beberapa orang yg tahu pasti spt apa majalah itu sebelumnya juga menanyakan hal yang sama. Banyak yang menyayangkan karena seharusnya gue tinggal lanjutin saja dgn senyum2. Apalagi setelah lepas dari majalah itu, gue pun silam dari 'pergaulan sosialita majalah' karena kantor baru jauh di pinggir kota dan merasa nggak terlalu punya kepentingan (dan energi lebih) untuk tekjing2 bareng yang lain2, mengingat macet Jakarta makin menggila. Dan melepaskan majalah itu berarti melepaskan segala fasilitas yang yahud. Belum lagi banyak kesempatan yang baru saja terbuka, tidak sempat gue nikmati.

Sebenernya, apa ya tujuan gue?

Pertanyaan ini terjawab dgn sendirinya di suatu hari Sabtu. Waktu nganterin Aria les biola. Di antara praktek & teori, ada jeda 45 menit. Jadi biasanya urutannya: habis nge-drop dia, gue punya 45 menit untuk belanja atau ke bank atau cuci mobil, lalu balik bawa lunch, punya waktu 45 menit makan. Trus Aria masuk kelas lagi, gue nungguin 30 menit. Saat makan siang itulah, Aria lihat iklan di majalah yang gue baca.

"Kenapa ibu nggak tetap di majalah yang dulu? Kan aku jadi nggak kebagian tiket gratis lagi."

"Hmm... Ibu capek deh kayaknya. Kalau di sana, hari Sabtu tetep bekerja, meskipun hanya datang acara."

"Oh iya ya. Ibu kalau di sana, hari Sabtu sering bicara-bicara. Jadi aku nggak bisa diantar les."

Cling.

Akhirnya memang semua gonjang ganjing kehidupan gue bermuara pada kebutuhan si ganteng anak semata wayang ini. Inget banget, dulu waktu ngurus majalah itu, Sabtu-Minggu sering terpakai untuk event, di Jakarta atau pun di luar Jakarta. Makanya nggak pernah bisa daftarin Aria untuk les renang atau les musik di hari sabtu, karena nggak bisa nganterin. Terus di hari kerja sering harus datang ke acara-acara, yang artinya pulang malam sekali, melewatkan waktu haha hihi bareng Aria. Kalaupun ada hari libur, gue sudah terlalu lelah untuk ngapa2in saking banyaknya energi terkuras di hari lain. Kalau mau flash back lebih jauh lagi, di majalah sebelumnya, gue bisa sebulan sekali ke luar kota atau luar negeri yang artinya melewatkan banyak sekali milestone si ganteng. Gue lelah selalu merasa nggak ada waktu untuk anak gue. Apalah artinya fasilitas segunung kalau nggak bisa dinikmati sama Aria saking sibuknya gue? That pretty car (uhuk) jadi nggak menarik lagi. Mending juga si kentang, biarpun kecil tapi gue sering ada di dalamnya sama2 Aria.


Di kantor skrg, jadwal gue lebih jelas. Senin-jumat ngantor, sabtu-minggu libur. Ngantor hanya sampai jam 7, sampai rumah jam 8 (krn relatif lebih nggak macet). Sampai rumah masih bisa ketawa2 sama Aria. Sabtu-minggu bisa nemenin dia les, atau nonton, atau main, atau ya tidur siang aja dengan damai. Yg jelas, waktu untuk Aria makin banyak, sesuai dgn kebutuhan dia.

Memang itulah tujuan hidup gue: mengurus Aria, berdekatan dgn dia, membesarkan dia spy jadi anak yang berguna. Ah... terjawablah pertanyaan itu!

Pada akhirnya, semua atribut yang ditempelin ke nama gue ya hanya sekadar status saja. Jadi pemred atau askadiv atau manager tentu saja membanggakan, karena itulah pencapaian gue. Tapi, gue ternyata lebih bangga ketika orang mengenal gue sebagai ibu (yang baik) untuk anak gue. As simple as that.



6 comments:

Arninta Puspitasari said...

I love u,mbaku!:))

Budiana said...

i love you too, bumil cantik!

memez said...

Hiks, terharu sekali membacanya. Segemilang apapun karier, menjadi Ibu yang selalu ada untuk anak memang jauh lebih baik ya.Sungguh sebuah pilihan yang hebat sekali.
Salam kenal ya Mba :)

Anonymous said...

**twothumbsup*

riajumriati said...

Hmm...emang beda sih majalah 'itu' pas di tinggal Mba Dian, kayak kehilangan ruh nya ^__^. Sukses ya Mba, smoga bisa jiplak langkah suksesnya

Salam
Ria

Lala said...

mak tratap Te..