Wednesday, November 27, 2024

Kisah Cinta Tahun Lalu

Suatu hari, di tahun 2020, saya menarima sebuah DM Instagram. Seseorang memperkenalkan diri. Mengaku berusia jauh lebih muda ketimbang saya, dan ingin mengenal saya lebih dekat. Setelah saya telusuri, dia terhubung dengan seorang teman penggemar kuliner. Dan saya lihat postingan IG dia adalah aktivitas dia di sebuah kantor di kawasan Tanah Abang. 

Saya, ibu tunggal satu anak (yang saat itu berumur 16 tahun), tentu saja menanggapi DM itu secukupnya saja, menganggap dia hanya "anak kecil" yang mau iseng godain tante-tante.

Tapi ternyata dia nggak iseng. Dia rajin mengomentari postingan saya. Beberapa kali DM, dan tentu saja saya abaikan. Meskipun sebetulnya, saya tidak sengaja mengabaikan, karena di kantor saat itu, saya seperti kejatuhan berkarung-karung pekerjaan setiap hari. Tanpa sadar, dia tidak masuk radar. Pikiran saya hanya cukup untuk urusan Aria dan urusan kantor. Oh ya, masih ada urusan dengan OmD... tapi itu untuk postingan lain saja. 

Sampai lalu di awal 2022, dia mengirim DM, isinya foto dia di makam ayah saya. "Aku tadi mampir. Makam ayah kita ternyata berdekatan." 

DM itu lalu jadi "mengganggu". 

Dan ketika saya ceritakan pada teman dekat saya, sarannya singkat, "Cobain aja dulu." 

Ya memang tidak ada salahnya berkenalan lebih dekat dengan siapa pun. Oke. Saya mulai tanggapi DM-nya dengan lebih cermat. Makin lama makin menyadari bahwa kami betul-betul berbeda. Tapi lalu saya pikir, "Apa memang semuanya harus sama?"

Jadilah kemudian saya mau diajak berjumpa. 

Dan dia persis apa yang saya bayangkan: kekanak-kanakan, bawel, nggak jelas. 

Kami tidak terkoneksi. Tepatnya, saya tidak merasa bisa terkoneksi. Dan saya tidak mau. 

Jadi ya sudah. Pertemuan itu berlalu begitu saja. Buat saya. Buat dia, tentu tidak Hahahaha.... Seperti layaknya laki-laki sejati yang berjiwa pemburu, dia tetap mengejar. Segala upaya dia lakukan. Tapi saya tidak merasa tertarik. Meskipun akhirnya kami bertukar nomor whatsapp. 

Sampai di pertengahan 2022, di story wa saya membaca berita duka. Kakak sulungnya, yang usianya lebih muda dari saya, meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Tidak merasa dekat, saya sampaikan ucapan duka cita secukupnya. Yang ia tanggapi dengan (sesuatu yang saya pikir) ungkapan bahagia karena akhirnya saya membuka percakapan. 

Ia lalu bercerita kondisi terkini ibunya, dua hari setelah abangnya dimakamkan. Yang saya balas dengan komentar secukupnya supaya dia jaga ibunya dengan baik. 

Dari situlah, obrolan berlanjut. 

Saat itu, saya sedang menjelang mengundurkan diri dari kantor (okay, this also deserves a whole post itself). Arus pekerjaan mereda. Aria juga sudah mulai kuliah di Bandung. Pikiran saya mulai lowong. 

Nampaknya, dia hadir di saat yang tepat. 

Akhirnya kami putuskan untuk bertemu, kali ini sekalian jalan-jalan ke Sentul. 

Long story short... dia ternyata cukup menarik untuk saya. Tanpa ada kesepakatan jadian, begitu saja saya menyebutnya mas pacar, dan dia selalu membahasakan saya sebagai "bini gue" di kalangan teman-teman dekatnya. 

Begitulah. 

Kami mencoba menjalani hari berdua. Saya senang saja. Apalagi sebelumnya tidak pernah ada laki-laki yang begitu gigih mau menemui saya. Dia bersedia mengantar saya ke mana-mana (dengan kendaraan saya, sih). 

Saya mencoba berpikir lebih "luas", saat seusia dia, saya juga belum punya apa-apa. Well... sudah punya sih sebetulnya... hahahahahaha.... Tapi saya tetap berpikir, kalau dari sisi materi, tentu dia bisa "mengejar". 

Ternyata... tidak semudah itu. 

Saya jadi paham bahwa apa yang saya punya sekarang adalah hasil konsistensi dan persistensi bertahun-tahun. Yang kalau tidak dimulai segera... ya akan makin lama tercapainya. 

Karena pemahaman itu... saya berusaha mendorong dia untuk "lebih giat berusaha." 

Sayangnya... saya tidak merasa dia memahami maksud saya. Atau saya memang malas menjelaskan lebih lama. Mungkin dia takut keluar dari zona nyaman. Mungkin dia tidak suka bidang pekerjaannya. Mungkin dia masih optimis bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tapi yang saya lihat, dia terlalu pilih-pilih... dan akhirnya malah tidak dapat apa-apa. 

Saya buatkan akun di LinkedIn. Lalu saya coba masukkan lamaran ke mana-mana. Ada satu yang berhasil lolos seleksi. Tapi dia menolak datang di waktu interview. Alasannya? Mengantar temannya ke luar kota. 

Lalu, salah satu teman saya membuka toko berlian di salah satu mal di Jakarta. Perlu tenaga penjual. Mengingat bahwa dia selama ini jual beli mobil, dan saya pernah dengar sendiri caranya menjual yang menurut saya halus dan sopan, saya langsung berpikir bahwa dia adalah kandidat tepat. Dan teman saya pun bersedia membantu. Tapi ketika saya tawarkan pekerjaan itu padanya, ia menggelengkan kepala "Aku nggak mau merusak ekspektasi." 

What?  

Sungguh nggak masuk di akal saya. Katanya butuh pemasukan? Katanya butuh pekerjaan? Saya putus asa. 

Saya mulai resah. Di bulan ke-5, sebetulnya saya sudah tidak tahan ingin mengakhiri hubungan. Tapi di bulan itu juga dia ulang tahun. Saya tidak ingin menjadi party pooper. Saya tetap siapkan beberapa kado ulang tahun. Salah satunya sepatu mahal yang (saya pikir) dia suka. 

Selebihnya, saya mulai mengurangi intensitas bertemu. 

Tiga hari sebelum dia ulang tahun, saya ada acara reuni SMP.  Karena lokasi acara di tengah kota, akhir pekan pula, bisa dipastikan akan sangat sulit mencari tempat parkir. Karena itu, ketika dia menawarkan untuk menjemput (yang artinya dia akan bawa mobil saya), saya iyakan. Entah kenapa, saat itu dia mulai uring-uringan. Tidak jelas apa yang dia rasa. Mungkin karena menjelang ulang tahun, usia bertambah tapi merasa secara prestasi tidak ada hasil? Entahlah. Yang jelas, itulah kali terakhir kami bertatap muka. 

Ulang tahunnya berlalu dengan hujan hadiah yang saya kirim dengan bantuan ojol. Rangkaian coklat, makanan kecil, lalu sepatu mahal itu. Yang ternyata ia sambut dengan biasa saja... karena bukan spesifik seperti yang dia harapkan (brand sama, hanya jenis yang lain). Saya kesal. Terutama karena sepatu yang saya beli buat dia lebih mahal harganya ketimbang yang dia idamkan. Hahahahaha.... 

Keesokan hari, ketika dia telepon dan berpanjang-panjang cerita soal masa lalu ketika dekat dengan anak pejabat, saya katakan, "Sudah ya, aku kibar bendera putih." 

And that was it. 

Dia waktu itu hanya diam. Entah karena dia kaget mendengar saya, atau karena dia pun merasa bahwa kami tidak ada arah tujuannya. 

Lebih jauh, saya juga tidak melihat dia memperjuangkan hubungan ini. Ah sudahlah. 

Lebih baik saya berkesimpulan bahwa kami memang tidak berjodoh. 




Tuesday, November 26, 2024

Hello, I am Back

... and actually I never really leave.... 

Blog ini tidak diabaikan. Hanya memang kurang diurus. Hahahaha.... 

Kapan terakhir kali saya posting? Astaga... 6 Juni 2023... selama itukah... dan tetap tidak mau mengaku telah mengabaikan blog? #selftoyor

This is a quick recap:

Setelah putus cinta... jalan-jalan ke Chiang Mai... lalu OmD meninggal dunia... terlibat di KTT ASEAN... terlibat di KTT AIS Forum... ke Aceh, tergabung dalam tim pemateri belajarlagi.com... lalu ke Papua, mengerjakan majalah PTFI... lalu memutuskan bekerja lagi dan melamar ke lowongan di LinkedIn, yaitu UI Publishing. 

And here I am now... handling a quite big business unit, that pushed me to learn about accounting, HR, production, and so on. Guess one should not stop learning. 

Gitu aja dulu ya. Yang penting udah posting lagi. Hehehe.... 


Tuesday, June 06, 2023

Putus Lagi Cintaku....

Belum sempat diceritain di sini... ternyata udahan sama mas pacar. Ya udah deh. Masih perlu diceritain ga sih?  Mungkin perlu ya, buat dokumentasi. Hmm.... Bentar deh. Patah hati dulu ya. Permisi. 

Tuesday, April 04, 2023

April 2023

Ya ampun... sudah berapa lama saya nggak posting di sini? 

Padahal banyak update.... 

Jadi setelah career break sejak Desember, saya lalu ke Salatiga beberapa kali. Ada yang sama teman-teman, ada yang sama ibu saya, ada yang nemenin Aria. 

Di Salatiga ada hotel baru, Piturooms namanya. Hotel tipis. Kayaknya sih tertipis di Indonesia. Lebarnya cuma 2,8 m. Kamarnya hanya ada 7, hence the name. Pitu = tujuh. Tujuh kamar. Kamar nomor ganjil jendelanya menghadap ke Gunung Merbabu. Kalau udara sedang cerah, pemandangannya luar biasa. 

Google saja deh, soal Piturooms. Sudah hits banget di sosial media. Untuk masa 2 minggu lebaran, penuh terus. Alhamdulillah. 

Yang baru lagi? Saya punya pacar. Ini pacar betulan. Ada manusianya, bisa diajak omong dan diajak jalan-jalan. Hahahaha... habis kayaknya kemarin-kemarin kalau punya pacar kok kebanyakan "tersembunyi" karena satu dan lain hal. 

Pengen cerita banyak soal mas pacar ini. Supaya punya dokumentasi gitu. Tapi nanti deh. Barusan berantem soalnya, jadi masih males ngomongin dia. Hahahahaha.... 

Maret kemarin saya jadi 49. Kok ya seperti tiba-tiba tinggal setahun lagi sampai ke angka keramat 50. Hahahaha.... 

Update lainnya... saya sekarang mengerjakan terjemahan untuk The Jakarta Post. Sehari dua artikel saya terjemahkan dan kadangkala saya tulis ulang dalam Bahasa Indonesia. Mereka memang ingin menggaet pasar lebih luas, jadi merasa perlu perlahan-lahan jadi media bilingual. Okay, so now I am working again. Tapi pekerjaan ini menyenangkan karena full WFH. Hehehe... meskipun juga gajinya jadi seperempat dari yang biasa saya terima. Saya pikir sepadan dengan segala kenyamanan yang saya rasakan dengan bekerja di rumah. 

Kapan-kapan saya cerita lengkap deh soal pekerjaan baru ini. 

Anyway, gitu dulu deh update hari ini. Sekadar untuk ngasih tahu bahwa blog ini masih dipikirin. 



Monday, January 02, 2023

Janji Kali Ini

 Janji Meniti Pelangi


Sungguh, ternyata saya tidak ingin kehilangan dia. 


Dia melihat saya memasang tangga lipat di depan lemari dapur. Segera dia berdiri, menghampiri saya yang mulai menapak naik. Dengan manis, dia tuntun saya turun dari tangga. Saya terpana sesaat. 


"Kok aku disuruh turun?"
"Mau ambil apa?"
"Teh."


Segera dia buka lemari dapur, lalu mengambil teh di kotak yang tersimpan di sudut paling atas. Baginya yang jangkung... tidak perlu tangga hanya untuk menggapai rak teratas lemari dapur saya. “Tolong biasakan bahwa sekarang ada aku. Kamu bilang saja mau ambil apa,” katanya sambil tersenyum manis dan menyerahkan teh pada saya. "Toh, itu untuk aku juga, kan? Terima kasih ya, sudah membuatkan aku teh hangat."  


Saya membisu. 


Di lain hari, tanpa rencana, ia menunggu saya di lobby kantor. Saya sempat terkejut ketika menjumpainya. 


“Kamu mau apa?”

“Jemput kamu.”

“Lho, aku kan bawa mobil.”

“Iya. Aku tahu. Kamu duduk manis saja. Biarkan aku menyetir pulang supaya kamu tidak capek terkena macet.”


Saya terpesona mengingat dia meluangkan waktu datang ke kantor saya, memberi kejutan manis. Tak terhitung perlakuan-perlakuan sederhana, hal-hal remeh temeh semacam membukakan kemasan air minum atau membawakan belanjaan, yang dia lakukan tanpa komentar. Dengan santai, ia akan mengeringkan sendok dan garpu di restoran, memastikan kebersihan sendok garpu dengan tisu, lalu menyerahkannya pada saya. Tindakannya selalu spontan dan, terus terang, sedikit demi sedikit mulai mencuri hati saya.


Namun, berjuta pertanyaan masih terus mengisi kepala saya. Justru tindakannya yang memanjakan saya, dan melindungi saya bagai porselen langka dari Cina, jadi hal yang meresahkan. Saya bingung. 


“Kamu kok baik hati banget.” Saya lihat dia sedang membersihkan mobil saya. 

“I care about you.” 

“I know. Dan itu merisaukan.”

“Kenapa? Bahkan kalau kamu tidak suka padaku, ya tidak apa-apa. Aku akan tetap membantumu. Jangan khawatir, aku akan tetap sayang.”

“You know, it’s weird….”

“Aku tahu. Bukan hal mudah bagimu menerima seseorang lagi di dalam hidupmu. I do understand.” 


Bertahun-tahun sendirian, saya terbiasa mandiri. Saya bahkan menikmati membuat keputusan-keputusan, kecil atau besar, dengan merdeka. Tidak pernah saya harus mendiskusikan apa pun yang saya lakukan dengan siapa pun. Keputusan membeli sabun cuci piring merek apa hingga memilih tempat tinggal, saya pertimbangkan dan buat sendiri, dengan cukup memperhatikan isi tabungan saja. 


Dengan kehadiran dia, semua jadi berbeda. 


Dan bukan hal mudah untuk saya menerima perbedaan itu. Apalagi saya paham, perhatian yang dia berikan dilandasi harapan bahwa saya akan jatuh cinta padanya. Sebuah keinginan yang wajar, sewajar mengharapkan hujan saat langit mulai mendung. 


“Melamun?”
“I was just thinking about us.”

“What is about us?”
“Kurasa, ini tidak mungkin buat aku.”

“Kamu rasa? Atau kamu tidak mau?”

“Hmmm….”

“Apa yang tidak mungkin?”

“Kita….”

“Rasanya kita tidak perlu berpikir macam-macam saat ini. Kamu jalani hidupmu seperti biasa. Sudah, begitu saja. Tapi biarkan aku tetap mencintaimu.”


Saya bimbang. Mengapa dia begitu sabar dan mau mengerti?


Jatuh cinta telah menjadi topik ke sekian dalam hidup saya. Selama ini hidup saya hanya berisi pekerjaan. Sejak bercerai belasan tahun lalu, tak sekali pun keinginan menikah kembali hadir dalam benak saya. Nyaman hidup soliter, rasanya saya tidak akan sanggup punya komitmen. Apalagi jika harus berkompromi untuk hal-hal yang sulit saya toleransi. Di kepala saya sudah tidak ada lagi ruang untuk drama percintaan. Memang, dalam perjalanan, beberapa laki-laki datang, ternyata hanya singgah saja. Mereka menyingkir segera setelah mendeteksi bahwa saya tidak punya minat menjadi pasangan abadi mereka. 


Tapi dia berbeda. Dia sama sekali tidak pernah secara khusus membahas perasaannya, apalagi hubungan kami. Percakapan saya dan dia selalu hanya seputar kehidupan masing-masing, hobi dan kesukaan, serta mimpi yang belum tercapai. Sama sekali tidak pernah membahas percintaan, walaupun dia tetap menghujani saya dengan perhatian penuh. Di satu sisi, saya menikmati dimanjakan bertubi-tubi. Semua kebutuhan saya dipenuhi tanpa ada pertanyaan. Di sisi lain, saya kadang merasa tertekan saat dia menanyakan detail jadwal harian saya. Mengapa ia harus tahu? Mengapa ia begitu mau terlibat? Di luar dugaan, nada suaranya datar saja, tidak tersinggung atau sakit hati saat saya nyatakan keberatan. “Aku perlu tahu kamu ke mana dan ngapain saja, supaya bisa atur jadwal untuk sering-sering menjemput kamu di kantor,” jawabnya ringan. Sungguh laki-laki yang luar biasa.  


Saya sedang sarapan dan bersiap berangkat bekerja ketika mendengar televisi menyiarkan berita tentang kecelakaan pesawat dengan rute Singapura – Tokyo. Ya Tuhan, apakah itu pesawat yang dia naiki? Saya keraskan volume untuk mendengar detail berita. 


Boeing 777-300ER dengan 382 penumpang menghilang dari radar setelah 35 menit mengudara. Astaga. 


Saya berusaha keras mengingat percakapan kami dua hari lalu, dalam perjalanan pulang dari kantor. Seperti biasa, dia mengemudi dengan santai sambil menceritakan hari yang dia lalui. 


“Besok saya akan terbang ke Tokyo. Ada konferensi selama lima hari. Maaf, kamu pulang sendiri, ya.”

“Hahaha… iya. Biasanya juga pulang sendiri.”

“Ya siapa tahu kangen, kamu boleh kok telepon aku,” godanya. 


Merasa wajah saya memerah, saya alihkan pembicaraan mengenai maskapai yang akan dia gunakan. Dari Jakarta, dia akan terbang ke Singapura lebih dulu untuk rapat di kantor pusat. Setelahnya, baru ke Tokyo. Baiklah. 


Dan sekarang, di layar televisi ada berita pesawat menuju Tokyo yang hilang. Astaga. Astaga. Astaga.


Panik, saya aduk tas saya, mencari telepon genggam. Segera saya hubungi dia. Dan nada panggil saya tidak terjawab. Sungguh, perasaan saya menjadi sangat kacau. 


Saya terduduk di meja makan. Di kepala saya, berputar kembali adegan-adegan kebaikan hatinya. Dia rajin membawakan oleh-oleh, dan semuanya selalu kesukaan saya, ke mana pun dia bertugas. Dia tanpa segan memasak dan membersihkan rumah, ketika saya sakit. Dia pula yang mengatur agar donasi saya untuk shelter anjing terlantar bisa betul-betul mencapai sasaran. Dan lain sebagainya. Banyak sekali. Semua hal yang dia lakukan, membuktikan bahwa dia laki-laki yang baik. Dia laki-laki yang peduli dan mencintai saya. 


Mengikuti berita di televisi, tiba-tiba saya merasakan ada lubang menganga di hati. Apakah dia betul-betul sudah tiada? Mata saya penuh airmata.

Dering ponsel mengagetkan saya, hingga nyaris terlonjak. Namanya berpendar di layar!

“Essa?”

“Asti… maaf aku tadi tidak menjawab teleponmu. Kami sedang berusaha mengubah jadwal penerbangan. You know, due to the accident… Rasanya lebih bijaksana kalau kami tunda keberangkatan ke Tokyo.”

“Essa… ini betul-betul kamu?”
“Yes, of course. What do you mean?”
“Ya Allah, aku pikir kamu ikut dalam penerbangan yang hilang. Aku cemas sekali.”

“Tidak. Tiketku untuk besok. Bukan hari ini.”

“Syukurlah….”

“Asti, are you okay?”

“Essa… I just thought you were gone.” 

“Hey, I am okay. Aku nggak apa-apa. Kamu tenang saja. Begini, aku bereskan dulu beberapa urusan, lalu nanti aku telepon kamu lagi. Ya?”
“Sure.”


Saya termangu ketika dia memutuskan sambungan telepon. Hati saya merasa lega luar biasa mendengar suaranya. Saya tiba-tiba tersadar telah merasa takut kehilangan dia. Perasaan apa ini?


Pukul 12.00. Saya memutuskan tidak ke kantor hari ini. Rasanya kejadian tadi pagi begitu mengguncang perasaan, hingga saya tak sanggup berangkat. Untung jadwal saya hari ini memungkinkan untuk bekerja dari rumah. 


Ponsel saya berdering. Essa. 


“Halo.”

“Asti, how are you?”

“Aku tidak ke kantor hari ini.”

“Ah… baguslah. Jadi tidak ada risiko terjebak kemacetan. Ok, do you mind telling me what is going on inside your head?”


Dan begitu saja saya ceritakan semua yang saya lalui sepagian. Perasaan hampa saat mendengar berita pesawat hilang, karena membayangkan dia adalah salah satu penumpangnya. Kesedihan  karena membayangkan tawanya tidak akan saya dengar lagi. Ketakutan karena saya tak bisa melihat wajahnya lagi. Lalu betapa lega hati saya saat dia menelepon dan ternyata baik-baik saja. 


“Terima kasih sudah mencemaskan aku,” katanya setelah beberapa saat tekun mendengar. 

“Aku tidak tahu ini perasaan apa.”

“Tidak perlu kita bahas sekarang, Asti. Biarkan saja. Yang penting, aku di sini. Aman. Sehat.”

“Tapi aku resah. Ini apa?”

“Boleh aku usul, agar kamu nikmati saja perasaan itu? Biarkan rasanya berkembang ke arah yang seharusnya. Sekali lagi, yang penting, aku akan selalu di sini.”

“Promise me, please.”

“Apa?”

“Jangan pergi.”

“Tidak, Asti. Aku akan tetap ada di sini. Aku janji. Aku selalu berdoa agar kelak kita bisa meniti pelangi bahagia berdua. Mimpiku adalah menghabiskan hidup bersamamu. Tapi untuk saat ini, biar saja begini dulu. Beri waktu pada hatimu, pada dirimu, untuk menerima cintaku. Waktu yang akan membuktikan.”

“Terima kasih untuk selalu baik hati, Essa.”

“Kembali kasih. So, I think, until I see you again?”

“Sure. Take care, Essa.”

“You too take care, Asti.”


Setelah bertahun-tahun, inilah kali pertama saya akhiri pembicaraan di telepon dengan hati berbunga-bunga. Saya masih mempertanyakan tentang cinta di hati saya dan apakah saya mampu mengejar mimpi masa depan bersama Essa. Namun saya percaya, seperti kata Essa, biarkan saja perasaan saya berkembang dengan sendirinya. Saat ini, saya akan menikmati hati saya yang hangat, yang penuh suka cita menanti perwujudan janji meniti pelangi bahagia. 



(Inspired by a true story, this will be published for Buku Janji, Elfa Mediatama Publishing)

Sunday, December 18, 2022

Taking a Career Break

Akhirnya saya memutuskan jeda sejenak dari pekerjaan. Bagi yang mengenal saya, pasti paham bahwa memutuskan tidak bekerja bukan perkara sepele buat saya. Memang, saya membutuhkan waktu hampir dua bulan sebelum akhirnya memasukkan surat pengunduran diri. 


Banyak hal terjadi selama setahun terakhir. Yang paling menguras pikiran adalah pekerjaan yang (buat saya) menjadi begitu sulit. Keharusan menambah produk dan memperbarui servis hanyalah salah dua dari beberapa perubahan. Saya paham, semua dilakukan untuk tetap relevan dengan kondisi pasar. 


Ok. Tapi apa masih sesuai dengan kebutuhan saya? 


Saya bisa menulis. Merangkai kata menjadi kesukaan saya sejak lama. Sayangnya, kewajiban sebagai karyawan mengharuskan saya menulis hal-hal yang tidak saya akrabi (dan sering tidak saya sukai). Semakin runyam ketika saya harus mengerjakan beberapa produk dengan jenis dan topik berbeda-beda.  Kecepatan berpindah dari satu topik dalam suatu produk ke produk lain dengan topik berbeda sangatlah berkurang jauh. Saya seringkali merasa kelelahan luar biasa di akhir hari. 


Sebetulnya, masa-masa ini adalah saat saya punya lebih banyak waktu luang. Sejak Aria tinggal di kota lain, saya tidak perlu tergesa-gesa pulang ke rumah di hari kerja. Akhir pekan relatif sepi buat saya. Namun, pekerjaan yang melelahkan di kantor membuat saya tetap merasa tidak bisa punya cukup waktu untuk beristirahat. 


Kegalauan pada kelanjutan karier membuat saya memutuskan berkonsultasi pada career coach. Saya perlu orang lain yang bisa melihat potensi dan membantu saya memetakan perkembangan diri saya. Hasilnya? Saya dalam kondisi aman jika memutuskan untuk mengambil career break. Dia juga membantu saya menyusun strategi untuk kembali bekerja saat saya sudah siap. 


Begitulah. Saya masukkan surat pengunduran diri. 


Ternyata, hari-hari setelahnya, saya galau lagi. Meskipun sudah merasa memikirkan semua hal secara matang, saya tetap cemas. Apakah saya sudah mengambil keputusan yang tepat? 


1 Desember 2022 menjadi hari pertama saya tidak bekerja. Rasanya? Senang! Saya lewatkan hari itu untuk berjalan-jalan ke tempat yang selama ini selalu ingin saya datangi. Ternyata enak juga bangun tidur tanpa memikirkan deadline dan job desk. 


Esoknya, saya dapati Ibu saya sibuk membuka beberapa dokumen. Ternyata tahun ini adalah pertama kali pemerintah mengharuskan penerima pensiun untuk memperbarui data dan melakukan pendaftaran agar sistem pensiun bisa didigitalisasi. 


Ibu saya yang berusia 72 tahun itu terlihat panik di antara tumpukan berkas-berkas SK pensiun ayah saya. Ini untuk apa? Mau daftar ke mana? Ke kantor ASABRI naik apa? Dan kecemasan-kecemasan yang beliau katakan berulang-ulang karena kebetulan juga beliau mulai pikun. 


Saya berusaha membantu sebisanya. Selain memilah berkas, juga untuk mengantar-antar dari satu kantor ke kantor lain. Dan… ibu saya terlihat tenang. Beberapa hari saya habiskan untuk mengurus keperluan beliau. Tak hanya soal pensiun, tapi juga bpjs kesehatan. Saya mulai bersyukur bahwa saya cuti, sehingga saya bisa sepenuhnya mengurus kebutuhan Ibu saya. Terbayang jika saya masih harus bekerja… kepala pasti retak. 


Suatu pagi, saya mendapati Ibu saya termenung sedih sambil menatap layar ponsel. Ternyata, sahabat dekatnya divonis kanker dan harus menjalani serangkaian pengobatan. 


“Aku pengen ke Yogya, deh,” katanya.

 “We can,” jawab saya pendek. 


Kakak saya segera mengatur transportasi bagi kami dari BSD ke Yogya. Dirancang bahwa kami akan menginap di Salatiga saja. Sekalian saya akan membantu beberapa hal di hotel kakak saya yang baru dibuka. 


“Kamu nggak sibuk?” Ibu saya menatap cemas. 

“Nggak dong. Aku kan cuti.” 


Dan jadilah. Kami berangkat ke Salatiga, lalu ke Yogya. Ibu saya berjumpa sahabatnya. Melihat mereka bisa saling bercerita, yang satu menguatkan yang lain, lalu tertawa bersama… saya ikut bahagia. Lagi-lagi saya bersyukur bisa menemani Ibu saya. Sampai kapan? Sebisa saya. 


Melihat Ibu saya yang lebih tenang dan gembira karena selalu saya dampingi ke mana-mana, akhirnya saya yakin bahwa keputusan cuti panjang ini adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya buat dalam hidup. Alhamdulillah. 






Thursday, December 08, 2022

Is It?

Dia melihat saya memasang tangga lipat di depan lemari dapur. Segera dia berdiri, menghampiri saya yang mulai menapak naik. Dengan manis, dia tuntun saya turun dari tangga. Saya terpana sesaat, hingga dia mengecup pipi saya. 

"Kok aku disuruh turun?"
"Mau ambil apa?"
"Teh."

Segera dia buka lemari dapur, lalu mengambil teh di kotak yang tersimpan di sudut paling atas. Baginya yang jangkung... tidak perlu tangga hanya untuk menggapai rak teratas lemari dapur saya. “Tolong biasakan bahwa sekarang ada aku. Kamu bilang saja mau ambil apa,” katanya sambil tersenyum manis dan menyerahkan teh pada saya. "Toh, itu untuk aku juga, kan? Terima kasih ya, aku sudah dibuatin teh hangat."  

Di lain hari, dia akan meluangkan waktu datang ke kantor saya. Sebuah kejutan manis melihatnya di lobby kantor. Lalu dia akan membiarkan saya duduk di kursi penumpang, sementara dia mengemudikan mobil saya hingga tiba di rumah. Rasanya nyaman sekali, saya bisa bersantai. “Ya memang itu tujuan saya, biar kamu tidak capek kena macet.” 

Dia memang datang dengan penuh kejutan manis. Sikapnya sopan dan ramah, tak segan menolong. Tentu saja banyak hal-hal remeh semacam membukakan kemasan air minum atau membawakan belanjaan, yang dia lakukan tanpa komentar. Dengan santai, ia akan mengeringkan sendok dan garpu di restoran lalu menyerahkannya pada saya. Tindakannya selalu sederhana dan spontan. Dan justru spontanitas itu yang sedikit demi sedikit berhasil mencuri hati saya.

Bertahun-tahun sendirian, saya terbiasa mandiri. Semua saya pertimbangkan dan putuskan sendiri. Seperti autopilot, saya akan menyetir ke mana-mana. Dengan dia, semua jadi berbeda. Saya bisa merasakan nyamannya dimanjakan. Selain semua kebutuhan dipenuhi, saya merasa dijaga bagai porselen Cina yang tak boleh tergores sedikit pun.
However, there is no free lunch. Saya paham bahwa semua perhatian dan afeksi dia lakukan dengan harapan saya akan jatuh hati bertubi-tubi padanya. Sebuah keinginan yang wajar, sewajar mengharapkan hujan saat langit mulai mendung. 

Sebuah kewajaran yang bagi saya bukan perkara mudah. Jatuh cinta, buat saya menjadi topik ke sekian.  Bertahun-tahun punya kebebasan memutuskan apa pun sendirian, membuat saya langsung merasa terkekang saat dia menanyakan detail rencana harian saya. Saya resah ketika nada suaranya saya dengar mencemburui masa lalu saya. Saya tertekan ketika harus berkompromi, saat keleluasaan bercakap  terbatasi perbedaan sudut pandang yang sulit dicari jalan tengahnya karena kesenjangan pengalaman dan latar belakang.

Sementara saat ini saya ada di tengah pekerjaan, urusan rumah, dan diri saya sendiri. Saya merasa tidak punya lagi ruang di kepala untuk hal-hal lainnya.

Apa yang harus saya lakukan? 

Saya tahu, pada akhirnya, saya harus bersikap. Sebaiknya saya berpikir ulang sebelum melanjutkan perjalanan. Is it what I need? Is it what I want? 

Tiba-tiba hati saya pilu karena membiarkan otak memikirkan jawabannya.