Suatu hari, di tahun 2020, saya menarima sebuah DM Instagram. Seseorang memperkenalkan diri. Mengaku berusia jauh lebih muda ketimbang saya, dan ingin mengenal saya lebih dekat. Setelah saya telusuri, dia terhubung dengan seorang teman penggemar kuliner. Dan saya lihat postingan IG dia adalah aktivitas dia di sebuah kantor di kawasan Tanah Abang.
Saya, ibu tunggal satu anak (yang saat itu berumur 16 tahun), tentu saja menanggapi DM itu secukupnya saja, menganggap dia hanya "anak kecil" yang mau iseng godain tante-tante.
Tapi ternyata dia nggak iseng. Dia rajin mengomentari postingan saya. Beberapa kali DM, dan tentu saja saya abaikan. Meskipun sebetulnya, saya tidak sengaja mengabaikan, karena di kantor saat itu, saya seperti kejatuhan berkarung-karung pekerjaan setiap hari. Tanpa sadar, dia tidak masuk radar. Pikiran saya hanya cukup untuk urusan Aria dan urusan kantor. Oh ya, masih ada urusan dengan OmD... tapi itu untuk postingan lain saja.
Sampai lalu di awal 2022, dia mengirim DM, isinya foto dia di makam ayah saya. "Aku tadi mampir. Makam ayah kita ternyata berdekatan."
DM itu lalu jadi "mengganggu".
Dan ketika saya ceritakan pada teman dekat saya, sarannya singkat, "Cobain aja dulu."
Ya memang tidak ada salahnya berkenalan lebih dekat dengan siapa pun. Oke. Saya mulai tanggapi DM-nya dengan lebih cermat. Makin lama makin menyadari bahwa kami betul-betul berbeda. Tapi lalu saya pikir, "Apa memang semuanya harus sama?"
Jadilah kemudian saya mau diajak berjumpa.
Dan dia persis apa yang saya bayangkan: kekanak-kanakan, bawel, nggak jelas.
Kami tidak terkoneksi. Tepatnya, saya tidak merasa bisa terkoneksi. Dan saya tidak mau.
Jadi ya sudah. Pertemuan itu berlalu begitu saja. Buat saya. Buat dia, tentu tidak Hahahaha.... Seperti layaknya laki-laki sejati yang berjiwa pemburu, dia tetap mengejar. Segala upaya dia lakukan. Tapi saya tidak merasa tertarik. Meskipun akhirnya kami bertukar nomor whatsapp.
Sampai di pertengahan 2022, di story wa saya membaca berita duka. Kakak sulungnya, yang usianya lebih muda dari saya, meninggal dunia. Innalillahi wa innailaihi rojiuun. Tidak merasa dekat, saya sampaikan ucapan duka cita secukupnya. Yang ia tanggapi dengan (sesuatu yang saya pikir) ungkapan bahagia karena akhirnya saya membuka percakapan.
Ia lalu bercerita kondisi terkini ibunya, dua hari setelah abangnya dimakamkan. Yang saya balas dengan komentar secukupnya supaya dia jaga ibunya dengan baik.
Dari situlah, obrolan berlanjut.
Saat itu, saya sedang menjelang mengundurkan diri dari kantor (okay, this also deserves a whole post itself). Arus pekerjaan mereda. Aria juga sudah mulai kuliah di Bandung. Pikiran saya mulai lowong.
Nampaknya, dia hadir di saat yang tepat.
Akhirnya kami putuskan untuk bertemu, kali ini sekalian jalan-jalan ke Sentul.
Long story short... dia ternyata cukup menarik untuk saya. Tanpa ada kesepakatan jadian, begitu saja saya menyebutnya mas pacar, dan dia selalu membahasakan saya sebagai "bini gue" di kalangan teman-teman dekatnya.
Begitulah.
Kami mencoba menjalani hari berdua. Saya senang saja. Apalagi sebelumnya tidak pernah ada laki-laki yang begitu gigih mau menemui saya. Dia bersedia mengantar saya ke mana-mana (dengan kendaraan saya, sih).
Saya mencoba berpikir lebih "luas", saat seusia dia, saya juga belum punya apa-apa. Well... sudah punya sih sebetulnya... hahahahahaha.... Tapi saya tetap berpikir, kalau dari sisi materi, tentu dia bisa "mengejar".
Ternyata... tidak semudah itu.
Saya jadi paham bahwa apa yang saya punya sekarang adalah hasil konsistensi dan persistensi bertahun-tahun. Yang kalau tidak dimulai segera... ya akan makin lama tercapainya.
Karena pemahaman itu... saya berusaha mendorong dia untuk "lebih giat berusaha."
Sayangnya... saya tidak merasa dia memahami maksud saya. Atau saya memang malas menjelaskan lebih lama. Mungkin dia takut keluar dari zona nyaman. Mungkin dia tidak suka bidang pekerjaannya. Mungkin dia masih optimis bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tapi yang saya lihat, dia terlalu pilih-pilih... dan akhirnya malah tidak dapat apa-apa.
Saya buatkan akun di LinkedIn. Lalu saya coba masukkan lamaran ke mana-mana. Ada satu yang berhasil lolos seleksi. Tapi dia menolak datang di waktu interview. Alasannya? Mengantar temannya ke luar kota.
Lalu, salah satu teman saya membuka toko berlian di salah satu mal di Jakarta. Perlu tenaga penjual. Mengingat bahwa dia selama ini jual beli mobil, dan saya pernah dengar sendiri caranya menjual yang menurut saya halus dan sopan, saya langsung berpikir bahwa dia adalah kandidat tepat. Dan teman saya pun bersedia membantu. Tapi ketika saya tawarkan pekerjaan itu padanya, ia menggelengkan kepala "Aku nggak mau merusak ekspektasi."
What?
Sungguh nggak masuk di akal saya. Katanya butuh pemasukan? Katanya butuh pekerjaan? Saya putus asa.
Saya mulai resah. Di bulan ke-5, sebetulnya saya sudah tidak tahan ingin mengakhiri hubungan. Tapi di bulan itu juga dia ulang tahun. Saya tidak ingin menjadi party pooper. Saya tetap siapkan beberapa kado ulang tahun. Salah satunya sepatu mahal yang (saya pikir) dia suka.
Selebihnya, saya mulai mengurangi intensitas bertemu.
Tiga hari sebelum dia ulang tahun, saya ada acara reuni SMP. Karena lokasi acara di tengah kota, akhir pekan pula, bisa dipastikan akan sangat sulit mencari tempat parkir. Karena itu, ketika dia menawarkan untuk menjemput (yang artinya dia akan bawa mobil saya), saya iyakan. Entah kenapa, saat itu dia mulai uring-uringan. Tidak jelas apa yang dia rasa. Mungkin karena menjelang ulang tahun, usia bertambah tapi merasa secara prestasi tidak ada hasil? Entahlah. Yang jelas, itulah kali terakhir kami bertatap muka.
Ulang tahunnya berlalu dengan hujan hadiah yang saya kirim dengan bantuan ojol. Rangkaian coklat, makanan kecil, lalu sepatu mahal itu. Yang ternyata ia sambut dengan biasa saja... karena bukan spesifik seperti yang dia harapkan (brand sama, hanya jenis yang lain). Saya kesal. Terutama karena sepatu yang saya beli buat dia lebih mahal harganya ketimbang yang dia idamkan. Hahahahaha....
Keesokan hari, ketika dia telepon dan berpanjang-panjang cerita soal masa lalu ketika dekat dengan anak pejabat, saya katakan, "Sudah ya, aku kibar bendera putih."
And that was it.
Dia waktu itu hanya diam. Entah karena dia kaget mendengar saya, atau karena dia pun merasa bahwa kami tidak ada arah tujuannya.
Lebih jauh, saya juga tidak melihat dia memperjuangkan hubungan ini. Ah sudahlah.
Lebih baik saya berkesimpulan bahwa kami memang tidak berjodoh.